The
Wahid Instutute telah menyelenggarakan seminar dan workshop di lima kota;
Jakarta, Surabaya, Banten, Bandung, dan Mataram yang dimaksudkan untuk
mengkritisi RUU KUHP yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan
sebagai Undang-undang. Seminar dan workshop secara khusus membahas,
mendiskusikan, dan mengkritisi pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana
agama (Bab VII: Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama; pasal
341-348).
Berikut ini akan dikemukakan
pasal-pasal tindak pidana agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat
dalam RUU KUHP:
Bab VII
Tindak Pidana
terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
Bagian I
Tindak Pidana
terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama
Penghinaan
terhadap Agama
Pasal
341
Setiap orang yang di muka umum
menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap
agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Kategori III.
Pasal
342
Setiap orang yang di muka umum
menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal
343
Setiap orang yang di muka umum
mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran
agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal
344
(1) Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh
umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang
berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343,
dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih
ditahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)
Jika
pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan
tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua)
tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hokum
tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
Penghasutan
untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama
Pasal
345
Setiap orang yang di muka umum
menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama
yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Bagian
II
Tindak
Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah
Gangguan
terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan
Pasal
346
(1)
Setiap
orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan
cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan
ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana
penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)
Setiap
orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada
waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Kategori II.
Pasal
347
Setiap orang yang di muka umum
mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang
sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Kategori III.
Perusakan
Tempat Ibadah
Pasal
348
Setiap orang yang menodai atau
secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda
yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Jika
dalam KUHP lama hanya ada satu pasal yang dikaitkan dengan penodaan agama (pasal
156ยช), dalam RUU KUHP, satu pasal itu direntang menjadi 8 pasal. Tindak pidana terhadap agama yang termaktub dalam RUU
KUHP terdiri dari dua bagian, yaitu tindak pidana terhadap agama dan tindak
pidana terhadap kehidupan beragama. Bagian pertama berisi penghinaan terhadap
agama yang terdiri dari 4 pasal (pasal
341-344). Pada bagian ini, RUU KUHP sebenarnya melanjutkan KUHP lama soal delik
agama, tepatnya delik terhadap agama.
Karena itu, yang ingin dilindungi oleh bagian ini adalah agama itu sendiri. Perlindungan
itu diberikan untuk melindungi agama dari tindakan penghinaan.
Hal-hal
yang dipandang sebagai penghinaan terhadap agama antara lain adalah penghinaan
terhadap agama (341), menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya (342);
mengejek, menodai,
atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah
keagamaan (343); menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambar,
memperdengarkan rekaman yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 341-343 (344 ayat 1); penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama
yang dianut di Indonesia (345).
Pertanyaan yang bisa didiskusikan
dalam masalah ini adalah sejauhmana negara mempunyai kewenangan untuk memberi
perlindungan terhadap agama? Benarkah ada yang namanya delik agama? Kalau ada,
apakah delik agama bisa memenuhi syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam
hukum pidana?
Sebagaimana telah diuraikan, delik
agama dalam KUHP diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji dengan
argumen-argumen yang sebagian telah dijelaskan di atas. Penulis cenderung
berpendapat, bahwa hukum pidana tidak sepatutnya diarahkan untuk melindungi
agama, karena pada dasarnya keberadaan agama tidak memerlukan perlindungan dari
siapapun, termasuk negara. Perlindungan negara dalam bentuk undang-undang
akhirnya ditujukan pada pemeluk agama, bukan agama itu sendiri. Terlalu naif
kalau sebuah undang-undang yang relatif dan temporer sifatnya bermaksud
melindungi sesuatu yang mutlak dan diyakini berasal dari Tuhan. Yang absolut
tidak bisa disandarkan pada yang relatif. Karena itu, delik agama dalam RUU
KUHP yang bermaksud melindungi agama jelas merupakan kesalahan berpikir.
Selain itu, perluasan delik agama
ini terlihat mengarah pada over kriminalisasi (overcriminalization). Seharusnya yang diproteksi melalui hukum
pidana adalah freedom of religion. Kalau
hal ini yang dilindungi, maka menurut hukum hak asasi manusia internasional,
yang dilindungi adalah respecting
people’s rights to practice the religion of their choice, bukan melindungi respecting religion. Sedangkan yang diatur dalam Rancangan KHUP ini
lebih banyak ditujukan pada perlindungan respecting
religion ketimbang respecting people’s rights to practice the religion of their choice.
Indonesia sebagai bangsa majemuk
yang terdiri dari bermacam-macam agama dan kelompok-kelompok agama, sudah
seharusnya mengembangkan suatu paradigma freedom
of religion, yakni seluruh keyakinan agama yang hidup dan berkembang di
masyarakat dilindungi bukan untuk diseragamkan sesuai dengan keyakinan kelompok
mainstream. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, bangsa kita
sedang dihadapkan pada persoalan krusial, yakni hilangnya toleransi yang sudah
sejak lama dipupuk sebagai bagian dari modal sosial yang paling berharga bagi
bangsa.
Indonesia sebagai negara yang
toleran seakan tidak mampu menghilangkan sikap-sikap intoleran yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok yang menginginkan unifikasi pandangan keagamaan. Apalah
jadinya jika sikap-sikap intoleran yang dibarengi dengan aksi kekerasan menjadi
trade mark baru bagi bangsa
Indonesia. Karena itulah, pemaksaan keyakinan dan praktik agama sesuai dengan
keyakinan dan pratik keagamaan mainstream sesungguhnya tidak bisa memahami
perbedaan pandangan dan praktik keberagamaan yang terjadi dalam proses menuju
jalan Tuhan.
Dalam
konteks inilah, cukup praktik kehidupan beragama (pasal-pasal bagian II RKUHP)
yang diatur dalam perundang-undangan karena memang inilah yang mesti mendapat
perlindungan dari negara. Dalam hal ini, negara semestinya melindungi hak-hak
setiap warga negara yang ingin melakukan praktik ritual keagamannya secara
bebas. Lagi pula untuk membuktikannya tidak mengalami kesulitan karena ukuran
yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah perbuatan itu
melanggar hukum atau tidak mudah didapatkan. Perbuatan merintangi, mengganggu
dan membubarkan kekerasan terhadap jamaah yang sedang beribadah, merusak atau
membakar tempat ibadah adalah perbuatan yang jelas ukurannya dan tidak sulit
untuk membuktikannya.
Dengan
cara pandang demikian, maka negaralah yang melindungi agama masyarakatnya, apa
pun agamanya tanpa adanya tudingan sesat, kehidupan beragama akan lebih
mengarah pada orientasi yang toleran, damai, tanpa kekerasan. Jika negara hanya
memihak pada agama resmi dengan segala tafsir yang dimilikinya, maka negara
gagal mengelola kemajemukan agama di masyarakat. Karena itulah, 8 pasal dalam
Rancangan KUHP sudah sepantasnya disederhanakan untuk kepentingan jaminan
kebebasan beragama. Maka cukup pasal-pasal yang mengatur tindak pidana terhadap
kehidupan beragama dan sarana ibadah (pasal 346-348).
Dengan
demikian, sudah sepantasnya pasal-pasal yang terdapat dalam bagian tentang Tindak Pidana terhadap Agama ditinjau
ulang. Selama tidak ada kejelasan tentang sesuatu yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut, yang bisa berakibat pada perselesihan pemahaman, maka lebih baik
dihapus. Bukankah ketidakjelasan tentang apa yang diatur itu akan berakibat
pada kesulitan untuk membuktikannnya. Peninjauan ulang pasal penodaan agama itu
(pasal 341-344 RUU KUHP) dengan mempertimbangkan beberapa alasan sebagai
berikut:
1. Pasal-pasal tersebut lebih
diorientasikan untuk melindungi dan memproteksi agama, bukan memproteksi
kebebasan beragama. Yang diperlukan dalam hal ini adalah memproteksi jaminan
kebebasan beragama, bukan perlindungan terhadap agama.
2. Pasal-pasal agama multi
tarsir. Hakim biasanya akan mengikuti pendapat mayoritas, sehingga sangat
potensial penindasan atas paham keagaamaan yang non-mainstream oleh kelompok
mainstream. Akibat lebih jauh kelompok mainstream akan dengan mudah menuduh
seseorang melakukan tindak pidana agama, apalagi kalau tuduhan tersebut
digerakkan melalui provokasi massa.
3. Definisi agama hanya
mencakup agama yang diakui oleh negara, tidak mencakup kepercayaan lokal.
Akibatnya, menghina keyakinan lokal masyarakat adat dianggap bukan sebagai
penodaan agama.
4. Definisi pelaku dan korban
(subyek dan obyek hukum) tidak jelas. Adakah tindak pidana terhadap agama? Jika
seseorang melakukan tindak pidana agama, pada dasarnya bukan tindak pidana
terhadap agama tapi tindak pidana terhadap umat beragama.
5.
Pasal-pasal
penodaan agama dapat dimasukkan dalam pasal-pasal lain dalam RUU KUHP tentang
penghinaan terhadap golongan penduduk pasal 286-287. Bunyinya: Pasal 286: “setiap orang yang di muka umum melakukan
penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat
ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau
kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental,
atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.” Pasal 287: “(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga
terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan permusuhan dengan maksud agar
isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa
golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan,
etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur,
cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap
orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan
menyangkut pasal 345 RUU KUHP tentang Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan
terhadap Agama perlu mendapat perhatian serius. Pasal 345 dirumuskan: “Setiap orang
yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan
keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.” Pasal ini ingin mengkriminalisasi
terhadap orang yang di depan umum menghasut orang lain untuk tidak beragama atau mengajak pindah agama. Orang yang berpindah agama atau tidak beragama itu
sendiri tidak dianggap perbuatan kriminal, tapi orang yang “menghasut” dianggap
kriminal.
Penulis berpendapat bahwa pasal ini sangat
potensial menimbulkan ketegangan antar umat beragama, terutama agama-agama
misionaris seperti Islam dan Kristen. Orang yang berdakwah di televisi atau
radio untuk “mengajak” orang yang berbeda agama untuk masuk pada agama si
pendakwah, bisa dikatakan telah melakukan tindak kriminal. Kata “menghasut” itu
sendiri sangat multitafsir karena orang berceramah bisa juga dikatakan sebagai
hasutan bagi orang yang merasa keyakinannnya terancam. Oleh karena itu, pasal
ini lebih tepat diarahkan sebagai bentuk perlindungan pada keyakinan keagamaan
individu dari kemungkinan pemaksaan dan ancaman orang lain untuk pindah agama.
Oleh karena itu, krimiminalisasi bukan dengan kata “mengahasut” yang bisa multi tafsir, tapi harus disertai dengan
unsur “paksaan” dan “ancaman”. Dengan demikian rumusan pasal 345 bisa berbunyi:
“Setiap orang yang memaksa dan atau mengancam
orang lain dalam bentuk apapun dengan
maksud meniadakan keyakinan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”
No comments:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.