1. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU tersebut terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Bagaimanakah prosedur rincinya? Pertama adalah perencanaan. Perencanaan merupakan proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
RUU dari DPR
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi). Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut. Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.
RUU dari DPD
Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringannya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR. Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU.
Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.
Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut. Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR.
2. Mekanisme Kerja DPR dan DPD dalam Bidang Legislasi
Dilihat dari pelaksanaan wewenang DPD dalam bidang legislasi yaitu berupa pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan, dilakukan melalui:
- Dalam kegiatan pengajuan usul, pembahasan RUU ini dilakukan sebelum DPR membahas RUU dengan Pemerintah;
- Pada kegiatan ikut dalam pembahasan dilakukan pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tatib DPR. Pembicaraan Tingkat I ini dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU;
- Dalam pemberian pertimbangan, pertimbangan diberikan sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan Pemerintah.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR Tahun 2004 telah diatur mekanisme kerja DPR dan DPD dalam bidang legislasi. Ketentuan tersebut adalah: Pasal 124 ayat (2). Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari Presiden, namun berkaitan dengan RUU yang menjadi wewenang DPD, terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya kepada Pimpinan DPD. Selanjutnya dilakukan ketentuan menurut Pasal 135 ayat (1) huruf a butir 1), dimana DPD menyampaikan pandangan dan pendapat (bersama dengan Fraksi-fraksi di DPR).
Pasal 128 ayat (9). Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari DPR sendiri, namun berkaitan dengan RUU yang menjadi wewenang DPD, terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya kepada Pimpinan DPD. Selanjutnya dilakukan ketentuan menurut Pasal 135 ayat (1) huruf a butir 2), dimana DPD menyampaikan pandangan dan pendapat (beserta dengan Presiden).
Pasal 132. Jika RUU yang masuk ke DPR berasal dari DPD (RUU yang disampaikan tentu saja merupakan wewenang DPD), terhadap RUU tersebut Pimpinan DPR menyampaikannya dalam Rapat Paripurna dan mengumumkannya kepada Anggota DPR. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman, sebab dari tanggal inilah diketahui apakah DPR melanggar ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004. Selanjutnya, alat kelengkapan yang ditunjuk untuk membahas RUU tersebut mengundang alat kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR untuk membahas RUU tersebut. Dalam waktu 30 (tiga puluh ) hari kerja sejak alat kelengkapan DPR yang ditugaskan untuk membahas RUU itu mengundang alat kelengkapan DPD wajib hadir. Selanjutnya hasil pembahasan dilaporan dalam Rapat Paripurna.
Terhadap ketentuan ini DPR sangat membatasi peran DPD. Pertama, dari segi batasan jumlah orang yang dapat hadir, dibatasi hanya 1/3 dari jumlah anggota alat kelengkapan (sekitar 20 orang). Menurut mantan Ketua Badan Legislasi pada waktu itu (Zain Badjeber), alasannya adalah karena tempat (ruang rapat DPR) yang tidak memadai. Sesungguhnya alasan teknis seperti ini tidak boleh menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas konstitusional. Oleh karena itu, batasan ini seharusnya ditiadakan. Kedua, mengenai kewajiban hadir bagi DPD. Seandainya DPD tidak hadir, apakah berarti DPR dapat tetap melakukan pembahasan RUU.
Jika ketentuan ini dimaksudkan demikian, maka bisa saja terjadi kondisi dimana DPD tidak dapat hadir sehingga pembahasan tetap dilakukan. Jika begitu, terasa sekali bahwa peran DPD memang tidak strategis. Namun, di sisi lain, DPR juga telah mengantisipasi keinginan DPD untuk "meloloskan" RUU yang berasal dari DPD. Hal ini terlihat dari ketentuan yang menyatakan bahwa hasil pembahasan bersama-sama dengan alat kelengkapan DPR hanya dilaporkan saja dalam Rapat Paripurna, sehingga tidak perlu diambil suatu keputusan yang dapat menjadi ajang penolakan bagi RUU yang berasal dari DPD.
Pasal 137. Terhadap RUU yang berkaitan dengan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis yang disampaikan oleh DPD, sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dengan Presiden. Jika RUU berasal dari Presiden, Pimpinan DPR menyampaikan surat kepada Pimpinan DPD untuk memberikan pertimbangannya. Demikian pula jika RUU berasal dari DPR, Pimpinan DPR harus menyampaikannya juga kepada Pimpinan DPD. Ketentuan ini juga mengatur bahwa paling lambat 30 hari kerja DPD harus sudah memberikan pertimbangannya. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan DPD belum juga memberikan pertimbangannya, pembahasan terhadap RUU tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Sekali lagi, dari ketentuan ini dapat dilihat betapa kecilnya peran sebuah DPD dalam bidang legislasi. Selama ini, kegiatan pembahasan RUU antara DPR dengan Pemerintah masuk dalam Pembicaraan Tingkat I. Pembicaraan Tingkat I itu adalah pembahasan RUU di rapat komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Panitia Anggaran, atau rapat panitia khusus, bersama-sama dengan pemerintah. Pembicaraan tingkat II adalah persetujuan di rapat paripurna DPR. Ini artinya DPD tidak diikutsertakan dalam persetujuan atau penolakan terhadap sebuah RUU.
Lemahnya fungsi DPD sudah terlihat dalam UUD dan UU Susduk bahkan tercermin juga dalam Peraturan Tatib DPR. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan terhadap DPD harus dimulai dari UUD 45. Itupun harus dimulai dengan konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, yang muncul adalah keputusan-keputusan yang berorientasi jangka pendek, yang sebentar akan pudar. Ketentuan yang diatur di dalam Tatib memang tidak bisa terlepas dari ketentuan yang ada di atasnya. Namun, setidaknya Tatib DPR tidak semakin melemahkan peran DPD seperti membatasi jumlah peserta rapat, memberikan batasan waktu dimana pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan kehilangan fungsi DPD itu sendiri, bahkan melemahkan sebuah lembaga DPD menjadi sebuah alat kelengkapan. Padahal bisa saja DPR mengadakan rapat dalam forum yang lebih besar dengan DPD.
3. DPD Sebagai Perwujudan Sistem Bikameral di Indonesia.
Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD. Karena itu pula konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai “weak bicameral” atau “soft bicameral”. Istilah ini muncul karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan. Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD).
Wewenang ini kemudian dirinci dalam UU Susduk sebagai berikut: DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 42). DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif DPR (Pasal 43).
DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 44). DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 45). DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak. pendidikan, dan agama (Pasal 46).
Namun kesemua wewenang tersebut dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah. Dengan begitu, pertanyaannya adalah: betulkah Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau ‘weak bicameralism’ atau ‘soft bicameralism’? Yang terlupakan dalam argumen ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan.
Pernyataan yang terdengar melawan arus ini didasarkan pada premis bahwa konsep bikameral lahir justru untuk mendorong adanya checks and balances di dalam lembaga perwakilan. Kata kunci dalam konteks parlemen bikameral (dan dalam politik secara umum) adalah ‘kompetisi’. Perlu ada ‘kompetisi’ antara dewan tinggi dan dewan rendah untuk memunculkan kondisi saling mengontrol yang menimbulkan keseimbangan politik (checks and balances) di dalam parlemen itu sendiri. Dan memang, kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik. Karena itu pula, biasanya wewenangnya dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dan kekurangan yang didisain berbeda di antara keduanya. Dengan begitu, dapat terjadi proses yang membatasi kewenangan yang berlebihan dari suatu lembaga politik.
Untuk memberikan gambaran mengenai “kompetisi politik” antara dua kamar ini, penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara yang menganut bikameral dapat dijadikan referensi. Lijphart menyimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat (strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism) (Lijphart, 1999: 203-205). Pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama (House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya.
Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua, yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung, diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama.
Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasi parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris. Bikameral dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan disebut asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang. Soalnya, DPD bahkan tidak mempunyai ‘kekuatan konstitusional’ untuk berkompetisi. Karena DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan, termasuk dalam proses legislasi. Seluruh ‘wewenang’ DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. Kalaupun ia dapat mengajukan rancangan undang-undang, kekuatannya pun tidak mutlak karena Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD sudah jelas menyatakan bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR; dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan rancangan undang-undang. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislatif DPR bisa menolak rancangan tersebut dan tidak diwajibkan untuk menerimanya.
Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 27 UU 22/2003). Terlihat jelas bahwa DPD seakan hanya menjadi penasehat DPR dalam soal-soal yang berkaitan dengan daerah, tanpa memiliki suara untuk menentukan kebijakan. Di sinilah letak kelemahan konsep “bikameral” yang diperkenalkan dalam UUD dan UU Susduk. Interaksi antara DPD dan DPR dalam prosedur legislasi, pengawasan, dan anggaran dianggap bukan dalam prosedur kelembagaan melainkan berupa masukan yang bersifat fakultatif sebelum pembahasan.
Kegagalan DPD dalam mengusulkan Amandemen UUD 1945 terkait dengan penguatan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem parlemen dua kamar (Bikameral) beberapa waktu lalu, karena ’politicking’ DPR harus dilihat sebagai tantangan bagi DPD RI. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam pengalaman penguatan sistem bikameral di banyak negara, hampir mustahil DPR memberikan sebagian wewenangnya kepada DPD/Senat secara Cuma-Cuma, dibutuhkan semacam insentif politik agar DPR memberikan sebagian wewenanganya dengan terlebih dahulu melakukan Amandemen UUD 1945, khususnya pada pasal-pasal terkait dengan penguatan kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Keengganan DPR untuk memuluskan
jalan bagi Amandemen UUD 1945 bagi penguatan wewenang DPD menjadi satu
pelajaran bagi DPD, bahwa politik di parlemen tidak mudah diprediksi. Apalagi
sebagian besar anggota DPD adalah ’orang baru’ dalam percaturan politik
nasional, hanya sedikit saja yang memang relatif berpengalaman dalam menghadapi
’politicking’ DPR di parlemen, itupun tidak berdaya oleh langkah-langkah partai
politik yang mengendalikan anggotanya di DPR. Dan itu terbukti ketika sebagian
anggota DPR yang awalnya mendukung usulan Amandemen UUD 1945, kemudian satu
persatu menarik dukungannya.
Pelajaran dari kegagalan
usulan Amandemen UUD 1945 yang pertama bagi DPD, dibutuhkan berbagai langkah
yang mampu memberikan ruang dan peluang bagi DPD agar tetap berada di koridor
ketatanegaraan bangsa ini. Sebab, jika keberadaan DPD tidak berdaya dalam
lingkup ketatanegaraan, maka keberadaan DPD cepat atau lambat tidak lagi
dilihat penting oleh masyarakat, dan pada akhirnya usulan untuk kembali
memberlakukan sistem parlemen satu kamar plus-plus akan benar-benar terjadi,
sebagaimana yang dipraktikkan pada masa Orde Baru. Di mana wakil daerah hanya
duduk sebagai salah satu fraksi, di antara fraksi-fraksi dari partai politik
dan golongan.
Bila mengacu kepada
esensi bikameral kuat dan efektif, serta mengacu kepada sistem ketatanegaraan
kita maka peran yang ideal dari DPD setidaknya ada empat peran, yakni: Pertama,
DPD harus semakin mempertegas posisinya sebagai ’penyambung lidah rakyat’ di
daerah. Harus digarisbawahi bahwa DPD sebagai perwakilan wilayah menjadi
penting untuk ditegaskan bahwa keberadaan DPD tidak hanya sekedar membagi tugas
antara dalam ataupun luar negeri, sebagaimana praktik parlemen di Amerika
Serikat, melainkan juga memperjuangkan aspirasi daerah, khususnya yang terkait
dengan kepentingan daerah di tingkat nasional.
Kedua, DPD berperan
sebagai lembaga penyeimbang dari DPR, agar fungsi check and balances di
parlemen dapat berjalan. Sebagaimana diuraiakan di atas, posisi DPR yang
terlalu kuat dan dominan membangun hubungan antara DPR dan eksekutif . Di
samping itu, dengan adanya check and balances, produk yang dihasilkan parlemen
akan lebih komprehensif.
Ketiga, peran DPD untuk
membantu meringankan beban dan tugas yang diemban oleh DPR. Dengan berbagai
produk yang harus dihasilkan, maka dibutuhkan lembaga mitra untuk membahas
setiap RUU ataupun permasalahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab
dari parlemen. Sebagaimana diketahui bersama, banyaknya RUU yang masih belum
selesai sesuai target adalah indikator bahwa upaya untuk mendimanisir kinerja
parlemen dapat dilakukan.
Keempat, DPD harus
mengambil inisiatif dalam berbagai hal terkait dengan masalah kebangsaan, baik
yang bersifat lokal maupun nasional. Hal ini harus melekat pada institusi DPD,
sebagaimana juga melekat di DPR. Peran ini menjadi bagian dari pembuktian bahwa
DPD adalah salah satu kamar yang berperan aktif dalam perpolitikan nasional.
No comments:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.