Tuesday, March 12, 2013

Macam-Macam Terapi Anak Autis

Macam-Macam Terapi Anak Autis : Menurut Sunu (2012), karena melihat penyebab dan gejala autis yang komplek, maka untuk menangani penderita autis tidak cukup hanya dengan satu terapi saja. Anak penderita autis membutuhkan banyak stimulus dan latihan untuk merangsang kemampuannya mulai dari kemampuan bicara, perilaku, sosial, emosi, dan syaraf-syaraf sel otak.

Terapi biasanya dilakukan oleh seorang terapis dengan sistem one on one (satu guru satu murid) dengan memberikan instruksi. Beberapa terapi yang dapat dijalani oleh anak penderita autis yaitu :

1.      Terapi Perilaku
            Terapi perilaku adalah suatu cara terapi yang bertujuan untuk menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak bisa diterima secara sosial, membangun perilaku baru yang diterima secara sosial dan bermanfaat seperti komunikasi secara spontan dan melakukan interaksi sosial dengan yang lain. Terapi perilaku dilakukan karena bentuk perilaku pada anak penderita autis berbeda dengan aturan sosial yang seharusnya. Ini diakibatkan adanya kelainan pada sistem syaraf otak anak autis.
            Beberapa kemampuan awal yang dapat diajarkan pada anak autis berhungan dengan perilaku antara lain seperti : Kemampuan diri (duduk, kontak mata dan respon perintah); Kemampuan meniru (gerakan-gerakan); Kemampuan pemahaman bahasa (mengikuti satu langkah perintah dan mengenali gambar, benda dll); Kemampuan bahasa ekspresif (meniru suara, menamakan benda dan kegunaannya dll); Kemampuan preakademik (mencocokkan benda, gambar, warna, huruf, angka dll): serta Kemampuan bantu diri (minum dari cangkir, menggunakan sendok saat makan, melepas baju dll).

2.      Terapi Okupasi
            Terapi okupasi adalah upaya penyembuhan terhadap anak yang mempunyai kelainan fisik dan mental dengan cara memberikan keaktifan sehingga mengurangi penderitaan yang dialami anak autis. Sasaran terapi okupasi meliputi pemulihan, pengembangan, dan pemeliharaan fisik, intelektual, sosial dan emosi pada anak. Tujuan terapi okupasi yaitu agar anak autis memiliki kemampuan motorik yang baik, mobilitas gerak yang baik, mampu bereaksi, mampu mengurus diri sendiri secara sederhana, mempersepsi dengan baik, berkomunikasi walaupun sederhana, kesibukan dijadikan kebiasaan positif serta memiliki kemampuan kerja yang bersifat keterampilan sehingga membantu sebagai lifeskill untuk bekal hidup kemudian hari.
            Aktivitas yang dapat dilatihkan pada anak penderita autis dalam terapi okupasi  yaitu : Kemampuan motorik kasar/halus (berjalan tanpa bantuan, melempar bola,melompat dengan dua kaki, menyusun kubus kecil, memungut benda kecil, dan merangkai benda kecil); Kemampuan mengurus diri (mengambil makanan dan minuman sendiri, makan menggunakan tangan, minum dari gelas dengan dua tangan, mencuci tangan, menggunakan kamar mandi/WC, melepas sepatu tanpa tali, menyisir rambut); Keselamatan diri (mengenal benda tajam dan penggunaannya, mengenal bahaya listrik dan penggunaannya, mengenal sumber api dan bahaya api); Orientasi lingkungan disekitar anak (menggunakan benda-benda pribadi di kamar dan merapikannya kembali sesudah menggunakannya); serta Kemampuan sosial (mengenal milik sendiri dan milik orang lain, meminjam barang milik orang lain).

3.      Terapi Sensori Integrasi (SI)
            Terapi SI merupakan bagian dari terapi okupasi yang berfungsi sebagai pelengkap. Tujuan terapi ini bukan untuk menyembuhkan diagnosa autis, namun lebih bertujuan untuk memperbaiki fungsi otak agar anak lebih adaptif dan perilakunya membaik. Dalam aktivitas terapi SI, anak akan diberi serangkaian aktivitas yang memberi input sensorik pada anak secara aktif seperti permainan. Ia dibimbing untuk terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan yang diberikan dengan harapan struktur-struktur halus di otak anak yang masih sangat elastis dapat terstimulasi untuk berkembang dan dapat diperbaiki.
             Aktivitas yang biasa diberikan kepada anak autis berupa rangsangan untuk vestibuler (keseimbangan), taktil (raba), auditori (pendengaran), visual ( penglihatan), dan propioseptik (gerak, tekan, dan posisi sendi otot). Masing-masing anak memiliki kurikulm yang berbeda-beda dalam terapi, ini karena sifat aktivitas yang diberikan sangan individual sesuai kebutuhan masing-masing anak. Anak diharapkan memberikan reaksi pada setiap rangsangan dan dituntut untuk memberikan respon tertentu. Jika anak berhasil dengan aktivitas yang diberikan, anak diberi aktivitas yang lebih sulit secara bertahap argar dapat mengembangkan proses pengolahan informasi yang lebih baik.

4.      Terapi Snoezelen
            J.Staal (1950-1960), melakukan penelitian dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketiadaan rangsangan sensoris akan menyebabkan perkembangan otak anak menjadi tidak normal. Untuk menutupi kekurangan input sensiris, muncullah halusinasi di otak anak, jika kondisi ini dibiarkan maka akan timbul gangguan perilaku abnormal pada anak. Snoezelan berasal dari bahasa Belanda “snuffelen(to sniff = mencium) dan (to doze = tidur sebentar). Jadi terapi Snoezelen mempunyai makna nyaman dan rileks.
            Tujuan terapi Snoezelan yaitu untuk mempengaruhi sistem syaraf pusat anak dengan memberikan rangsangan yang cukup pada sitem sensori primer yang meliputi penglihatan (stimulinya : berupa berbagai jenis warna dengan fungsinya masing-masing sesuai spektrumnya), pendengaran (stimuli : bunyi-bunyian atau musik), penciuman (stimuli : berbagai jenis aroma dengan efek yang berbeda-beda), perasa lidah, dan juga sistem sensoris internal (vestibular = keseimbangan dan proprioseptif = gerak, tekan dan posisi sendi otot). Selain itu tujuan terapi ini adalah : membantu anak untuk rileks, meningkatkan kesadaran anak, mendorong inisiatif untuk beraktivitas, meningkatkan rasa percaya diri anak dan meningkatkan hubungan erat antara anak dengan orang tuanya.

5.      Terapi Wicara
            Terapi wicara merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan anak dalam menyampaikan informasi melalui komunikasi verbal/oral menggunakan media lingistik (bahasa). Tidak semua anak autis mengalami gangguan wicara, dan hanya sebagian kecil yang mengalami hambatan dalam berbicara.
            Ada tiga tahapan terapi yang perlu dilakukan saat terapi wicara yaitu :Terapi propillactic pre-speech : mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan bicara awal (mengucapkan kata “ba”) ketika bergumam.Terapi etiologic : terapi ini melibatkan orang tua untuk meningkatkan kemampuan bicara anak, melakukan diet makanan, posisi tulang punggung, kemampuan anak mempersepsi, menstimulasi anak dengan banyak berbicara.Terapi symptomatic : untuk meningkatkan kemampuan bicara anak sesuai kemampuan ekspresifnya, jika anak ingin minum, ia tidak hanya mengucapkan kata “minum”, tapi sudah bisa mengucapkan kalimat “saya mau minum”.

6.      Terapi Biomedis
            Terapi biomedis yaitu cara melakukan perbaikan pada anak melalui perbaikan metabolisme tubuh. Terapi biomedis akan sangat baik dampaknya untuk perkembangan kemampuan anak autis jika didampingi dengan terapi SI dan Wicara. Terapi ini lumayan rumit dan tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebelum menjalani terapi, anak terlebih dahulu menjalani serangkain tes diagnostik yang meliputi pemeriksaan feses, urin, rambut dan darah anak untuk mengetahui kadar kandungan bebagai zat yang mencemari metabolisme dan tubuh anak seperti : jamur, bakteri, dan kandungan mineral dan logam berat.
            Shattock membagi terapi biomedis menjadi empat tahapan yaitu : Tahap Casefire (genjatan senjata), pada tahap ini anak di minta diet kasein (protein yang berasal dari susu sapi dan kambing) dan gluten (protein yang berasal dari gandum-ganduman) selama jangka waktu tertentu (beberapa bulan). Tahap problem dan mencari persamaan, pada tahap ini orang tua diminta untuk mencatat dalam buku harian makanan anak, makanan apa saja yang dimakan anak setiap hari dan bagaimana perkembangan perilaku anak yang muncul pada saat itu. Pencatatan dilakukan setelah anak menjalani diet kasein dan gluten. Dan jika dijumpai kecurigaan pada makanan tertentu, ada baiknya hindari makanan tersebut selama 2 mingggu. Tahap Reconstruction, pada tahap ini ahli terapis akan merekomendasikan makanan tambahan dan suplemen yang dapat dikonsumsi anak berdasarkan hasil tes laboratorium masing-masing anak. Tahap Intervensi Tambahan, tahap dimana anak diberi suplemen dan diet 5-HTP (5-Hydroxy Tryptopan) yang berfungsi untuk membentuk neurotransmitter serotonin (berfungsi untuk menjaga suasana hati tetap baik), DMG (Dymethyl glycine) sejenis vitamin B-15 yang berfungsi memperbaiki suasana hati, mengurangi depresi, menenangkan, dan meningkatkan kemampuan bicara.
            Gabungan dari terapi okupasi, sensoris integral, terapi perilaku, terapi wicara dan terapi biomedis akan sangat membantu proses perbaikan fungsi-fungsi otak anak sehingga mendukung perkembangan yang optimal. Dalam pelaksaannya membutuhkan pengawasan ahli dan biaya yang mahal.
            Sedangkan menurut Handojo (2009), pakar terapi perilaku Ivar O. Lovaas dari AS menerapkan metode ABA (Applied Behavior Analysis) kepada anak-anak autis dan hasilnya sangat memuaskan bahkan anak autis tersebut mampu memasuki sekolah formal dan mereka sulit dibedakan dari anak-anak normal lainnya.
            Prinsip dasar metode ABA yaitu : Kehangatan (berdasarkan kasih sayang yang tulus untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten), Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak), Tanpa kekerasan dan Tanpa marah/jengkel, PROMPT (bantuan, arahan secara tegas dan lembut), dan Apresiasi (memberi imbalan yang efektif sebagai motivasi).
            Teknik-teknik metode ABA antara lain :
            Discrete Trial Training (DTT), terdiri dari “siklus” yang dengan instruksi, prompt, dan diakhiri dengan apresiasi. Siklus dapat digambarkan seperti berikut :
Siklus Penuh : instruksi (1)    tunggu 5 detik    bila respon anak tak ada, lanjut dengan instruksi (2)      tunggu 5 detik      bila respon masih belum ada, lanjut dengan

instruksi (3)      langsung  Prompt dan segera beri apresiasi.

Kemungkinan kedua dapat terjadi :
Siklus Tidak Penuh : instruksi (2)       tunggu 5 detik      bila tak ada respon, lanjut dengan

Instruksi (3)        anak bisa melakukan tanpa promt      segara berikan apresiasi.

Kemungkinan ketiga dapat terjadi :
Siklus Pendek : instruksi (3)      anak bisa melakukan tanpa promt      segara berikan apresiasi.

            Pada siklus penuh dan tidak penuh hasil terapi dicatat “P” = Promt dan siklus pendek hasil terapi dicatat “A” = Apresiasi.
            Discrimination Training (Discriminating), teknik ini dipakai untuk melabel (identifikasi) seperti huruf, warna, bentuk tempat, orang dan sebagainya untuk kemampuan kognitif. Teknik pengenalan dilakukan dalam empat langkah :
Langkah (1)  letakkan objek di titik tengah meja dan instruksikan “pegang..(sebutkan nama objek)!”

Langkah (2)       acak penempatan objek kesegala arah dan berikan instruksi yang sama.

Langkah (3)       sertai dengan objek pembanding dan letakkan di titik tengah meja

Langkah (4)       acak kedua objek ke segala arah.

Jangan lupa untuk memberikan apresiasi kepada anak pada setiap langkah.
            Matching (mencocokkan), dengan tahapan sebagai berikut :
Tahap (1)     letakkan satu objek diatas meja dan berikan satu objek yang sama (kembarannya) kepada anak. Instruksikan “samakan!”

Tahap (2)       letakkan beberapa objek berbeda di atas meja dan berikan objek kembarannya satu persatu kepada anak, dan beri instruksi yang sama.

Tahap (3)      lakukan hal yang sama seperti langkah (2), biarkan ia memilih sendri objek yang akan disamakan. Jika terjadi kesalahan, jangan langsung diperbaiki tapi beri kesempatan untuk menyadari sendiri kesalahannya.

Tahap (4)       lakukan hal yang sama seperti langkah (2), pakailah timer untuk mengukur kecepatannya dan catat jumlah kesalahan yang dilakukannya.

Jangan lupa untuk memberikan apresiasi setiap kali anak mencocokkan setiap objek.
            Fading (meluntur), yaitu melunturkan PROMT kepada anak autis. Dari prompt penuh kemudian dikurangi secara bertahap sampai anak berhasil melakukan tanpa Promt lagi.
            Shaping (pembentukan), teknik ini dipakai saat mengajarkan kata-kata verbal misalnya tirukan “minum” pertama mungkin anak hanya bisa mengucapkan “nyum”, berikan imbalan. Latih terus sampai menjadi “minyum” hingga menjadi sempurna “minum”. Namun apabila gagal jangan lakukan Promt dan kita mundur ke arah vokal suara (teknik tersendiri yaitu tahap lanjutan metode ABA).
            Chaining, menguraikan perilaku komplek menjadi beberapa mata rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap mata rantai diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila sudah menguasai tiap mata rantai, kemudian gabungkan kembali hingga menjadi perilaku yang utuh.
Contoh : Memasang kaos kaki (kaos kaki yang longgar) yaitu :
Mata rantai (1)         ajarkan mengambil kaos kaki dengan metode DTT sampai bisa

Mata rantai (2)        ajarkan membuka kaos kaki dengan menggulung.

Mata rantai (3)        memsukkan kaos kaki ke ujung jari-jari kaki.

Mata rantai (4)        menarik kaos kaki ke arah tumit.

Mata rantai (5)        merapikan kaos kaki.

Apabila setiap mata rantai telah dikuasai anak, perintahkan anak untuk memakainya sendiri.
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com