Monday, April 15, 2013

Agama Resmi dan Tidak Resmi


Agama Resmi dan Tidak Resmi
Agama-agama yang dianut di Indonesia sebenarnya berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut sebagai agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama lain, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya. Belum lagi agama-agama lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat sebelum kedatangan agama pendatang (Islam dan Kristen), yang kemudian sering disebut sebagai aliran kepercayaan sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadatnya. Realitas inilah yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku dan agama. Dengan kemajemukannya inilah, potensi pertentangan dalam kontestasi untuk menyatukan berbagai aliran dan paham kagamaan semakin besar. Paling tidak, kelompok mainstream akan menguasai panggung kontestasi untuk merebut makna-makna pemahaman keagamaan yang berserakan dalam kemejemukan masyarakat.
Dalam konteks keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia ini, ternyata negara justru membatasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara.  Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sangat banyak atau paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang berkembang di masyarakat. Negara justru hanya memberi batasan bahwa ada 6 agama resmi yang diakui. Selain agama yang 6 ini, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.
Hal itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1 /PNPS/1965 tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktek di lapangan kesan pengingkaran terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan dimana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat, tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari raya dan sebagainya. Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE tersebut, Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia.  Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui, sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah kecuali UGM yang sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir ini maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali.
            Inilah yang mendasari dirumuskannya Rancangan KUHP terutama soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama (pasal 341-348). Di  Bab itulah agama menjadi kata kunci untuk menentukan tindak pidana seseorang. Apakah yang dimaksud dengan agama? Apakah agama masih dipahami secara konvensional; memiliki Tuhan, kitab suci, nabi, dan jumlah penganut. Kalau demikian penegertiannya, maka jelas sekali bahwa arti kata agama dalam  Rancangan KUHP dipahami dengan 6 agama resmi yang diakui  negara, sehingga tidak mencakup atau tidak memberi ruang terhadap kepercayaan lokal (CF pasal 18 ICCPR), karena tidak memiliki persyaratan untuk disebut agama.
Pengakuan 6 agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama ”korporatis” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu Dharma Indonesia.  Lembaga-lembaga agama “korporatis” negara ini kemudian dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dll.
Lembaga-lembaga agama tersebut sesungguhnya mencerminkan kebenaran yang dijustifikasi. Dengan kata lain, lembaga agama inilah yang memproduksi dan menjustifikasi kebenaran suatu agama. Sementara kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain menjadi tidak terjustifikasi. Inilah yang menjadikan telah hilangnya makna agama yang substansial, yang pada gilirannya digantikan oleh lembaga agama atau agama yang dilembagakan, yang dalam teori sosial disebut institusionalized religion dalam bentuk organisasi keagamaan. Sehingga militansi dan fanatisme selalu dirujuk pada bagaimana pengikut organisasi mengikuti kebenaran yang telah dirumuskan oleh suatu organisasi agama. Kebenaran kemudian menjadi milik suatu organisasi agama yang dianut oleh anggotanya. Selama ini orang tidak sadar bahwa militansi terhadap “agama yang telah terlembaga” lebih besar ketimbang agamanya itu sendiri. Meskipun terkesan seseorang berjuang untuk menegakkan agama, tetapi yang sesungguhnya kita lihat adalah ia berjuang untuk “agama yang telah terlembaga”.
            Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam Undang-undang dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No. 1/PnPs/1965 pasal 1 ). Pada gilirannya, negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap sesat oleh kelompok mainstream tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia, bahkan mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di pengadilan.
            Jika dilhat latarbelakang sejarahnya, Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, Undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama yang resmi.
            Kecenderungan negara yang diskriminatif tampaknya akan terlihat jelas dalam Rancangan KUHP, karena perlindungan menjalankan ibadah hanya diberikan kepada agama yang diakui negara saja, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Sementara keyakinan atau kepercayaan lain di luar itu tidak mendapat jaminan menjalankan keyakinan. Bahkan, keyakinan itu dapat dianggap sebagai “meniadakan keyakinan agama yang dianut”yang dijadikan tindak pidana. Perlindungan terhadap agama resmi itu dengan aktivitas mengganggu, mengejek, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan dan sebagainya.
            Argumentasi ini ingin mengatakan Rancangan KUHP, tidak mengakomodasi agama atau kepercayaan/keyakinan lokal diluar agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Kristen Katolik. Para peserta seminar dan workshop juga dapat menangkap ide pemikiran di balik pasal ini, bahwa kepercayaan atau keyakinan lokal yang tumbuh subur di masyarakat dianggap sebagai penghalang, dan pengganggu bagi agama yang formal tadi. Secara tidak langsung negara melakukan tindakan disriminatif terhadap kepercayaan lokal. 
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com