Tuesday, October 1, 2013

Pancasila Karakter Keindonesiaan

Pancasila Karakter Keindonesiaan 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 1 Juni 2010, menyatakan setuju dengan pernyataan bahwa Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika merupakan 4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden menggarisbawahi pula bahwa rangakaian dokumen sejarah, mulai dari 1 Juni 1945 hingga teks final Pancasila yang diundangdasarkan pada 18 Agustus 1945 adalah satu-kesatuan dalam proses kelahiran Pancasila. 

Presiden SBY mengingatkan pula, hal terpenting saat ini adalah menyangkut dijadikannya Pancasila sebagai rujukan dalam menjawab tantangan bangsa di tengah dunia yang terus berubah. Mendengarkan pandangan SBY tentang Pancasila terkait pidato Bung Karno, 1 Juni 1945 itu memang sangat menarik. Apalagi pada kesempatan itu ikut hadir, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri bersama para tokoh senior lainnya. Tampaknya, kita memang tidak ada lagi masalah dengan kesejarahan Pancasila. Namun, sebagaimana dikatakan tadi, persoalan kita saat ini justru menyangkut penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu.  

Kita justru layak mempertanyakan, sejauh mana lima sila Pancasila telah merefleksikan dalam kehidupan kita? Bila melihat kenyataan keseharian, rasanya Pancasila, jangankan untuk dihayati dan diamalkan tapi mengenalnya saja kini terasa seperti terlupakan. Apalagi dilihat dalam kehidupan generasi muda, Pancasila sudah terasa asing, tidak bergema, dan bahkan nyaris tanpa makna. Cobalah kita ajak anak-anak, generasi muda, seberapa pahamkah mereka tentang Pancasila? 

Ironisnya, tidak hanya para generasi muda, di kalangan para penyelenggara Negara, Pancasila juga sudah seperti terlupakan. Cobalah lihat berbagai perkembangan pemikiran, kebijakan terkait masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah nilai-nilai Pancasila banyak disinggung, menjadi rujukan utama? Bagaimana dengan berbagai produk perundang-undangan yang dibuat terakhir ini, apakah semangat dan nilai-nilai Pancasila tersebut ikut mewarnai? 

Sudah menjadi pembicaraan bahwa Pancasila, saat ini nyaris hanyalah sebagai kosa kata, istilah yang tidak lebih seperti ketika kita membincangkan Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, dan sebagainya. Dia diingat ketika hari lahirnya, sedangkan nilai-nilainya seperti asing dalam kehidupan kita. Malahan, hari lahir Pancasila sajapun diperingati secara terbatas. 

Padahal Pancasila pernah sering dikumandangkan sebagai falsafah, pandangan hidup, way of life, ideology, dasar Negara Indonesia. Kata-kata ini sampai kini tentu tidak banyak yang membantah, namun lagi-lagi tidak banyak dikedepankan sehingga terasa asing bagi banyak kalangan, terlebih di kalangan generasi muda. Bahkan, pernah pula, Pancasila dikaitkan dengan berbagai kosa kata lain, seperti demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, pers Pancasila, dan sebagainya. 

Harus diakui, kita tidak dapat melupakannya, Pancasila pernah demikian popular ketika masa Orde Baru. Pemerintahan masa Orde Baru memang sangat antusias mengusung Pancasila dalam segala sisi kehidupan bangsa dan Negara. Masa itu dikedepankan satu asas Pancasila bagi organisasi politik dan kemasyarakatan. Masa itu pula kita mengenal P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), BP-7 (Badan Pembinaan Pelaksananaan Pendidikan P-4), dan Tim P-7 (Tim Penasehat Presiden untuk Pelaksanaan P-4). Segala-galanya ketika itu orang menyebut Pancasila sehingga harus diakui pula banyak terjadi hal-hal yang kebablasan. 

Seiring dengan pergantian masa dari Orde Baru ke era reformasi, Pancasila lantas dikesampingkan. Hujatan yang dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru telah berimbas kepada Pancasila dengan menyebut dan menuding, Pancasila disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan, dan penafsiran Pancasila dilakukan secara sepihak. Segala cacat yang ditimpakan kepada Orde Baru dinilai karena penyalahgunaan Pancasila. 

Lucunya, boleh jadi ada penerapan atau pengamalan yang salah terhadap Pancasila tapi kenapa justru Pancasila yang dikebiri? Ibarat kita tidak pandai menari, lantai yang disalahkan. Pancasila kala itu kita tuding habis, termasuk menyalahkan para Bapak Bangsa yang telah mewariskan Pancasila tersebut. Pancasila kita hadapkan, pertentangkan atau bandingkan dengan agama, padahal berulangkali ditegaskan Pancasila bukanlah agama. 

Kini, seribu alasan boleh kita kemukakan mengapa Pancasila sempat kita pinggirkan. Lantas, ketika ada pengakuan, kesadaran bahwa nilai-nilai Pancasila memang tidak terbantahkan untuk keindonesiaan kita, mengapa kita tidak kembali mencuatkannya? Tampaknya, kinilah saatnya kita kembali menggelorakan Pancasila sebagai dasar Negara, falsafah hidup bangsa dan Negara Indonesia yang penuh kemajemukan ini. 

Tatkala era kebebasan, kehidupan yang penuh keterbukaan, demokrasi demikian akrab dalam kehidupan kita saat ini, upaya menggelorakan, memasyarakatkan Pancasila merupakan suatu keharusan. Ketika kita tidak lagi berdebat soal kesejarahannya maka kinilah saatnya Pancasila benar-benar dapat kita jadikan sebagai salah satu identitas utama keindonesiaan kita. Salah satu karakter, jati diri Indonesia, haruslah itu Pancasila. Ketika kita mulai berpikiran sempit, sektarian, bersikap primordial, otonomi daerah yang kebablasan, ketika itu pulalah kita harus mengedepankan Pancasila. 

Tentu saja, cara-cara yang dilakukan tidak harus persis sama dengan masa Orde Baru. Kalau perlu, otoritas dalam upaya memasyarakatkan Pancasila itu tidak harus lembaga pemerintah tetapi mungkin lembaga independen. Prinsipnya, upaya pemasyarakatan Pancasila harus segera dilakukan. Harus ada kemauan semua pihak, segenap komponen bangsa, menghidupkan kembali Pancasila. 

Paling tidak, Pancasila harus benar-benar digerakkan dalam dunia pendidikan. Ketika Kementerian Pendidikan Nasional mengedepankan pendidikan karakter bangsa dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2010, harusnya dapat menjadikan Pancasila sebagai ikon karakter bangsa dan Negara Indonesia. Saatnya kini, dari TK hingga perguruan tinggi, Pancasila dipopulerkan. Bila upaya tersebut dapat dilakukan, barulah kita meyakini Pancasila dapat menjadi rujukan, namun jika tidak ada tindakan, gerakan masyarakat untuk mensosialisasikannya, maka ajakan Presiden SBY menjadikan Pancasila sebagai rujukan, hanyalah himbauan tanpa makna, retorika tak berkesan. 

Mari kita nantikan, apakah Pancasila memang serius akan kembali digelorakan? Sebagai upaya membangun karakter, Pancasila memang harus banyak kita pikirkan, kita bicarakan, kita upayakan untuk diamalkan. Bila penghayatan dan pengamalannya sudah menjadi kebiasaan, melekat dalam kehidupan, barulah butir-butir atau nilai-nilai Pancasila itu menjadi bagian dari karakter keindonesiaan kita.

No comments:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.