Thursday, October 3, 2013

Tipe-tipe, fungsi sistem politik dan pemerintahan

Tipe-tipe, fungsi sistem politik dan pemerintahan.
1. Tipe sistem politik
Kajian tentang sistem politik lebih bermakna secara teoritis, sebab tidak satupun sistem politik suatu negara yang benar-benar sama dengan sistem politik negara lain. Secara teoritik ada beberapa tipe sistem politik yang dikemukakan oleh Harold Crouh (dalam Untari, 2006) sebagai berikut:

a. Menurut Shils
Shils membicarakan empat sistem politik yang sedang menjalankan modernisasi, yakni:
1) Political Democracy.
Demokrasi bersifat pemerintahan sipil, adanya lembaga representative dan adanya kebebasan umum (public liberties). Menurut Shils, ciri-ciri demokrasi: (1) adanya dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat, (2) terdapat lebih dari satu partai politik yang bersaing, (3) Pers dan organisasi lain memiliki kekebebasan berbicara/mengeluarkan pendapat, (4) adanya kehakiman yang bebas, (5) rule of law ditegakkan.

Selanjutnya Shils mengemukakan sistem politik demokrasi hanya mungkin dalam ”political society”, yang coraknya (1) perasaan nasionalisme yang kuat, (2) perhatian politik masyarakat yang cukup besar, (3) pengakuan sistem yang legitimate, (4) pengakuan hak-hak individu, (5) konsensus tentang nilai-nilai. Menurut Shils belum ada negara satupun yang memenuhi syarat ini, walaupun negara maju sekalipun. Negar-negara barat baru mendekatai syarat ini.

2) Tutelary Democracy
Dalam sistem ini ditandai antara lain: (1) adanya lembaga perwakilan, (2) kebebasan berbicara, (3) rule of law ada tetapi agak lemah, (4) Partai dan pers yang bebas diperkenankan, namun ada Undang-Undang yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengerem kritik-kritik yang tajam. 

Ciri khas tutelery democracy adalah (1) kestabilannya yang tidak dimiliki oleh political democracy., (2) hak-hak oposisi ada tetapi dibatasi; (3) tutelary democracy memerlukan suatu administrasi yang baik.; (4) organisasi penyaluran aspirasi belum berkembang; (5) civil order dibutuhkan yakni masyarakat yang menghormati hukum dan tidak menyukai kegiatan revolusioner.

3) Modernising Oligarcy
Sistem politik ini terjadi manakala demokrasi gagal dilaksanakan, karena ada jurang antara elit politik yang menginginkan modernisasi dengan rakyat tradisional. Modernising oligarchy membutuhkan persyaratan: (1) pemerintah membutuhkan prestasi yang lebih besar daripada demokrasi untuk meyakinkan rakyat, bahwa sistem oligarki perlu; (2) oposisi harus ditekan, (3) dalam administrasi negara korupsi harus dihapuskan untuk membuktikan bahwa sistem ini lebih baik dari pada demokrasi, (4) lembaga penyalur pendapat umum belum berkembang, (5) ideologi negara harus diciptakan dan didalangi oleh pemerintah dan menjadi pegangan rakyat.

Seiring sistem ini dijalankan oleh pemerintahan militer yang kurang sanggup dalam administrasi sipil dan urusan ekonomi, karena itu Shils tidak yakin apakah sistem ini dapat berhasil atau tidak.

4) Totalitarian Oligarcy
Tipe keempat dari sistem politik adalah totaliterianism, dimana golongan elit memiliki kekuatan lebih jauh dari golongan lain. Tidak ada oposisi, tidak ada dewan perwakilan yang bebas, tidak ada pendapat umum, siapa yang melawan pemerintah dipenjarakan.

Menurut Shils negara Asia-Afrika mungkin akan banyak mempraktekkan system ini, karena pemerintahan totaliter dianggap efisien, seperti di Burma, Vietnam Utara, Cina, Afrika Selatan, Kongo, dsb.

5) Tradisional Oligarcy
Tipe sistem politik ini merupakan sistem tradisional yang dipimpin oleh raja atau ningrat. Sistem ini tidak menghendaki modernisasi, sehingga saat ini jarang diketemukan. 

b. Menurut Organsky
Organsky menerangkan bagaimana sistem politik berubah, sebab corak atau tipe pemerintahan tergantung dari masalah yang dihadapinya, sedangkan perkembangan politik terbagi dari beberapa tahap. Menurut Organsky ada tiga sistem politik, yaitu:

1) Sistem Borjuis
Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris abad 19 dan meluas ke Eropa Barat. Menurut Karl Marx pada abad 19 parlemen Inggris didominasi pemimpin Borjuis. Rakyat tidak diwakili dan sistem demokrasi tidak dijalankan.

Makin banyak pabrik, industri makin banyak kaum Borjuis (kaum pengusaha), akibatnya kaum Borjuis menuntut kekuasaan dan secara otomatis berpengaruh terhadap pemerintahan, maka terjadilah pergeseran kekuasaan dari ningrat ke kaum Borjuis. Dalam sistem politik Borjuis kaum miskin dan buruh dijauhkan dari pemerintahan. Kaum buruh dan petani sangat sengsara, karena diperas tenaganya dan jaminan kesejahteraan kurang sekali, tidak ada serikat pekerja di pabrik-pabrik, tidak ada wadah untuk memperjuangkan.

Walaupun pada awalnya berkembang di Inggris, namun Belandapun terpengaruh sistem itu, karena Belada sebagai negara penjajah di Indonesia juga menerapkan sistem itu. Hal ini bisa dilihat ketika banyak kaum buruh dan petani dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda, termasuk pengiriman ke Suriname.

2) Sistem Stalinis
Sistem politik ini dikembangkan di negara-negara Komunis. Sistem ini muncul kalau ada golongan modern kuat versus golongan elit tradisional yang umumnya tidak mau menerima modernisasi dan industrialisasi. Elit tradisional tidak mau memberi konsesi, sedangkan golongan elit modern menganggap industrialisasi sesuatu yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun golongan ini tidak cukup kuat untuk melakukan resolusi, jika dapat melakukan pemerontakan mereka akan menggulingkan pemerintahan ningrat.

Pada awalnya pemerimtahan ini didukung oleh buruh dan petani, namun karena kepentingan industrialisasi pemerintah stalinis akhirnya juga menindas golongan miskin. Kalau perlu petani dipindahkan ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik. Ini berbeda dengan sistem Borjuis, dimana petani dilindungi dan didorong masuk ke pabrik. Sedangkan sistem politik stalinis petani dipaksakan meninggalkan tanahnya dan masuk pabrik oleh karena proses modernisasi dan industrialisasi di sistem stalinis lebih ketat/keras, lebih tajam dari lebih kejam.

3) Sistem Sinkratik.
Sistem sinkratik muncul sebagai pengganti sistem Borjuis. Ketika industrialisasi berkembang muncul golongan buruh yang lebih kuat dan terorganisir secara teratur. Sementara kaum Borjuis dan kaum ningrat yang bersaing sama-sama takut pada kekuatan buruh. Oleh karenanya mereka bekerjasama untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam perjanjiannya kaum Borjuis boleh memeras kaum buruh, tetapi Borjuis tidak boleh merongrong kekuasaan ningrat dengan menarik petani untuk masuk pabrik.


Dengan demikian dalam sistem kedua kaum buruh dikorbankan demi industrialisasi dan kekuasaan kaum ningrat tetap bertahan, sedangkan kaum petani dilindungi oleh ningrat yang masih kuat dan kurang antosias pada industrialisasi.

c. Menurut Kautsky

1) Sistem Tradisional
Tipe sistem politik ini ada masyarakat pra-industrialisasi, dimana ada tiga kelas utama, yaitu ningrat, tani, dan menengah lama (tukang, sarjana dan pedagang). Ningrat berkuasa karena menguasai sumber produksi, yaitu tanah. Golongan ini berkedudukan pada pemerintahan, militer dan agama. Kedua tani dan menengah lama menerima kekuasaan dari ningrat. Dengan demikian jika ada pertentangan politik, lebih pada pertentangan fraksi-fraksi di kelas ningrat. Kalau terjadi perubahan sistem itu karena perubahan ekonomi.

Karena itu pada masa dahulu orang-orang yang menduduki jabatan pada masa pemerintahan pra-industri, para tokoh agama, para pedagang memiliki tanah yang luas.

2) Sistem Totalitarianism
Sistem ini berbeda dengan sistem authoritarianism, yakni sistem dimana yang berkuasa memakai cara-cara yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sistem politik totalitarianism mencoba mengendalikan masyarakat secara total. 

Rejim authoritarianism hanya memberantas lawan politik yang berbahaya, tetapi rejim totalitarianism mau mengendalikan segala hal bahkan agama, keluarga, olah raga dan lain-lain.

Totalitarianism tak mungkin tanpa industrialisasi, karena untuk melakukan kontrol penuh dibutuhkan tingkat teknologi dan komunikasi yang modern, sejata modern dan organisasi modern.

3) Sistem Totalitarianism Ningrat
Sistem politik ini muncul manakala kelas ningrat memegang kekuasaan dan kelas lain tidak disertakan dalam pemerintahan. Dengan menggunakan metode totaliter untuk memerintah. Hal ini terjadi jika kelas lain seperti buruh, petani kelas menengah lama tidak memiliki cukup kekuatan dan tidak sanggup mendirikan pemerintahan sendiri, sementara kelas kapitalis pribumi terlalu lemah untuk membentuk pemerintahan.

Jika kelas ningrat berkuasa, maka proses industrialisasi dan gerakan nasional merupakan ancaman. Kekuatan kelas ningrat dapat semakin berkurang, kemungkinan akan didukung oleh kaum kapitalis untuk membentuk rejim facis.

4) Sistem Totalitarianism Cendekiawan
Sistem ini adalah suatu rejim yang dipimpin kaum ningrat dengan dukungan kaum kapitalis dan kaum menengah lama. Dalam sejarah di Eropa terjadi seperti Hitler di Jerman dan Musolini di Italia.

Menurut Kautsky sistem totaliter yang dipimpin oleh kaum cendekiawan lebih mungkin terjadi di negara-negara baru, yaitu negara-negara yang baru merdeka setelah lama dijajah bangsa lain.

5) Sistem Demokrasi
Menurut Kautsky, demokrasi adalah suatu sistem dimana semua golongan politik mempunyai kesempatan untuk diikutsertakan dalam proses politik dan pemeritahan.

Demokrasi harus ada: pemilu, lembaga perwakilan yang representatif. Demokrasi timbul kalau ada keseimbangan kelas-kelas bersaing dimana tidak satu kelaspun yang dapat menguasai semua kelas.

Karakteristik Negara yang menganut sistem demokrasi, menurut Alamudi (dalam Untari, 2006) soko guru demokrasi adalah (1) kedaulatan ada di tangan rakyat, (2) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, (3) kekuasaan mayoritas, (4) jaminan hak-hak minoritas, (5) jaminan HAM, (6) pemilu yang bebas dan jujur, (7) persamaan di depan hukum, (8) proses hukum yang wajar, (9) pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, (10) pluralisme sosial, ekonomi dan politik, (11) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat (dalam Untari, 2006). 

2. Fungsi sistem politik
Fungsi sistem politik tidak diartikan ” social function ”, tetapi lebih diarahkan ke pengertian ” the function of goverment” ialah mengandung arti fungsi pemerintahan, sehingga ada unsur pencapaian tujuan (Irish dan Protho dalam Sukarna, 1979). 

Sebelum membahas fungsi ssitem politik, terlebih dahulu perlu diketahui variabel sistem politik. Untari (2006:2) mengemukakan ada empat variabel sistem politik, yaitu:

a Kekuasaan. 
Dalam sistem poltik kekuasaan bukanlah tujuan, kekuasaan merupakan cara untuk mencapai hal-hal yang diinginkan aktor politik.

b Kepentingan. 
Kepentingan adalah tujuan yang dikejar oleh para pelaku politik.

c Kebijaksanaan. 
Hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan. Kebijaksanaan dalam sistem politik biasanya diwujudkan sebagai peraturan perundang-undangan.

d Budaya politik. 
Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik. Laboratorium Pancasila mengemukakan budaya politik merupakan sikap politik yang khas terhadap sistem politik dengan berbagai ragam bagiannya dan bagaimana sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem itu. 

Berdasarkan empat variabel sistem politik, maka fungsi sistem politik adalah sebagai berikut:
a. Kapabilitas.
Kapabilitas suatu sistem politik adalah kemampuan sistem dalam menjalankan fungsinya dalam rangka keberadaannya dalam lingkungan yang lebih luas. Kantaprawira,(2006) mengemukakan bentuk kapabilitas suatu sistem politik berupa:

1) Kapabilitas Regulatif, 
Kapabilitas regulatif suatu sistem politik merupakan penyelenggaraan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan kelompok yang ada di dalamnya; bagaimana penempatan kekuatan yang sah (pemerintah) untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lainnya yang berada di dalamnya, semuanya merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur atau mengendalikan.

2) Kapabilitas Ekstraktif, 
SDA dan SDM sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan suatu sistem politik. Berdasarkan sumber-sumber ini, sudah dapat diduga segala kemungkinan serta tujuan apa saja yang akan diwujudkan oleh sistem politik. Dari sudut ini, karena kapabilitas ekstraktif menyangkut soal sumber daya alam dan tenaga manusia, sistem politik demokrasi liberal, sistem politik demokrasi terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila tidak banyak berbeda. SDA dan SDM Indonesia boleh dikatakan belum diolah secara otpimal. Oleh karena masih bersifat potensial.

3) Kapabilitas Distributive; dan 
Kapabilitas ini berkaitan dengan sumber daya yang ada diolah, hasilnya kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat. Distribusi barang, jasa, kesempatan, status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi riil sistem politik. Distribusi ini ditujukan kepada individu maupun semua kelompok masyarakat, seolah-olah sistem poltik itu pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi masyarakat. 

4) Kapabilitas Responsif
Sifat kemampuan responsif atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan antara input dan output. Bagi para sarjana politik, telaahan tentang daya tanggap ini akan menghasilkan bahan-bahan untuk analisis deskriptif, analisa yang bersifat menerangkan, dan bahkan analisa yang bersifat meramalkan. Sistem politik harus selalu tanggap terhadap setiap tekanan yang timbul dari lingkungan intra-masyarakat dan ekstra-masyarakat berupa berbagai tuntuan.

5) Kapabilitas Simbolik.
Efektivias mengalirnya simbol dari sistem politik terhadap lingkungan intra dan ekstra masyarakat menentukan tingkat kapabilitas simbolik. Faktor kharisma atau latar belakang sosial elit politik yang bersangkutan dapat menguntungkan bagi peningkatan kapabilitas simbolik. Misalnya Ir Soekarno - - Megawati, dengan keidentikan seorang pemimpin dengan tipe “panutan” dalam mitos rakyat, misalnya terbukti dapat menstransfer kepercayaan rakyat itu menjadi kapabilitas benar-benar riil. 

6) Kapabilitas Dalam Negeri dan Internasional
Suatu sistem politik berinteraksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas internasional. Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional ialah kemampuan yang memancar dari dalam ke luar. Misalnya kebijakan sistem politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Israel, juga akan mempengaruhi sikap politik negara-negara di timur tengah. Oleh karena itulah pengaruh tuntutan dan dukungan dari luar negeri terhadap masyarakat dan mesin politik resmi, maka diolahlah serangkaian respons untuk menghadapinya

Politik luar negeri suatu negara banyak bergantung pada berprosesnya dua variabel, yaitu kapabilitas dalam negeri dan kapabilitas internasional. 

b. Konversi.
Fungsi sistem politik konversi menggambarkan kegiatan pengolahan input menjadi output yang formulasinya meliputi:
1). penyampaian tuntutan (interest artivculation)
2). perangkuman tuntutan menjadi alternatif tindakan pembuatan aturan (interest aggregation)
3). pelaksanaan peraturan (regulative implementation)
4). menghakimi (jugdment)
5). Komunikasi (communication)
c. Pemeliharaan dan penyesuaian (adaptation)

Fungsi sistem politik Pemeliharaan dan penyesuaian (adaptation) adalah menyangkut sosialiasasi dan rekruitmen yang bertujuan untuk memantapkan bangunan struktur politik dari sistem politik (Untari, 2006).

Di dalam sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia sejak merdeka hingga sekarang, terdapat sistem politik berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, seperti sistem politik dan struktur politik di masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, maupun demokrasi Pancasila.

Sukarna (1979:28-29) mengemukakan ada dua fungsi utama yang merupakan ciri esensial (yang perlu ada) dalam sistem politik, ialah:
1) Perumusan kepentingan rakyat (identification of interest in the population); dan
2) Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (selection of leaders or official decision maker).

Wahyu, 2008 mengemukakan ada beberapa fungsi sistem politik meliputi:
  1. fungsi pembuatan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan;
  2. fungsi output dari kegiatan pembuatan keputusan adalah pembuatan peraturan (rule making), pelaksanaan peraturan (rule aplication) dan penyelesaian konflik (rule ajudication fungction).
  3. fungsi perumusan kepentingan rakyat (identification interest in the population), dan 
  4. fungsi pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (selection of leaders of official decision maker)
Di negara demokrasi yang penduduknya sudah maju pemilihan pemimpin atau pejabat pembuatan keputusan di negara itu melalui proses kompetisi atau persaingan yang berat, sehingga lebih berat bila dibandingkan pada negara atau masyarakat feodal dan negara kediktatoran. Pemilihan pemimpin pada masyarakar feodal atau kediktatoran dilakukan dengan cara menjilat ke atasan. Siapa yang loyal, dekat dengan pemimpin yang lebih tinggi dengan mudah menjadi pemimpin atau pejabat..

Di Indonesia, proses pemilihan pemimpin berbeda dari masa ke masa kepemimpinan. Saat ini, seorang calon pemimpin disamping harus melalui tes and property, juga sarat lain, misal loyalitas dan tidak pernah berbuat kriminal.

Dengan demikian sistem politik di Indonesia adalah suatu sistem politik yang berlaku atau sebagaimana adanya di Indonesia, baik seluruh proses yang utuh maupun hanya sebagian saja; Sistem politik Indonesia dikatagorikan dan berfungsi sebagai mekanisme yang sesuai dengan dasar negara, ketentuan konstitusional maupun juga memperhitungkan lingkungan masyarakat secara riil (Kantaprawira, 2006).

Wahyu, 2008 mengemukakan ada 4 komponen dalam sistem politik, yaitu: 
1) Kekuasaan.
Kekuasaan sebagai suatu cara untuk mencapai hal yang diinginkan/tujuan bersama.

2) Kepentingan
Kepentingan merupakan tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok politik

3) Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan.

4) Budaya politik. 
Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.

No comments:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.