Macam-Macam Terapi Anak Autis : Menurut Sunu (2012), karena melihat penyebab dan gejala autis yang komplek, maka untuk menangani penderita autis tidak cukup hanya dengan satu terapi saja. Anak penderita autis membutuhkan banyak stimulus dan latihan untuk merangsang kemampuannya mulai dari kemampuan bicara, perilaku, sosial, emosi, dan syaraf-syaraf sel otak.
Terapi biasanya dilakukan oleh seorang terapis dengan sistem one on one (satu guru satu murid) dengan memberikan instruksi. Beberapa terapi yang dapat dijalani oleh anak penderita autis yaitu :
1.
Terapi Perilaku
Terapi
perilaku adalah suatu cara terapi yang bertujuan untuk menghilangkan
perilaku-perilaku yang tidak bisa diterima secara sosial, membangun perilaku
baru yang diterima secara sosial dan bermanfaat seperti komunikasi secara
spontan dan melakukan interaksi sosial dengan yang lain. Terapi perilaku
dilakukan karena bentuk perilaku pada anak penderita autis berbeda dengan
aturan sosial yang seharusnya. Ini diakibatkan adanya kelainan pada sistem
syaraf otak anak autis.
Beberapa
kemampuan awal yang dapat diajarkan pada anak autis berhungan dengan perilaku
antara lain seperti : Kemampuan diri
(duduk, kontak mata dan respon perintah); Kemampuan
meniru (gerakan-gerakan); Kemampuan
pemahaman bahasa (mengikuti satu langkah perintah dan mengenali gambar,
benda dll); Kemampuan bahasa ekspresif
(meniru suara, menamakan benda dan kegunaannya dll); Kemampuan preakademik (mencocokkan benda, gambar, warna, huruf,
angka dll): serta Kemampuan bantu diri
(minum dari cangkir, menggunakan sendok saat makan, melepas baju dll).
2.
Terapi Okupasi
Terapi okupasi
adalah upaya penyembuhan terhadap anak yang mempunyai kelainan fisik dan mental
dengan cara memberikan keaktifan sehingga mengurangi penderitaan yang dialami
anak autis. Sasaran terapi okupasi meliputi pemulihan, pengembangan, dan
pemeliharaan fisik, intelektual, sosial dan emosi pada anak. Tujuan terapi
okupasi yaitu agar anak autis memiliki kemampuan motorik yang baik, mobilitas
gerak yang baik, mampu bereaksi, mampu mengurus diri sendiri secara sederhana,
mempersepsi dengan baik, berkomunikasi walaupun sederhana, kesibukan dijadikan
kebiasaan positif serta memiliki kemampuan kerja yang bersifat keterampilan
sehingga membantu sebagai lifeskill untuk bekal hidup kemudian hari.
Aktivitas yang
dapat dilatihkan pada anak penderita autis dalam terapi okupasi yaitu : Kemampuan
motorik kasar/halus (berjalan tanpa bantuan, melempar bola,melompat dengan
dua kaki, menyusun kubus kecil, memungut benda kecil, dan merangkai benda
kecil); Kemampuan mengurus diri
(mengambil makanan dan minuman sendiri, makan menggunakan tangan, minum dari
gelas dengan dua tangan, mencuci tangan, menggunakan kamar mandi/WC, melepas
sepatu tanpa tali, menyisir rambut); Keselamatan
diri (mengenal benda tajam dan penggunaannya, mengenal bahaya listrik dan
penggunaannya, mengenal sumber api dan bahaya api); Orientasi lingkungan disekitar anak (menggunakan benda-benda
pribadi di kamar dan merapikannya kembali sesudah menggunakannya); serta Kemampuan sosial (mengenal milik sendiri
dan milik orang lain, meminjam barang milik orang lain).
3.
Terapi Sensori Integrasi
(SI)
Terapi
SI merupakan bagian dari terapi okupasi yang berfungsi sebagai pelengkap.
Tujuan terapi ini bukan untuk menyembuhkan diagnosa autis, namun lebih
bertujuan untuk memperbaiki fungsi otak agar anak lebih adaptif dan perilakunya
membaik. Dalam aktivitas terapi SI, anak akan diberi serangkaian aktivitas yang
memberi input sensorik pada anak secara aktif seperti permainan. Ia dibimbing
untuk terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan yang diberikan dengan harapan
struktur-struktur halus di otak anak yang masih sangat elastis dapat
terstimulasi untuk berkembang dan dapat diperbaiki.
Aktivitas yang biasa diberikan kepada anak
autis berupa rangsangan untuk vestibuler
(keseimbangan), taktil (raba), auditori (pendengaran), visual ( penglihatan), dan propioseptik (gerak, tekan, dan posisi
sendi otot). Masing-masing anak memiliki kurikulm yang berbeda-beda dalam
terapi, ini karena sifat aktivitas yang diberikan sangan individual sesuai
kebutuhan masing-masing anak. Anak diharapkan memberikan reaksi pada setiap
rangsangan dan dituntut untuk memberikan respon tertentu. Jika anak berhasil
dengan aktivitas yang diberikan, anak diberi aktivitas yang lebih sulit secara
bertahap argar dapat mengembangkan proses pengolahan informasi yang lebih baik.
4.
Terapi Snoezelen
J.Staal (1950-1960),
melakukan penelitian dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketiadaan
rangsangan sensoris akan menyebabkan perkembangan otak anak menjadi tidak
normal. Untuk menutupi kekurangan input sensiris, muncullah halusinasi di otak
anak, jika kondisi ini dibiarkan maka akan timbul gangguan perilaku abnormal
pada anak. Snoezelan berasal dari bahasa Belanda “snuffelen” (to sniff =
mencium) dan (to doze = tidur
sebentar). Jadi terapi Snoezelen
mempunyai makna nyaman dan rileks.
Tujuan terapi
Snoezelan yaitu untuk mempengaruhi sistem syaraf pusat anak dengan memberikan
rangsangan yang cukup pada sitem sensori primer yang meliputi penglihatan
(stimulinya : berupa berbagai jenis warna dengan fungsinya masing-masing sesuai
spektrumnya), pendengaran (stimuli : bunyi-bunyian atau musik), penciuman
(stimuli : berbagai jenis aroma dengan efek yang berbeda-beda), perasa lidah,
dan juga sistem sensoris internal (vestibular = keseimbangan dan proprioseptif
= gerak, tekan dan posisi sendi otot). Selain itu tujuan terapi ini adalah :
membantu anak untuk rileks, meningkatkan kesadaran anak, mendorong inisiatif
untuk beraktivitas, meningkatkan rasa percaya diri anak dan meningkatkan
hubungan erat antara anak dengan orang tuanya.
5.
Terapi Wicara
Terapi wicara
merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan anak dalam menyampaikan
informasi melalui komunikasi verbal/oral menggunakan media lingistik (bahasa).
Tidak semua anak autis mengalami gangguan wicara, dan hanya sebagian kecil yang
mengalami hambatan dalam berbicara.
Ada tiga tahapan
terapi yang perlu dilakukan saat terapi wicara yaitu :Terapi propillactic pre-speech : mengajarkan anak untuk
mengembangkan kemampuan bicara awal (mengucapkan kata “ba”) ketika bergumam.Terapi etiologic : terapi ini melibatkan
orang tua untuk meningkatkan kemampuan bicara anak, melakukan diet makanan,
posisi tulang punggung, kemampuan anak mempersepsi, menstimulasi anak dengan
banyak berbicara.Terapi symptomatic :
untuk meningkatkan kemampuan bicara anak sesuai kemampuan ekspresifnya, jika anak
ingin minum, ia tidak hanya mengucapkan kata “minum”, tapi sudah bisa
mengucapkan kalimat “saya mau minum”.
6.
Terapi Biomedis
Terapi biomedis
yaitu cara melakukan perbaikan pada anak melalui perbaikan metabolisme tubuh.
Terapi biomedis akan sangat baik dampaknya untuk perkembangan kemampuan anak
autis jika didampingi dengan terapi SI dan Wicara. Terapi ini lumayan rumit dan
tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebelum menjalani terapi, anak terlebih
dahulu menjalani serangkain tes diagnostik yang meliputi pemeriksaan feses,
urin, rambut dan darah anak untuk mengetahui kadar kandungan bebagai zat yang
mencemari metabolisme dan tubuh anak seperti : jamur, bakteri, dan kandungan
mineral dan logam berat.
Shattock membagi
terapi biomedis menjadi empat tahapan yaitu : Tahap Casefire (genjatan senjata), pada tahap ini anak di minta
diet kasein (protein yang berasal dari susu sapi dan kambing) dan gluten
(protein yang berasal dari gandum-ganduman) selama jangka waktu tertentu
(beberapa bulan). Tahap problem dan mencari
persamaan, pada tahap ini orang tua diminta untuk mencatat dalam buku
harian makanan anak, makanan apa saja yang dimakan anak setiap hari dan
bagaimana perkembangan perilaku anak yang muncul pada saat itu. Pencatatan
dilakukan setelah anak menjalani diet kasein dan gluten. Dan jika dijumpai
kecurigaan pada makanan tertentu, ada baiknya hindari makanan tersebut selama 2
mingggu. Tahap Reconstruction, pada
tahap ini ahli terapis akan merekomendasikan makanan tambahan dan suplemen yang
dapat dikonsumsi anak berdasarkan hasil tes laboratorium masing-masing anak. Tahap Intervensi Tambahan, tahap dimana
anak diberi suplemen dan diet 5-HTP (5-Hydroxy Tryptopan) yang berfungsi untuk
membentuk neurotransmitter serotonin (berfungsi untuk menjaga suasana hati tetap
baik), DMG (Dymethyl glycine) sejenis vitamin B-15 yang berfungsi memperbaiki
suasana hati, mengurangi depresi, menenangkan, dan meningkatkan kemampuan
bicara.
Gabungan dari
terapi okupasi, sensoris integral, terapi perilaku, terapi wicara dan terapi biomedis
akan sangat membantu proses perbaikan fungsi-fungsi otak anak sehingga
mendukung perkembangan yang optimal. Dalam pelaksaannya membutuhkan pengawasan
ahli dan biaya yang mahal.
Sedangkan menurut
Handojo (2009), pakar terapi perilaku Ivar O. Lovaas dari AS menerapkan metode
ABA (Applied Behavior Analysis) kepada anak-anak autis dan hasilnya
sangat memuaskan bahkan anak autis tersebut mampu memasuki sekolah formal dan
mereka sulit dibedakan dari anak-anak normal lainnya.
Prinsip dasar
metode ABA yaitu : Kehangatan (berdasarkan kasih sayang yang tulus untuk
menjaga kontak mata yang lama dan konsisten), Tegas (tidak dapat ditawar-tawar
anak), Tanpa kekerasan dan Tanpa marah/jengkel, PROMPT (bantuan, arahan secara
tegas dan lembut), dan Apresiasi (memberi imbalan yang efektif sebagai
motivasi).
Teknik-teknik
metode ABA antara lain :
Discrete Trial Training (DTT), terdiri
dari “siklus” yang dengan instruksi, prompt, dan diakhiri dengan apresiasi.
Siklus dapat digambarkan seperti berikut :
Siklus Penuh : instruksi
(1) tunggu 5 detik bila respon anak tak ada, lanjut dengan
instruksi (2) tunggu 5 detik bila respon masih belum ada, lanjut
dengan
instruksi (3) langsung
Prompt dan segera beri apresiasi.
Kemungkinan kedua dapat terjadi :
Siklus Tidak Penuh :
instruksi (2) tunggu 5 detik bila tak ada respon, lanjut dengan
Instruksi (3) anak bisa melakukan tanpa promt segara berikan apresiasi.
Kemungkinan ketiga dapat terjadi :
Siklus Pendek : instruksi
(3) anak bisa melakukan tanpa promt segara berikan apresiasi.
Pada siklus penuh
dan tidak penuh hasil terapi dicatat “P” = Promt dan siklus pendek hasil terapi
dicatat “A” = Apresiasi.
Discrimination Training (Discriminating),
teknik ini dipakai untuk melabel (identifikasi) seperti huruf, warna, bentuk
tempat, orang dan sebagainya untuk kemampuan kognitif. Teknik pengenalan
dilakukan dalam empat langkah :
Langkah (1) letakkan objek di titik tengah meja dan
instruksikan “pegang..(sebutkan nama objek)!”
Langkah (2) acak penempatan objek kesegala arah dan
berikan instruksi yang sama.
Langkah (3) sertai dengan objek pembanding dan
letakkan di titik tengah meja
Langkah (4) acak kedua objek ke segala arah.
Jangan lupa untuk memberikan apresiasi kepada anak pada setiap
langkah.
Matching (mencocokkan), dengan tahapan
sebagai berikut :
Tahap (1) letakkan satu objek diatas meja dan
berikan satu objek yang sama (kembarannya) kepada anak. Instruksikan “samakan!”
Tahap (2) letakkan beberapa objek berbeda di atas
meja dan berikan objek kembarannya satu persatu kepada anak, dan beri instruksi
yang sama.
Tahap (3) lakukan hal yang sama seperti langkah (2),
biarkan ia memilih sendri objek yang akan disamakan. Jika terjadi kesalahan,
jangan langsung diperbaiki tapi beri kesempatan untuk menyadari sendiri
kesalahannya.
Tahap (4) lakukan hal yang sama seperti langkah
(2), pakailah timer untuk mengukur kecepatannya dan catat jumlah kesalahan yang
dilakukannya.
Jangan lupa untuk memberikan apresiasi setiap kali anak
mencocokkan setiap objek.
Fading (meluntur), yaitu melunturkan
PROMT kepada anak autis. Dari prompt penuh kemudian dikurangi secara bertahap
sampai anak berhasil melakukan tanpa Promt lagi.
Shaping (pembentukan), teknik ini
dipakai saat mengajarkan kata-kata verbal misalnya tirukan “minum” pertama
mungkin anak hanya bisa mengucapkan “nyum”, berikan imbalan. Latih terus sampai
menjadi “minyum” hingga menjadi sempurna “minum”. Namun apabila gagal jangan
lakukan Promt dan kita mundur ke arah vokal suara (teknik tersendiri yaitu
tahap lanjutan metode ABA).
Chaining, menguraikan perilaku komplek
menjadi beberapa mata rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap mata rantai
diajarkan tersendiri dengan siklus DTT. Apabila sudah menguasai tiap mata
rantai, kemudian gabungkan kembali hingga menjadi perilaku yang utuh.
Contoh : Memasang kaos kaki (kaos kaki yang longgar) yaitu :
Mata rantai (1) ajarkan mengambil kaos kaki dengan
metode DTT sampai bisa
Mata rantai (2) ajarkan membuka kaos kaki dengan
menggulung.
Mata rantai (3) memsukkan kaos kaki ke ujung jari-jari
kaki.
Mata rantai (4) menarik kaos kaki ke arah tumit.
Mata rantai (5) merapikan kaos kaki.
Apabila setiap mata rantai telah dikuasai anak, perintahkan anak
untuk memakainya sendiri.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.