Nyeri
merupakan salah satu gejala penting karena nyeri adalah gejala universal akan
adanya penyakit. Memahami gejala ini penting dalam mempertahankan fungsi tubuh
dan mengurangi penderitaan pasien. Terapi utama untuk nyeri adalah
menghilangkan sumber penyakit yang menyebabkannya. Tetapi untuk mencari
penyebab ini seringkali su;it dilakukan terutama untuk nyeri kronik. Oleh
karena itu, terkadang diperlukan pendekatan lain yang sifatnya mengurangi
gejala nyeri tersebut.
Nyeri
merupakan sensasi tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus. Ketika nyeri
dirasakan, sensasi ini akan mencapai level serebrum melalui interaksi yang
kompleks dan dinamik. Mekanisme dimana stimulus dinilai sebagai nyeri
ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pusat-pusat saraf level tinggi dapat
menghambat atau menambah pesan stimulus secara keseluruhan melalui aktivitas
prilaku, kognitif, psikologis, biologis (misalnya hormon), atau farmakologis.
Saat
stimulus dinilai sebagai suatu nyeri,
respon pertama kali adalah mencari asal sensasi nyeri untuk menghindar dari
stimulus tersebut. Respon dari sensasi nyeri tersebut dapat berbagai macam. Hal
ini terjadi akibat adanya modulasi stimulus pada berbagai macam tingkat
aktivitas neuron dari perifer ke pusat. Oleh karenanya, persepsi terhadap suatu
stimulus dapat berbeda.
Banyak
sekali faktor yang mempengaruhi peresepsi seseorang terhadap nyeri. Bukan hanya
faktor organik saja, faktor emosional dan lingkungan juga berpengaruh. Hal ini
terkait modulasi persepsi nyeri di tingkat serebrum. Stimulus yang muncul akan
dimodulasi dan diproses melalui berbagai tingkatan yang melibatkan berbagai
level memori.
Teori gate-control, yang diperkenalkan oleh
Melzak dan Wall pada tahun 1965, menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan
proses multidimensional dengan berbagai macam pengaruh. Penjelasan yang
diajukan akan adanya nyeri yang menetap setelah penyembuhan berkaitan dengan
perubahan (neuraoplastisitas) pada sistem saraf pusat. Sel saraf dikatakan
mampu mengubah struktur dan fungsi mereka terhadap respon terhadap rangsangan,
yang akan berakibat pada hubungan baru antara rangsangan dan respon.
Sensitisasi ini tidak memerlukan masukan perifer tetapi merupakan konsekuensi
akan adanya perubahan dan sensitivitas dari neuron di sumsum tulang belakang.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi:
1.
Berkurangnya
batas ambang stimulus, dengan akibat bahwa neuron tidak lagi memerlukan
stimulus hebat untuk diaktifkan.
2.
Adanya
perubahan pada pola sementara dari respon, maka akan jika ada stimulus yang
transien akan membangkitkan aktivitas yang hebat.
3.
Adanya
peningkatan secara umum dari daya respon neuron motorik, akan membuat stimulus yang
hebat akan menghasilkan efek lebih besar lagi.
4.
Adanya
ekspansi lapang reseptor, akan berakibat pada respon akan terjadi pada area
yang lebih luas.
Manifestasi klinis akan adanya perubahan-perubahan ini
meliputi hiperalgesia (peningkatan respon pada stimulus yang secara normal
menyakitkan); allodynia (nyeri terhadap stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri); dan nyeri spontan, menjalar, dan merujuk.
Interaksi antara sistem saraf somatis dan simpatis
memiliki peran dalam nyeri kronik dan diduga menjadi penyebab dari banyak namun
bukan semua kasus gejala nyeri kompleks regional. Kaitannya mungkin berada pada
coupling yang diperantarai
neurotransmitter noradrenaline, yang dilepaskan dari ujung akhir saraf bebas,
sehingga mengakibatkan depolarisasi. Mekanisme ini dipikirkan lebih ke arah
sensitvitas terhadap sistem somatosensoris daripada hiperaktivitas sistem
simpatis eferen.
Pada
nyeri kronik, interaksi antara faktor biologis dan lingkungan sangat perlu
untuk dipahami. Nyeri kronik sering kali menyebabkan gangguan emosi berupa
depresi atau ansietas pada pasien. Sayangnya, faktor emosi ini dapat
memperparah gejala nyeri yang ditimbulkan. Akibatnya, jika penatalaksanaan
nyeri tidak adekuat, akan menambah penderitaan pasien.
Gambar 3.1: Faktor
biopsikososial yang berinteraksi dan memerantarai persepsi nyeri.
Dengan
demikian, tatalaksana yang cepat dan tepat sangat penting dalam menangani nyeri
kronik. Anamnesis yang baik tetap menjadi kunci bagi penentuan diagnosis untuk
mencari terapi yang paling tepat untuk pasien.
2.Rasionalitas Terapi Nyeri pada
Gangguan Temporomandibular
Sementara
sebagian besar pasien dengan kelainan temporomandibular memberikan respon
terhadap terapi nonbedah yang diberikan, sebagian kecil pasien akan mengalami
nyeri kronik dan disabilitas.5 Akibatnya, kelompok pasien ini
seringkali mengalami distres psikologis yang besar dan gangguan berat dalam
aktivitas sehari-hari.3,5 Memperkirakan apakah suatu kasus akan
berkembang menjadi kronis merupakan bagian dari tata laksana kelainan
temporomandibular yang sangat penting karena hal ini perlu diintervensi lebih
lanjut. Faktor-faktor
yang dapat digunakan untuk memperkirakan kemunculan nyeri kronik pada kasus
kelainan temporomandibular antara lain: faktor psikologis pasien, nyeri intensitas
tinggi, diagnosis nyeri miofasial, komorbiditas dengan nyeri muskuloskeletal
yang luas dan trauma.8
3.Patofisiologi Nyer Kronik pada
Gangguan Temporomandibular
Hiperaktivitas otot pengunyah yang berkembang menjadi
“lingkaran setan” diajukan sebagai penyebab nyeri miofasial. Isitalh diagnostik
yang dipakai untuk menjelaskan kondisi ini adalah miospasme, spasme otot, dan reflex splinting. Kaitan antara
hiperaktivitas otot dan kelainan nyeri belum didemonstrasikan. Perbedaan antara aktivitas
istirahat elektromiografi pada otot penutup rahang yang nyeri dengan yang tidak
nyeri belum ditemukan. Atrisi gigi yang menunjukkan lapuknya gigi sebagai
akibat bruxism tidak berkaitan dengan
click pada TMJ atau nyeri atau dengan
nyeri pada otot pengunyah.
Hasil dari studi eksperimental terhadap nyeri miofasial
menunjukkan konsistensi pada hipotesis yaitu nyeri disebabkan oleh perubahan
proses sistem saraf pusat, namun penemuan ini juga dapat diinterpretasikan
sebagai konsekuensi dari nyeri bukan sebagai penyebab nyeri itu sendiri.
Hipotesis psikologis menunjukkan bahwa kelainan
diakibatkan stress psikologis yang biasa muncul pada individu dengan lingkungan
stres; stres psikologis berakibat pada kebiasaan buruk yang berakibat nyeri
otot. Tantangan yang dihadapi pada kelainan nyeri kronis adalah dalam
menentukan berapa banyak stres psikologis yang menjadi penyebab atau yang akan
terjadi akibat nyeri kronis. Melihat bukti yang ada, sters emosi lebih menjadi
akibat dibandingkan sebab dari nyeri.
Kurangnya bukti dari satu penyebab jelas nyeri
mengarahkan bahwa etiologi nyeri adalah multifaktorial. Faktor ini
berkontribusi pada inisiasi, aggravasi, dan atau perpetuasi nyeri.
Beberapa faktor disebutkan di bawah ini:
1.
Kebiasaan
buruk (misalnya bruxism malam,
mengencangkan gigi, bibir, atau pipi)
2.
Stres
emosional
3.
Trauma
akut dari tumbukan
4.
Trauma
dari hiperekstensi (misalnya prosedur dental, intubasi oral, menguap, trauma
servikal)
5.
Ketidakstabilan
maksilomandibular
6.
Kerusakan
sendi
7.
Komorbid
lain misalnya reumatik atau kelainan ototdan tulang
8.
Kesehatan
secara umum yang kurang baik dan gaya hidup yang tidak sehat
Frekuensi dan kepentingan faktor-faktor ini sebagai
penyebab masih belum diketahui.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.