Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Mamesah dalam Halim (2007 : 23), keuangan daerah dapat diartikan sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat yang dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku”.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri dalam rangka asas desentralisasi.
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber yang diperlukan daerah (Halim, 2007:232).
Menurut Halim (2007 : 25) ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari “keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)”.
Tangkilisan (2007: 89-92) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain:
1. Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian euangan daerah dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau lembaga yang inovotif dan pemanfaatan lembaga Dispenda untk meningkatkan penerimaan daerah.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah dapat dilihat besarnya PAD dibandingkan dengan penerimaan transfer dari pusat. PAD merupakan unsur utama dalam mengukur kemandirian keuangan daerah. Menurut Halim (2007:96) “PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. PAD bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah. Sehubungan dengan hal di atas setiap daerah di harapkan mampu meningkatkan PAD untuk mencapai daerah yang mandiri. Menurut Halim (2007: 232) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah dapat dilihat besarnya PAD dibandingkan dengan penerimaan transfer dari pusat. PAD merupakan unsur utama dalam mengukur kemandirian keuangan daerah. Menurut Halim (2007:96) “PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”. PAD bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah. Sehubungan dengan hal di atas setiap daerah di harapkan mampu meningkatkan PAD untuk mencapai daerah yang mandiri. Menurut Halim (2007: 232) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah
Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Halim 2007 :169) dikemukakan hubungan tentang pemerintahan pusat dengan daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah, yang paling utama yaitu mengenai hubungan pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan atara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yaitu :
- Pola hubungan Instruktif, merupakan peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial). Universitas Sumatera Utara
- Pola hubungan konsultatif, merupakan campur tangan pemerintah pusat yang sudah mulai berkurang serta lebih banyak memberikan konsultasi, hal ini dikarenakan daerah dianggap sedikit lebih dapat untuk melaksanakan otonomi daerah.
- Pola hubungan partisipatif, merupakan pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan telah mendekati mampu dalam melaksanakan urusan etonomi. Peran pemberian konsultasi akan beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat.
- Pola hubungan delegatif, merupakan campur tangan pemerintah pusat yang sudah tidak ada lagi karena daerah telah mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah pusat akan selalu siap dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.