Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Pada VCD Bajakan Menurut UU No. 19 Tahun 2002
Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.47
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (feit materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961 Nederland, hal itu ditiadakan.
Menurut Prof. Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.
Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab.
2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf).
1. Kemampuan Bertanggung Jawab
Kitab Undang-Undang hukum pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.
Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana kepada penindaknya. Akan tetapi, ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya. Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut.
Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab, ialah :
- Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
- Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Untuk menjelaskan hal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut :
a. Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 (1) KUHP. Dari pasal 44 (1) KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya (berwujud tindak pidana), apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan pasal 44 (1), artinya bila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab.
b. Dengan tidak menghubungkannya dengan norma pasal 44 (1), dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
- Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia (akan) lakukan.
- Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.
- Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.
2. Kesalahan Yang Berupa Kesengajaan Atau Kealpaan
a) Kesengajaan
Di dalam penjelasan resmi KUHP (Memory van Toelichting) “kesengajaan” atau opzet diartikan sebagai “menghendaki” dan “mengetahui” (willen en wetens). Dengan batasan yang diberikan Memory van Toelichting di atas secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kesengajaan mengandung pengertian adanya kehendak dan adanya kesadaran / pengetahuan dalam diri seseorang yang melakukan perbuatan (pidana). Dengan demikian, maka seseorang dikatakan dengan sengaja melakukan suatu perbuatan (pidana) apabila orang itu menghendaki terhadap dilakukannya perbuatan itu dan menyadari / mengetahui terhadap apa yang dilakukannya itu.55
Berkaitan dengan masalah kesengajaan di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) dikenal ada 2 teori tentang kesengajaan, yaitu :
1) Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori ini, seseorang dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan (pidana) apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan itu.
2) Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-theorie)
Menurut teori ini, sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya. Dalam pandangan teori ini orang tidak bis menghendaki akibat (suatu perbuatan), tetapi hanya bisa membayangkan (akibat yang akan terjadi).
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 corak / bentuk kesengajaan, yaitu sebagai berikut :57
1) Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet alsoogmerk) atau sering disebut dengan dolus directus.
Kesengajaan sebagai maksud akan terjadi, apabila seseorang menghendaki melakukan suatu perbuatan sekaligus menghendaki terhadap timbulnya akibat perbuatan itu.
2) Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan.
Kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi disamping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu, perbuatan tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kepastian akan terjadinya.
3) Kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan atau kesengajaan dengan syarat (voorwardelijk opzet / dolus eventualis).
Kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi disamping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan itu untuk menimbulkan akibat tertentu itu, perbuatan tersebut mungkin akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kemungkinan akan terjadi.
b) Kealpaan / Kelalaian (culpa)
Di dalam penjelasan resmi KUHP (Memory van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana.
Untuk adanya kealpaan harus dipenuhi 2 syarat, yaitu :
a. Tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan dalam pengertian telah berbuat tidak hati-hati. Syarat ini ditujukan pada kealpaan / kelalaian terhadap perbuatannya. Jenis kealpaan ini merupakan kealpaan / kelalaian yang terjadi pada jenis tindak pidana formil.
b. Adanya akibat yang dapat diduga sebelumnya, dalam pengertian, pelaku telah tidak menduga terhadap timbulnya akibat yang seharusnya diduganya. Syarat ini ditujukan pada kealpaan/kelalaian terhadap akibatnya. Jenis kealpaan ini merupakan kealpaan / kelalaian yang terjadi pada jenis tindak pidana materil.
3. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Agar seseorang yang telah melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana sehingga karenanya dapat dipidana maka salah satu syaratnya adalah tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf). Apabila dalam diri pelaku ada alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf, maka orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sebab kesalahan orang itu akan dimaafkan. Dalam hal ini, perbuatan orang tersebut tetap sebagai tindak pidana atau bersifat melawan hukum, tetapi terhadap orang itu tidak dapat dijatuhi pidana oleh karena dalam diri orang itu dianggap tidak ada kesalahan. Dengan demikian, alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf merupakan salah satu alasan penghapus pidana atau alasan meniadakan pidana.60
- Tidak mampu bertanggung jawab (diatur dalam pasal 44 KUHP). Adapun alasan-alasan yang dapat menghapus kesalahan terdakwa antara lain :
- Daya paksa (diatur dalam pasal 48 KUHP).
- Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP).
- Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur dalam pasal 51 ayat (2) KUHP).
Meskipun telah mempunyai Undang-undang UU No.19/2002 tentang Hak Cipta (berapa kali direvisi) dan pemberlakuannya tentang hak cipta pun telah diberlakukan efektif sejak 29 Juli 2003, semestinya mampu membuat para pembajak jera, namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap HAKI masih saja terjadi bahkan cenderung ke arah yang semakin memprihatinkan. Salah satu dari bentuk pelanggaran itu adalah pembajakan VCD. Banyak VCD palsu yang ada di kalangan masyarakat justru filmnya belum diputar di studio secara resmi. Begitu tingginya peredaran VCD bajakan, bahkan telah sampai ke pelosok pedesaan. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan, mengingat bangsa Indonesia adalah salah satu penandatanganan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yaitu perjanjian Hak-Hak Milik Intelektual berkaitan dengan perdagangan dalam Badan Perdagangan Dunia (WTO) yang harus tunduk pada perjanjian internasional itu. Kendala utama yang dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya perlindungan Hak akan Kekayaan Intelektual ini adalah masalah penegakan hukum, di samping masalah-masalah lain seperti kesadaran masyarakat terhadap HAKI itu sendiri dan keadaan ekonomi bangsa yang secara tidak langsung turut menyumbang bagi terjadinya pelanggaran itu. Akibat dari maraknya pembajakan VCD ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, baik dari dunia Internasional maupun pada masyarakat Indonesia sendiri. Pengenaan sanksi oleh masyarakat Internasional merupakan suatu kemungkinan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sementara pengaruh dari VCD bajakan terhadap masyarakat juga sangat luas, seperti rusaknya moral masyarakat sebagai akibat dari tidak adanya sensor bagi VCD bajakan itu serta menurunnya kreativitas dari para pelaku di bidang musik dan film nasional.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.