Menurut Robbins (1994) budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama. Budaya organisasi berisi tentang harapan, nilai, dan sikap yang mempengaruhi individu, kelompok, dan proses–proses yang ada di dalam organisasi. Hal ini berarti budaya organisasi yang tumbuh dan terpelihara dengan baik akan mampu memacu organisasi ke arah perkembangan yang lebih baik. Budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas. Semakin banyak anggota yang menerima nilai – nilai inti, menyetujui jajaran tingkat kepentingannya, dan merasa sangat terikat kepadanya, maka semakin kuat pula budaya organisasi tersebut (Gibson, 1997).
Menurut Schatz & Schatz dalam (Melinda & Zulkarnain, 2004), budaya perusahaan dapat dirasakan oleh sumber daya manusia yang berada di dalam perusahaan tersebut. Budaya perusahaan senantiasa mempengaruhi kondisi dasar dan perilaku individu yang ada di dalamnya. Tingkatan pengaruh yang dialami masing – masing orang berbeda, namun yang jelas setiap orang pasti terkena dampak, mengalami atau merasakan pengaruh tersebut.
Robbins (2001) menjelaskan bahwa organisasi yang memiliki budaya yang kuat dapat mempunyai pengaruh yang bermakna bagi perilaku dan sikap anggotanya. Nilai inti organisasi itu akan dipegang secara insentif dan dianut secara meluas dalam suatu budaya yang kuat. Suatu budaya kuat memperlihatkan kesepakatan yang tinggi dikalangan anggota tentang apa yang harus dipertahankan oleh organisasi tersebut. Kebulatan maksud semacam ini akan membina kohesifitas, kesetiaan dan komitmen organisasional.
Kualitas ini selanjutnya akan mengurangi kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan perlu meningkatkan faktor kinerja organisasi dengan membentuk dan mengembangkan suatu budaya organisasi yang mendukung terciptanya komitmen karyawan.
Pengaruh budaya perusahaan melebihi pengaruh faktor lain dalam organisasi, seperti struktur, sistem manajemen, dan lain – lain. Ini adalah suatu keadaaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah payah mengarahkan perilaku anggota khususnya ketika budaya perusahaan itu tertanam kuat pada karyawannya. Dalam budaya organisasi yang kuat, nilai–nilai utama organisasi benar – benar dianut kuat dan diikuti secara meluas oleh anggotanya. Budaya yang kuat akan memberikan pengaruh besar terhadap perilaku anggota – anggotanya karena tingkat yang kuat tersebut menciptakan suatu iklim internal terhadap tingginya kontrol perilaku (Robbins,2001).
Untuk menjadi organisasi yang efektif dan efisien, salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan memastikan bahwa terdapat semangat kerja, komitmen serta kepuasan pada karyawan itu sendiri. Karyawan akan memberikan apa yang ada dalam dirinya kepada organisasi, dan sebaliknya mereka juga akan menuntut supaya organisasi memberikan apa yang menjadi keinginannya. Sumbangan tersebut seperti usaha, keterampilan, loyalitas, kreativitas serta lainnya yang membuat individu tersebut menjadi sumber daya
bagi organisasi. Hal tersebut membuat organisasi memberikan imbalan kepada karyawan tersebut. Imbalan dapat berupa gaji, fasilitas, status, keamanan kerja, dan sebagainya. Bagi karyawan, imbalan yang diberikan organisasi dapat memuaskan satu atau lebih kebutuhannya. Jika adanya keseimbangan antara harapan dan kenyataan, akan membuat karyawan terpuaskan dan menunjukan hubungan yang positif dengan organisasi yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya komitmen (Aktami, 2008).
Komitmen terhadap organisasi merupakan suatu aspek yang memegang peranan penting dalam suatu organisasi, sebab komitmen terhadap organisasi dapat mempengaruhi peningkatan efektivitas serta efisiensi kerja. Menurut Northcraft dan Neale (1994), umumnya karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan menunjukkan upaya lebih maksimal dalam melakukan tugas.
Robbins (2001) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai suatu orientasi terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi, dan keterlibatan. Menurut Allen dan Meyer (1991) komitmen organisasi diartikan sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan berusaha menerima
semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Van Dyne dan Graham dalam (Coetzee, 2005), ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi tersebut antara lain faktor personal, situasional, dan posisional. Dalam faktor situasional terdapat beberapa hal yang
disebutkan mempengaruhi komitmen organisasi yaitu karakteristik pekerjaan dan dukungan organisasi.
Sedangkan Menurut Beggs dan Kohut dalam (Coetzee, 2005), ada beberapa karakteristik pekerjaan yang membuat pekerja berkomitmen tinggi terhadap organisasi. Karakteristik pekerjaan tersebut antara lain kepuasan tehadap otonomi, status dan kepuasan pada permintaan organisasi, sehingga seorang pekerja akan merasa bertanggung jawab dan keterikatan dengan organisasinya. Sedangkan karakteristik pekerjaan yang menunjukkan adanya komitmen yang rendah adalah pekerjaan yang memiliki rutinitas yang tinggi.
Seorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi, (Jewell, 1998). Menurut Greenberg dan Baron dalam (Taurisa, 2012), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga akan lebih menguntungkan bagi organisasi.
4. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan komitmen organisasi ditinjau dari budaya organisasi pada karyawan Klinik Spesialis Bunda Medan“.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.