Friday, May 17, 2013

Nyeri Kronik

1.Nyeri Kronik
Nyeri merupakan salah satu gejala penting karena nyeri adalah gejala universal akan adanya penyakit. Memahami gejala ini penting dalam mempertahankan fungsi tubuh dan mengurangi penderitaan pasien. Terapi utama untuk nyeri adalah menghilangkan sumber penyakit yang menyebabkannya. Tetapi untuk mencari penyebab ini seringkali su;it dilakukan terutama untuk nyeri kronik. Oleh karena itu, terkadang diperlukan pendekatan lain yang sifatnya mengurangi gejala nyeri tersebut.
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus. Ketika nyeri dirasakan, sensasi ini akan mencapai level serebrum melalui interaksi yang kompleks dan dinamik. Mekanisme dimana stimulus dinilai sebagai nyeri ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pusat-pusat saraf level tinggi dapat menghambat atau menambah pesan stimulus secara keseluruhan melalui aktivitas prilaku, kognitif, psikologis, biologis (misalnya hormon), atau farmakologis.
Saat stimulus dinilai sebagai suatu  nyeri, respon pertama kali adalah mencari asal sensasi nyeri untuk menghindar dari stimulus tersebut. Respon dari sensasi nyeri tersebut dapat berbagai macam. Hal ini terjadi akibat adanya modulasi stimulus pada berbagai macam tingkat aktivitas neuron dari perifer ke pusat. Oleh karenanya, persepsi terhadap suatu stimulus dapat berbeda.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi peresepsi seseorang terhadap nyeri. Bukan hanya faktor organik saja, faktor emosional dan lingkungan juga berpengaruh. Hal ini terkait modulasi persepsi nyeri di tingkat serebrum. Stimulus yang muncul akan dimodulasi dan diproses melalui berbagai tingkatan yang melibatkan berbagai level memori.
Teori gate-control, yang diperkenalkan oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965, menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan proses multidimensional dengan berbagai macam pengaruh. Penjelasan yang diajukan akan adanya nyeri yang menetap setelah penyembuhan berkaitan dengan perubahan (neuraoplastisitas) pada sistem saraf pusat. Sel saraf dikatakan mampu mengubah struktur dan fungsi mereka terhadap respon terhadap rangsangan, yang akan berakibat pada hubungan baru antara rangsangan dan respon. Sensitisasi ini tidak memerlukan masukan perifer tetapi merupakan konsekuensi akan adanya perubahan dan sensitivitas dari neuron di sumsum tulang belakang. Perubahan-perubahan tersebut meliputi:
1.      Berkurangnya batas ambang stimulus, dengan akibat bahwa neuron tidak lagi memerlukan stimulus hebat untuk diaktifkan.
2.      Adanya perubahan pada pola sementara dari respon, maka akan jika ada stimulus yang transien akan membangkitkan aktivitas yang hebat.
3.      Adanya peningkatan secara umum dari daya respon neuron motorik, akan membuat stimulus yang hebat akan menghasilkan efek lebih besar lagi.
4.      Adanya ekspansi lapang reseptor, akan berakibat pada respon akan terjadi pada area yang lebih luas.
Manifestasi klinis akan adanya perubahan-perubahan ini meliputi hiperalgesia (peningkatan respon pada stimulus yang secara normal menyakitkan); allodynia (nyeri terhadap stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri); dan nyeri spontan, menjalar, dan merujuk.
Interaksi antara sistem saraf somatis dan simpatis memiliki peran dalam nyeri kronik dan diduga menjadi penyebab dari banyak namun bukan semua kasus gejala nyeri kompleks regional. Kaitannya mungkin berada pada coupling yang diperantarai neurotransmitter noradrenaline, yang dilepaskan dari ujung akhir saraf bebas, sehingga mengakibatkan depolarisasi. Mekanisme ini dipikirkan lebih ke arah sensitvitas terhadap sistem somatosensoris daripada hiperaktivitas sistem simpatis eferen.
Pada nyeri kronik, interaksi antara faktor biologis dan lingkungan sangat perlu untuk dipahami. Nyeri kronik sering kali menyebabkan gangguan emosi berupa depresi atau ansietas pada pasien. Sayangnya, faktor emosi ini dapat memperparah gejala nyeri yang ditimbulkan. Akibatnya, jika penatalaksanaan nyeri tidak adekuat, akan menambah penderitaan pasien.

Gambar 3.1: Faktor biopsikososial yang berinteraksi dan memerantarai persepsi nyeri.
Dengan demikian, tatalaksana yang cepat dan tepat sangat penting dalam menangani nyeri kronik. Anamnesis yang baik tetap menjadi kunci bagi penentuan diagnosis untuk mencari terapi yang paling tepat untuk pasien.
2.Rasionalitas Terapi Nyeri pada Gangguan Temporomandibular
           Sementara sebagian besar pasien dengan kelainan temporomandibular memberikan respon terhadap terapi nonbedah yang diberikan, sebagian kecil pasien akan mengalami nyeri kronik dan disabilitas.5 Akibatnya, kelompok pasien ini seringkali mengalami distres psikologis yang besar dan gangguan berat dalam aktivitas sehari-hari.3,5 Memperkirakan apakah suatu kasus akan berkembang menjadi kronis merupakan bagian dari tata laksana kelainan temporomandibular yang sangat penting karena hal ini perlu diintervensi lebih lanjut. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan kemunculan nyeri kronik pada kasus kelainan temporomandibular antara lain: faktor psikologis pasien, nyeri intensitas tinggi, diagnosis nyeri miofasial, komorbiditas dengan nyeri muskuloskeletal yang luas dan trauma.8

3.Patofisiologi Nyer Kronik pada Gangguan Temporomandibular
Hiperaktivitas otot pengunyah yang berkembang menjadi “lingkaran setan” diajukan sebagai penyebab nyeri miofasial. Isitalh diagnostik yang dipakai untuk menjelaskan kondisi ini adalah miospasme, spasme otot, dan reflex splinting. Kaitan antara hiperaktivitas otot dan kelainan nyeri belum didemonstrasikan. Perbedaan antara aktivitas istirahat elektromiografi pada otot penutup rahang yang nyeri dengan yang tidak nyeri belum ditemukan. Atrisi gigi yang menunjukkan lapuknya gigi sebagai akibat bruxism tidak berkaitan dengan click pada TMJ atau nyeri atau dengan nyeri pada otot pengunyah.
Hasil dari studi eksperimental terhadap nyeri miofasial menunjukkan konsistensi pada hipotesis yaitu nyeri disebabkan oleh perubahan proses sistem saraf pusat, namun penemuan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai konsekuensi dari nyeri bukan sebagai penyebab nyeri itu sendiri.
Hipotesis psikologis menunjukkan bahwa kelainan diakibatkan stress psikologis yang biasa muncul pada individu dengan lingkungan stres; stres psikologis berakibat pada kebiasaan buruk yang berakibat nyeri otot. Tantangan yang dihadapi pada kelainan nyeri kronis adalah dalam menentukan berapa banyak stres psikologis yang menjadi penyebab atau yang akan terjadi akibat nyeri kronis. Melihat bukti yang ada, sters emosi lebih menjadi akibat dibandingkan sebab dari nyeri.
Kurangnya bukti dari satu penyebab jelas nyeri mengarahkan bahwa etiologi nyeri adalah multifaktorial. Faktor ini berkontribusi pada inisiasi, aggravasi, dan atau perpetuasi nyeri.
Beberapa faktor disebutkan di bawah ini:
1.      Kebiasaan buruk (misalnya bruxism malam, mengencangkan gigi, bibir, atau pipi)
2.      Stres emosional
3.      Trauma akut dari tumbukan
4.      Trauma dari hiperekstensi (misalnya prosedur dental, intubasi oral, menguap, trauma servikal)
5.      Ketidakstabilan maksilomandibular
6.      Kerusakan sendi
7.      Komorbid lain misalnya reumatik atau kelainan ototdan tulang
8.      Kesehatan secara umum yang kurang baik dan gaya hidup yang tidak sehat
Frekuensi dan kepentingan faktor-faktor ini sebagai penyebab masih belum diketahui.

Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com