Menurut Alwi (2007:604), “Penguasaan merupakan proses, cara, perbuatan menguasai atau menguasakan atau kesanggupan untuk menggunakan kepandaian”. Sedangkan intrinsik menurut Eddy (1991:100) adalah, “Unsur dalam pada karya sastra berarti unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu”. Kemudian prosa menurut Eddy (1991:160) adalah, “Sejenis karya sastra yang bersifat paparan. Prosa sering disebut karangan bebas karena prosa tidak mengandung unsur rima, ritme dan tata korespondensi seperti hanya puisi”.
Berdasarkan
pendapat di atas, yang dimaksudkan dengan penguasaan intrinsik prosa adalah
suatu proses menguasai siswa terhadap unsur-unsur yang membangun dalam suatu
karya sastra berbentuk karangan bebas.
Unsur Intrinsik dalam Karya Sastra
Unsur
intrinsik dalam karya sastra merupakan unsur-unsur yang berasal dari dalam
karya sastra itu sendiri. Lebih lanjut menurut Sukada (1987:47), “Karya sastra
sebagai suatu struktur dijelaskan melalui analisis aspek intrinsik, yaitu
analisis mengenai unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya
sastra. Unsur-unsur itu terdiri atas perwatakan, plot, teknik cerita, komposisi
cerita, dan gaya bahasa”. Unsur-unsur
yang termasuk dalam intrinsik suatu karya sastra bersifat fungsional, berkaitan
satu dengan yang lainnya. Menurut Semi
(1996:35), “Struktur dalam
(intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti
tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya cerita
pengarang”.
Adapun
unsur-unsur tersebut adalah :
1. Tema
Tema merupakan
inti atau ide dasar suatu cerita. Menurut Fananie (2000:84), “Tema adalah ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.
Jika sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan
dalam karya sastra bisa sangat beragam”. Wellek
(1995:142) menyatakan, “Tema merupakan ide sementara atau pokok dalam karya
sastra.” Selanjutnya Semi (1996:44) menyatakan, “Tema menjadi dasar pengembangan
seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.”
Berdasarkan
uraian di atas, tema dalam prosa merupakan pangkal tolak pengarang dalam menceritakan
dunia rekaan yang diciptakannya. Tema suatu karya sastra menyangkut persoalan
dalam kehidupan manusia, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih
sayang, kecemburuan, dan sebagainya.
2. Plot
Plot
atau alur merupakan suatu yang penting dalam karya sastra. Secara umum plot
dikenal sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa. Menurut Kosasih (2005:252),
“Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab
akibat. Pola pengembangan suatu cerita tidaklah seragam”. Sedangkan
Wellek (1995:36) mengemukakan, “Plot sebagai peristiwa bersifat sederhana,
karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab
akibat. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara logis dan
kronologis, saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.”
Ditambahkan Semi (1996:43), “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian
dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus
menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan isi.”
Secara umum pola pengembangan alur adalah :
a.
Pengenalan situasi cerita (exposition). Pada bagian ini, pengarang
memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antartokoh.
b.
Pengungkapan peristiwa (complication). Pada bagian ini
disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, petentangan,
ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
c.
Menuju pada adanya konflik (rising action). Terjadi peningkatan
perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang
menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.
d.
Puncak konflik (turning point). Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah
bagian cerita yang paling besar mendebarkan. Pada bagian ini pula,
ditentukannya perubahan nasib beberapa
tokohnya. Misalnya, apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.
e.
Penyelesaian (ending). Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan
tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak
itu. Namun ada pula, penyelesaian cerita diserahkan pada imaji pembaca. Jadi,
akhir ceritanya dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian. (Kosasih,
2005:252-253).
Berdasarkan
pendapat di atas, alur atau plot sebagai rangkaian peristiwa yang dialami tokoh
dalam cerita. Rangkaian peristiwa itu bersifat saling sambung dan memiliki
keeratan hubungan antarperistiwa. Pada rangkaian peristiwa itu terdapat
beberapa tahapan yang tersusun secara struktur dan berkesinambungan.
3. Latar
Latar atau setting
meliputi keadaan tempat, waktu, dan sosial. Menurut Eddy (1991:123), “Latar
ialah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan suasana; sebagai
lokasi dan situasi yang melingkungi tokoh-tokoh dalam karya sastra itu”. Wellek
(1995:290-291) bahwa, “Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap/berfungsi
sebagai ekspresi tokohnya. Misalnya, kalau kita menggambarkan sang tokoh karena
mengekspresikan pemiliknya. Latar waktu, latar sosial, dan latar psikologi”.
Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi
situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaannya tidak hanya sekadar
menyatakan di mana, kapan, bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan
berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan
pandangan masyarakat pada waktu cerita itu ditulis.
Berdasarkan uraian di atas, latar menunjukkan tempat
ataupun waktu terjadinya suatu peristiwa dalam
cerita. Latar tersebut harus
terintegrasi dengan unsur yang lain seperti tema, alur, dan unsur intrinsik
yang lain.
1. Penokohan
Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Menurut Zaidan dkk (1996:206),
“Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau
kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.” Menurut
Nurgiyantoro (2000:165), “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”.
Penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam cerita dapat
dilakukan dengan :
a.
Teknik analitik, karakter tokoh
diceritakan secara langsung oleh pengarang.
b.
Teknik dramatik, karakter tokoh
dikemukakan melalui : penggambaran fisik dan perilaku tokoh, lingkungan
kehidupan tokoh, tata kebahasaan tokoh, jalan pikiran tokoh, atau dari tokoh
lain (Kosasih, 2005:256).
Para tokoh yang
terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh
yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau
tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh
tambahan atau tokoh pembantu.
Tokoh cerita
biasanya mengembangkan satu perwatakan
yang diberi oleh pengarang perwatakan atau karakterisasi dapat diperoleh dengan
memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau tindakan antara apa yang
diucapkan dengan apa yang dilakukan. Perilaku para tokoh dapat diukur melalui
tindak tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya.
Cara pengarang
mengetahui perwatakan tokoh ada beberapa yang paling penting yaitu bagaimana
perwatakan itu ditampilkan pengarang melalui karya sastra. Cara untuk
mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pertanyaan langsung,
melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan
atau dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Dalam menggambarkan atau melukiskan
tokoh-tokohnya pengarang menggunakan beberapa cara, di antaranya menurut Semi
(1996:37) yaitu:
1.
Phisical
description (melukiskan bentuk lahir pelaku).
2.
Portrayal
of though stram of concius thog (melukiskan
jalan pikirannya). Dengan jalan ini pembaca dapat mengetahui bagaimana watak
pelaku itu.
3.
Reaction
to eveny (bagaimana reaksi pelaku terhadap kejadian).
4.
Direct
auther analysis (pengarang dengan
langsung menganalisis watak pelaku).
5.
Discussion
of environment (melukiskan keadaan
sekitar pelaku) misalnya dengan melukiskan kamar pelaku, pembaca akan dapat
kesan apakah pelakunya itu jorok, bersih atau malas.
6.
Reaction
of other about character (pelaku-pelaku
lainnya dalam satu cerita memperbincangkan keadaan pelaku-pelaku lain dalam
cerita terhadap tokoh utama).
7.
Conversation
of other about character (pelaku-pelakunya
hanya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelaku utama).
Berdasarkan
uraian di atas, penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan karakter
tokoh-tokoh yang diciptakan dalam karya sastranya. Hal ini dapat dilakukan
melalui kisahan langsung atau pengarang menjelaskan secara detail ataupun
dengan ragaan. Karakter tokoh itu dapat diketahui dengan lakuan fisik berupa
tindakan dan ujaran, atau lakuan rohani berupa renungan dan pikiran.
2. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan posisi pengarang dalam membawakan
ceritanya. Menurut Sudjiman (1994:72), “Sudut pandang adalah 1) pendapat atau
sikap terhadap masalah pokok karya sastra, 2) posisi pencerita dalam membawakan
kisahan, boleh jadi ia tokoh dalam ceritanya (pencerita akuan), boleh jadi pula
berada di luarnya (pencerita diaan). Soemardjo
(1998:82) mengatakan, "Point of view pada dasarnya adalah visi
pengarang, artinya sudut pandnagan yang diambil pengarang untuk melihat
kejadian suatu cerita." Jadi sudut pandang pencerita atau point of view
sering juga disebut pusat pengisahan, artinya berkenaan dengan posisi pengarang
dalam cerita atau sebagai siapa pengarang dalam cerita tersebut.
Sebagaimana
diketahui sudut pandang pencerita biasanya menjawab pertanyaan siapakah yang
bercerita atau yang menceritakan kisah tersebut. Dalam hal ini, sudut pandang
selalu menyangkut bagaimana kisah tersebut diceritakan. Dengan kata lain sudut
pandang memasalahkan siapa yang bercerita.
Untuk menceritakan suatu cerita, pengarang
boleh memilih dari sudut pandang mana ia akan menceritakan itu. Apakah sebagai
orang luar saja, atau apakah pengarang juga turut dalam cerita itu.
Setiap pengarang mempunyai gaya
mengarang tersendiri dan gaya ini tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Orang
dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan membaca dan mempelajari
buku-buku mereka. Memang orang dapat menirukan gaya yang ditunjukkan oleh
pengarang, akan tetapi hal ini tidak akan dapat berhasil dengan baik. Jadi,
gaya itu tidak akan dapat dibuat-buat, akan tetapi merupakan ciri khas
pengarang. Soemardjo (1998:92) mengatakan, "Gaya adalah cara khas
pengungkapan seseorang."
Berdasarkan
uraian di atas, sudut pandang adalah visi pangarang, artinya sudut pandangan
yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Pengarang akan
menentukan pilihan siapa yang harus bercerita dalam kisahnya sehingga mencapai
efek yang tepat pada ide yang akan dikemukakannya.
4. Gaya Cerita Pengarang
Setiap pengarang mempunyai gaya
mengarang tersendiri dan gaya ini tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Orang
dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan membaca dan mempelajari
buku-buku mereka. Memang orang dapat menirukan gaya yang ditunjukkan oleh
pengarang, akan tetapi hal ini tidak akan dapat berhasil dengan baik. Jadi,
gaya itu tidak akan dapat dibuat-buat, akan tetapi merupakan ciri khas
pengarang. Sumardjo dan Saini (1994:92) mengatakan, "Gaya adalah cara khas
pengungkapan seseorang."
Perlu juga diketahui bahwa gaya
pengarang cerita itu bermacam-macam. Banyak gaya yang harus diperhatikan dalam
setiap cerita fiksi. Gaya itu antara lain:
1. Segi penggunaan kalimat (apakah panjang atau
kompleks).
2.
Penggunaan dialog (penulis fiksi hiburan banyak yang menggunakan dialog sebagai
penyampai pengarang).
3. Penggunaan kata-kata (pengunaan kata-kata juga
akan menunjukkan ciri khas pengarang sendiri, apakah kata-katanya kasar, halus
spontan).
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.