Syarat Sahnya Untuk Beristeri Lebih Dari Seorang
Alasan-alasan mengapa orang melakukan poligami adalah bermacam-macam, namun Perkawinan poligami bagi seorang yang berstatus Pegawai Negeri sipil, (PNS) ABRI, dan Pagawai BUMN hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang, alasan-alasan adalah karena isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yaitu apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit jasmani maupun rohaniah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri baik secara biologis maupun yang lainnya.
Alasan lainnya adalah karena isteri menderita cacat, sedangkan yang dimaksud isteri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit badan menyeluruh yang menurut keterangan dokter sukar untuk disembuhkan.
Perkawinan poligami yang didasarkan alasan-alasan isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan dalam prakteknya masih menimbulkan masalah terhadap isteri kedua. Hal ini masih ditandai dengan masih kurang harmonisnya hubungan antara suami isteri pertama dengan madunya, artinya keikhlasan dari isteri pertama untuk memberi izin bagi suaminya untuk kawin lagi tidak didasarkan dengan keikhlasan yang murni, masih ada sedikit keterpaksaan dari isteri pertama untuk menerima madunya. Alasan yang ditentukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan kiranya alasan dengan sebab tidak mempunyai keturunan dengan isteri pertama adalah alasan yang dapat diterima dengan ikhlas oleh pihak isteri pertama dan akibatnya perkawinan kedua, isteri kedua benar-benar menimbulkan keharmonisan kehidupan berumah tangga dengan suami yang berpoligami dengan isteri-isterinya.
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ABRI, dan Pegawai BUMN yang melangsungkan perkawinan poligami harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan agar seorang yang akan melangsungkan perkawinan mendapat izin dari Pengadilan ditempat ia tinggal.
Hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Bakri Abdurrahman dan Ahmad Sukaraja mengatakan:
Persetujuan isteri-isteri yang memberikan izin secara tegas haruslah datang menghadap ke pengadilan untuk memberikan persetujuannya. Apabila isteri yang dipanggil padahal sudah dipanggil secara pantas, dan ketidak hardirannya itu bukanlah karena suatu sebab yang memaksa, maka pengadilan dapat dibenarkan untuk memberi izin berpoligami terhadap suatu atau pemohon yang bersangkutan.
Permohonan izin melakukan poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, ABRI, dan Pegawai BUMN relatif sedikit, hal ini dapat dimaklumi bahwa sukarnya memperoleh izin dari pejabat atasan yang bersangkutan disamping itu pendapatan suami sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak mencukupi atau masih minimum untuk memberi nafkah secara adil sesuai dengan gaji yang diterimanya, sedangkan gaji adalah salah satu yang menjadi syarat untuk berlaku adil dan berkesanggupan untuk membiayai isteri-isteri dan anak-anaknya sebagaimana ditentukan dalam PP No. 10 Tahun 1993 jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan PP No. 10 Tahun 1983. hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa dalam Pasal 56 antara lain:
Suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakuan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BAB VII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Alasan suami non Pegawai Negeri Sipil melakukan poligami biasanya bervariasi, antara lain karena isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, antara lain tidak dapat melayani suami dengan baik sebagaimana keharusan seorang isteri terhadap suami.
Perihal izin untuk poligami dari isteri, sesuai dengan maksud Pasa13 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, haruslah melalui putusan pengadilan dengan memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan di tempat pemohon (Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975). Selanjutnya permohonan harus dibuat secara tertulis dengan mencantumkan syarat-syarat yang dinyatakan pada Pasal 5 ayat 1 Undang-undang perkawinan, yaitu;
Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri terdahulunya yang dapat diberikan secara tertulis dan secara lisan jika dilakukan secara lisan maka harus diucapkan di depan sidang, hal ini sesuai dengan maksud Pasal 41 Peraturan Pemerintah, yang menurut penjelasannya adanya pengecualian tentang persetujuan dari isteri-isteri untuk berpoligami, artinya poligami dapat saja dilakukan tanpa persetujuan terjadinya hal-hal berikut ini :
- Isteri tidak dimungkinkan dimintakan persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
- perjanjian.
- Tidak ada kabar dari isteri sekurang-kurangnya dua tahun.
- Karena sebab-sebab lain yang memerlukan pertimbangan tersendiri dari hakim.
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri, untuk mengetahui hal ini, maka hakim harus memeriksa hal-hal berikut ini:
- Surat keterangan tentang penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat ia bekerja
- Surat keterangan pajak penghasilan ; atau
- Surat keterangan lain yang ditcrima oleh Pengadilan
Undang-undang perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1973 tidak menjelaskan pengertian "kepastian" dalam persyaratan itu. Dalam hal ini kepastian yang dimaksud adalah merupakan suatu yang layak, bahwa dengan kepastian yang diberikan seseorang dianggap layak dan mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri dan isteri-isteri yang lainnya..
Adanya jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya. Mengenai hal ini undang-undang perkawinan tidak menjelaskan lebih lanjut makna keadilan itu, namun karena Pasal 1 menyebutkan bahwa: "perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keadilan yang dikehendaki adalah keadilan lahir bathin yang dapat menciptakan suasana rumah tangga yang bahagia dan kekal. Keadilan itu juga harus didasarkan kepada agama, karena sah tidaknya perkawinan itu ditentukan dengan hukum agama atau kepercayaan. Namun hendaklah disadari bahwa hukum agama hanya memberikan petunjuk kepada manusia agar berlaku adil, tetapi tidak menetapkan secara kongkrit tentang keadilan, jadi sifatnya hanya menuntut
Dengan demikian tidak ada ukuran yang tetap untuk digunakan dalam menetapkan keadilan sebagai syarat berpoligami itu, karena keadilan itu abstrak sifatnya. Dalam setiap permohonan poligami kepada seorang suami, diwajibkan untuk melengkapi surat permohonannya dengan surat pernyataan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Surat pernyataan berlaku adil itu merupakan jaminan dari pihak suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Kemudian yang terpenting dalam permohonan untuk berpoligami juga harus memuat alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Disamping harus memenuhi dan melengkapi persyaratan yang telah diuraikan sebelumnya dan permohonan izin poligami juga harus dicantumkan alasan-alasan yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri;
2. Isteri medapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat meneruskan keturunan
Disamping syarat dan alasan yang harus dipenuhi oleh pemohon izin perkawinan untuk poligami kepada pengadilan ditetapkan pula cara pemeriksaan pemberian izin perkawinan ini seperti tersimpul dalam Pasal 42 dan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu :
- Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
- Pemeriksaan dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
- Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri.
- Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Isteri tidak dapat meneruskan keturunan.
- Pengadilan memberikan putusan berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang, apabila pengadilan berpendapat telah cukup alasan.
Pemeriksaan dengan memberi izin berpoligami merupakan suatu penetapan yuridictio voluntaris, maka izin tersebut harus dituangkan dalam surat penetapan, mengenai perkara yuridictio volunlaris dapat diketahui sebagai berikut di bawah ini:
Perkara yuridictio voluntaris adalah perkara yang disebut dengan permohonan tidak mengandung sengketa dan hanya ada satu pihak. Berbeda dengan perkara yuridictio voluntaris yang disebutkan dengan perkara gugatan yang mengandung sengketa dan dari dalamnya ada dua pihak yaitu penggugat dan tergugat
Walaupun permohonan izin untuk berpoligami merupakan perkara yuridictio voluntaris, penulis cenderung berpendapat bahwa kehadiran isteri pemohon dimuka sidang untuk memberi izin poligami kepada suaminya tetap diperlukan agar dapat diketahui secara langsung sikap isteri terhadap keinginan suaminya untuk poligami.
Saya cari syarat Nikah Poligami resmi...untuk Non PNS, atau Swasta..apakah sama syaratnya?
ReplyDelete