Konsepsi Budaya
Dasar Dalam Berbagai Bidang Kesusasteraan
1. Hakekat Puisi
Dipandang
dari segi bangunan bentuknya pada umumnya puisi dianggap sebagai pemakaian atau
penggunaan bahasa yang intensif; oleh karena itu minimnya jumlah kosa kata yang
digunakan dan padatnya struktur yang dimanipulasikan,namun justru karena itu
berpengaruh kita dalam menggerakkan emosi pembaca karena gaya penuturan dan daya lukisnya. Bahasa
puisi dikatakan lebih padat lebih indah, lebih cemerlang dan hidup (compressed,
picturesque, vivid) daripada bahasa prosa atau percakapan sehari-hari.
Bahasa
puisi mengandung penggunaan lambang-lambang metaforis dan bentuk-bentuk
intutive yang lain untuk mengekspresikan gagasan, perasaaan dan emosi oleh
karena puisi senantiasa menggapai secara eksklusif ke arah imajinasi dan ranah
(domain) bentuk-bentuk emotif dan artistiknya sendiri.
Kepadatan
bahasa puisi itu sebenarnya sangat berkaitan. Secara sinkron dan integratif
dengan upaya sang penyair dalam memadatkan sejumlah pikiran, pcrasaan dan emosi
serta pe-ngalaman hidup yang diungkapannya. Hal yang membedakan seorang penyair
dari pengarang prosa adalah karena kemampuannya dalam mengekspresikan hal-hal
yang sangat besar dan luas dalam bentuk yang ringkas dan padat.
Dipandang
dari segi isinya puisi yang bagus merupakan ekspresi yang paling benar (genuine
expression) atas kcseluruhan kepri-badian manusia dan kerena itu ia dapat
menyampaikan secara luar biasa keinsyafan pikiran dan hari manusia tehadap
pcngalaman dan peristiwa kehidupan. Dengan demikian fenomen- budaya puisi itu
tcrcipta dalam proses yang kira-kira bisa dibagankan sebagai bcrikut:
2. Penyajian Puisi
dalam Pendidikan dan pengajaran di semua tingkatan
Berdasarkan
sejumlah pandangan yang terpilih dari para ahli dan kritikus sastra dapatlah
dikatakan bahwa puisi bersifat koekstensif dengan “hidup” (W.J.G. race, 1965:5)
yang berarti bcrdiri berdampingan dalam kedudukan yang sama dengan “hidup”
sebagai pencerminan dan krilik atau interpretasi terhadap “hidup”.
Dalam
pemikiran aslinya Dr. Smuel Johnson menyebutkan “general nature” sebagai obyek
“percerminan”. Dalam hal ini puisi itu sendiri bukanlah sebuah cermin, dalam
pengertian ia tidak semata-mata mereproduksi suatu bayangan alam (dan
kehidupan), tetapi ia membuat alam itu direfleksikan di dalam bentuknya yang
banyak berisi arti (Northrop Frye, 1957: 84).
Secara
aktual apa yang dinyatakan oleh penyair dalam puisinya dapat merupakan analogi,
koresponden atau mirip dengan alam lahir (external nature). Di sini “cermin”
tidak semata-mata mereflcksikan alam lahir itu, oleh karena “alam” di sini juga
mencakup inleligensi manusia, perasaanya dan cara atau aktivitas manusia itu
melihat dirinya sendiri. Tendensi pandangan dalam kritik modern mengenai dalil
“pencerminan” tersebut menganggap bahwa puisi sebagai suatu jenis karya scni
merupakan “heterokosmos” yakni sebagai “alam kedua”. Dalam memandang sastra
pada umumnya dan puisi pada khususnya sebagai pencerminan pengalaman, kita
tidak akan berpikir bahwa sastra (puisi) sebagai penyajian norma-norma secara
statistik.
Sebegitu
jauh sastra/puisi di zaman angkatan Pujangga Baru (tahun 30-an) boleh disebut
hanya mengenal atau cenderung kepada minoritas orang-orang berpendidikan
menengah dan feodal sebagaimana sastra Eropa Barat di abad pertengahan yang
hanya menyuarakan gerak hidupnya kaum bangsawan yang mencari kekuatannya pada
tema-tema tertentu saja, misalnya cinta istana.
Namun
sastra/puisi Indonesia
di kurun 1942 – 1945 mengumandangkan tuntutan masyarakat akan kemerdekaan dan
di tahun 1960-an meneriakkan pemberontakan kepada kaum “tirani” dan “despot”.
Sedangkan puisi-puisi Gunawan Muhammad atau Sapardi Joko Damono lebih banyak
ber-sifat renungan pada pencarian nilai-nilai.
2.1. Hubungun puisi
dengan pengalaman hidup manusia
Perekaman
dan penyampaian pengalaman dalam sastra/puisi disebut “pengalaman perwakilan’
(vicarious experience, (1) D.L. Burton, 1964: 4, (2) M.E. Fowler, 1965: 219,
(3) W.J. Grace, 1965: (4). lni berarti bahwa manusia senantiasa ingin mcmiliki
salah satu kebutuhan dasarnya untuk lebih menghidupkan pengalaman hidupnya dari
sekedar kumpulan pengalaman langsung yang terbalas. Dengan ‘pengalaman perwakilan”
itu sastra/puisi dapat memberikan kepada mahasiswa memiliki kesadaran (insight
– wawasan) yang penting untuk dapat melihat dan mengerti banyak tentang dirinya
sendiri dan tentang masyarakat.
Dengan
keseringan membaca dan mendiskusikan hasil karya sastra/puisi dengan bimbingan
dosen yang bijaksana dan matang mcreka dapat berkembang untuk mengerti tidak
saja terhadap diri mereka masing-masing dan hubungannya dengan masyarakat di
mana mereka hidup, tetapi juga terhadap kcahlian dan kearifan senimannya (the
craft of the artist).
Pendekatan
terhadap ‘pengalaman perwakilan’ ilu dapat dilakukan dengan suatu kemampuan
yang disebut ‘imaginative entry’ (D.L. Burton, 1965: 1544), yaitu kemampuan
menghubungkan pengalaman hidup sendiri dengan pengalaman yang diluangkan
penyair dalam puisinya. Sebagai pemuda tentulah mahasiswa itu pcrnah jatuh
cinta, kebencian yang mendendam, keberanian memprotes, sakit hati dan
penderitaan olch kesedihan, keterharuan dan kebanggaan olch dalang-nya suatu
harapan yang membahagiakan. Dengan mengidentifikasi pengalaman-pengalaman itu
mereka dapat memasuki pcngalaman dalam puisi dengan membaca dan mendiskusikannya,
sehingga mcreka dapat mempcrluas ketahuannya terhadap dirinya dan terhadap
orang lain.
Puisi
mempunyai kekuatannya sendiri dalam memperluas pengalaman hidup aktual dengan
jalan mengalur dan mensintesekannya. Pengalaman yang melayani kebutuhan universal
manusia untuk memperoleh pelarian dan obat penawar dari beban kesibukan hidup
yang rutin.
2.2 Puisi dan
keinsyafan/kesadaran individual.
Dengan
membaca puisi kita dapat diajak untuk dapat menjenguk hati dan
pikiran/kesadaran manusia, baik orang lain maupun diri sendiri. Hal ini sangat
dimungkinkan oleh puisi itu sendiri, karena melalui puisinya sang penyair
menunjukkan kepada pembaca bagian dalam hati manusia, ia menjelaskan pengalaman
sctiap orang, yang bisa mengenai;
- topang yang dipakai orang dalam kehidupan yang nyata
- bcrbagai pcranan yang diperankan orang dalam
mcnampilkan diri di dunia atau lingkungan masyarakatnya.
Adalah
hak dan misi seorang penyair lewat puisinya untuk membuka tabir yang mcnutupi
hati manusia dan membawa kita untuk melihat sedekat- dekatnya rahasia pikiran,
perasaan dan impian manusia. Pada akhirnya puisi mempcrluas dacrah pcrscpsi
kita memperlcbar dan memperdalam serta menyempurnakan sensibilitas emosional
kita, kemampuan kita untuk merasakan, sehingga kila dibuatnya menjadi lebih
sensitif, lebih responsif dan mejadi manusia yang lebih simpatik.
2.3. Puisi dan
keinsyafan sosial.
Puisi
juga membcrikan kepada manusia tentang pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, yang tcrlibat dalam issue dan problema sosial. Sccara imajinatif puisi
dapat menafsirkan sittuasi dasar manusia sosial, yang bisa bcrupa:
-
penderitaan atas ketidak adilan
-
perjuangan untuk kekuasaan.
-
konfliknya dengan secsamanya
-
pemberontakannya lerhadap hukum Tuhan atau hukum manusia sendiri.
2.4. Puisi dan
nilai-niiai.
Dengan
membcrikan pengarahan dna bimbingan yang tepat dalam proses membaca dan
mendiskusikan puisi, mahasiswa akan men-jumpai nilai-nilai (value) yang
bermanfaat bagi lingkungan hidupnnya. Ia akan membaca tentang manusia laki-laki
atau perempuan yang mungkin telah mengambil sikap tertentu tentang moral dan
etika yang menjadi pilihannya.
Kata
drama berasal dari kata Greek draien yang berarti to do, to act. Sementara itu
kata teater berasal dari kata Greek the-atron yang berarti to see, to view.
Perbedaan antara kedua istilah itu dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri
sebagai berikut ;Drama teater
play
: performance
script
:
production
text
: staging
author
: actor
creation
: interpretation
theory
: practice
Dari
perbandingan di atas kiranya nampak bahwa drama lebih me-rupakan lakon yang
belum dipentaskan; atau skrip yang belum diproduksikan; atau teks yang belum
dipanggungkan; atau hasil kreasi pengarang yang dalam batas-batas tertentu
masih bersifat teoritis. Sementara itu teater lebih merupakan performansi dari
lakon; atau produksi dari skrip; atau pemanggungan dari teks; atau hasil
interpretasi aktor dari kreasi pengarang yang dalam batas-batas tertentu
bersifat mempraktekkan.
Mengapresiasi
drama sebagai sastra (terutama jika menggunakan pendekatan obyektif) tidak
dapat dilepaskan dari memahami elemen-elemen atau unsur-unsur drama yakni :
alur (plot) bahasa lakon (terutama dialog), dan tokoh (character). Namun hendaklah
diingat bahwa ketiganya (plot, dialog dan character) bukanlah monopoli drama,
oleh karena prosa fiksi pun memiliki elemen-elemen tadi.
Dari sini
jelas bahwa perbedaan antara novelis dengan penulis lakon dalam menyajikan
tokoh, terletak pada alat yang digunakan. Penulis lakon menggunakan alat dialog
dan aksi. Sementara itu novelis akan menggunakan alat dialog dan wacana narator
(narrator’s discourse).Dari apa yang telah disajikan di atas semakin jelaslah
bahwa elemen-elemen drama dalam batas-batas tertentu terdapat juga di dalam
prosa fiksi.
4. PROSA FIKSI
Istilah
prosa fiksi banyak padanannya. Kadang-kadang di sebut : narrative fiction,
fictional narrative, prose fiction atau hanya fiction saja. Kata Latin
fictionem dari kata fingere artinya menggambarkan atau menunjukkan. Dalam
bahasa Indonesia
istilah tadi sering diterjemahkan menjadi cerita rekaan dan didefinisikan
sebagai “Bentuk cerita atau prosa kisahan yang mempunyai peme-ran, lakuan,
peristiwa, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi” (Saad
& Moeliono). Istilah cerita rekaan umumnya dipakai untuk roman, atau novel,
atau cerita pendek.
4.1 Nilai-nilai di
dalam prosa fiksi
Yang
dimaksud dengan nilai di sini adalah persepsi dan pengertian yang diperoleh
pembaca lewat sastra (prosa fiksi). Hendaknya disadari bahwa tidak semua
pembaca dapat mem-peroleh persepsi dan pengertian tersebut. Ini hanya dapat diperoleh
pembaca, apabila sastra menyentuh diririya. Nilai tersebut tidak akan
diperoleh secara otomatis dari membaca. Dan hanya pembaca yang berhasil
mendapat pengalaman sastra saja yang dapat merebut nilai-nilai dalam sastra.
(a). Prosa fiksi
memberikan kesenangan
Keistimewaan kesenangan yang diperoleh dari membaca
fiksi adalah pembaca mendapatkan pengalaman sebagaimana jika mengalaminya
sendiri peristiwa atau keja-dian yang dikisahkan. Pembaca dapat mengembangkan
imaginasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum
dikunjunginya, atau yang tak mungkin dikunjungi selama hidupnya. Pembaca juga
dapat mengenal tokoh-tokoh yang aneh atau asing tingkah lakunya atau mungkin
rumit perjalanan hidupnya untuk mencapai suatu sukses. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan bahwa tempat atau tokoh dalam fiksi itu mirip dengan
manusia manusia atau tempat-tempat dalam kehidupan sehari-hari.
Kecuali kenikmatan literer, fiksi juga memberikan
kesenangan yang berupa stimulasi intelektual. Ini datang dari adanya ide-ide,
wawasan-wawasan, atau pemikiran-pemikitan yang baru, yang aneh, yang luar
biasa, bahkan juga yang mungkin sangat membahayakan jika diungkap-kan bukan
lewat sastra.
(b). Prosa fiksi memberikan
informasi.
Fiksi memberikan sejenis informasi yang tidak terdapat
di dalam ensiklopedi. Jika kita memerlukan suatu fakta, maka kita dapat membuka
buku. Tetapi jika kita menginginkan wawasan yang berbeda dari apa yang ada di
dalam fakta, maka kita harus memilih sastra. Dari sastra mungkin kita akan
mendapatkan nilai-nilai dari sesuatu yang mungkin di luar perhatian kita. Dari
novel sering kita dapat belajar sesuatu yang lebih daripada sejarah atau
laporan jurnalistik tentang kehidupan masa kini, kehidup-an masa lalu, bahkan
juga kehidupan yang akan datang, atau kehidupan yang sama sekali asing. (Kita
ingat misalnya Robinson Crusoe (Defoe) atau Perjalanan ke Akhirat (Djamil Suherman).
Fiksi juga memberikan ide atau wawasan yang lebih
dalam daripada sekedar fakta yang hanya bersifat meng-gambarkan. Dari fiksi
dapat dipahami tentang kelemahan, ketakutan, keterasingan, atau hakekat manusia
lebih daripada apa yang disajikan oleh buku-buku psikologi, sosiologi, atau
anthropologi.
Fiksi bersifat mendramatisasikan, bukan hanya sekedar
menerangkan seperti misalnya buku teks psikologi. Mendramatisasikan, berarti
mengubah prinsip-prinsip abstrak menjadi suatu kehidupan atau lakuan/tindakan
(action). Kita jadi ingat misalnya pada Ziarah (Iwan Simatupang) yang merupakan
dramatisasi atau fisikalisasi dari ide keterasingan kehidupan manusia,
sebagaimana diperankan oleh profesor filsafat itu.
(c). Prosa fiksi memberikan warisan
kultural.
Pelajaran sejarah dapat memberikan sebagian warisan
kultural kepada mahasiswa; demikian pula dengan pelajaran matematika, seni,
dan musik. Para mahasiswa yang mempelajari
bahasa dan sastra akan memperoleh kontak dengan : impian-impian,
harapan-harapan, dan aspirasi-aspirasi, sebagai akar-akar dari kebudayaan.
Prosa fiksi dapat menstimulai imaginasi, dan merupakan sarana bagi pemindahan
yang tak henti-hentinya dari warisan budaya bangsa.
Novel-novel yang terkenal seperti : Sitti Nurbaya,
Salah Asuhan, Layar Terkembang mengungkapkan impi-an-impian, harapan-harapan,
aspirasi-aspirasi dari generasi yang terdahulu yang seharusnya dihayati oleh
generasi kini. Bagi bangsa Indonesia
novel-novel yang berlatar belakang perjuangan revolusi seperti Jalan Tak Ada
Ujung, Perburuhan, jelas merupakan buku novel yang berarti, sementara kita
menyadari bahwa revolusi itu sendiri adalah suatu tindakan heroisme yang
mengagumkan dan memberikan kebanggaan.
(d). Prosa fiksi memberikan
keseimbangan wawasan.
Lewat prosa fiksi seseorang dapat menilai kehidupan
berdasarkan pengalaman-pengalamannya dengan banyak individu. Fiksi juga
memungkinkan lebih banyak kesem-patan untuk memilih respon-respon emosional
atau rang-kaian aksi (action) yang mungkin sangat berbeda daripa-da apa yang
disajikan oleh kehidupan sendiri. Rangkaian aksi itu sendiri mungkin tidak
pernah ada dan tidak pernah terjadi di dalam kehidupan faktual.
Adanya semacam kaidah kemungkinan yang tidak mungkin
dalam fiksi inilah yang memungkinkan pembaca untuk dapat memperluas dan
memperdalam persepsi dan wawasannya tentang tokoh, hidup, dan kehidupan
manusia. Dari banyak memperoleh pengalaman sastra, pembaca akan terbentuk
keseimbangan wawasannya, terutama dalam menghadapi kenyataan-kenyataan di luar
dirinya yang mungkin sangat berlainan dari pribadinya. Seorang dokter yang
dianggap memiliki status sosial tinggi, tetapi ternyata mendatangi perempuan
simpanannya walaupun dengan alasan-alasan psikologis, seperti dikisahkan novel
Belenggu, adalah contoh dari “the probable impossibility.” Tetapi justru dari
sinilah pembaca memperluas per-spektifnya tentang kehidupan manusia.
Kesanggupan sastra (fiksi) untuk menembus pikiran dan
emosi seperti itu dapat memberikan impaknya yang luar biasa. Beberapa novel
kadang-kadang menyajikan suatu wawasan atau pemikiran yang subtil, bahkan
sampai kepada yang “gila” (Ingat beberapa novelet Putu Wijaya).
4.2 Aspek ekstrinsik
prosa fiksi.
Faktor
sejarah dan lingkungan seringkali dapat dibuktikan ada kaitannya dengan sebuah
cipta sastra (fiksi). Dengan kata lain kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat
atau lingkungan itulah justru memiliki pengaruh yang kuat pada diciptakanya
sebuah karya prosa fiksi. Sehingga kejadian-kejadian yang bersamaan dalam
proses pembuatan sebuah karya prosa fiksi seringkali menjadi ide dan inspirasi
dari pengarangnya.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.