Saturday, April 6, 2013

Kontribusi Agama-Agama Bagi Kohesitas Sosial Politik

Kontribusi Agama-Agama Bagi  Kohesitas Sosial Politik 
Proses rekonsiliasi di Maluku pasca konflik merupakan suatu prestasi yang luar biasa—karena berajalan sangat cepat. Hal ini sekaligus menjadi anti-tesis terhadap banyak pengamat konflik bahwa konflik Maluku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih. Rekonsiliasi yang berjalan cukup signifikan ini menunjukan bahwa Maluku masih memiliki modal-sosial cultural untuk bangkit dari keterpurukan yang ada. Bahkan proses rekonsiliasi ini sendiri juga turut membangkitkan kesadaran baru untuk meningkatkan kesadaran hidup orang basudara, khususnya di ranah social budaya dan agama.
Walaupun proses rekonsiliasi dan recovery berjalan begitu cepat, bukan berarti kondisi Maluku sekarang tanpa masalah, paling tidak menyimpan dan menyisahkan sejumlah masalah yang menyangkut hubungan antar agama dan etnis yang cukup pelik. Masalah-masalah yang muncul pasca-konflik ini merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat menjadi konflik terbuka.

1.   Tidak ada penegakkan hukum.
Karena tidak ada penegagakkan hukum pasca-konflik, sehingga yang muncul dalam memori kolektif masyarakat Maluku adalah perasaan saling tidak percaya dan saling klaim. Meskipun masyarakat makin sadar tentang pentingnya membangun perdamaian dan hidup bersama dalam keadaan damai, tapi kondisi yang ada masih menyisahkan stigma-kolektif serta stereotive  yang membuat posisi Islam dan Kristen berada dalam posisi yang vis-à-vis.
2.   Segregasi social/tempat antara Islam dan Kristen
Tak dapat dinafikan bahwa segregasi pemukiman muslim dan Kristen di Maluku sudah ada sejak dulu—dimana setiap negeri atau ohoi di Maluku tidak ada asimilasi agama, sehingga muncul istilah negeri Islam atau negeri Kristen (negeri Salam dan negeri Sarane). Tapi kondisi sebelum konflik, walaupun ada masalah, tetap dapat diterima dengan baik, sebagai suatu model kerukunan umat beragama, bahkan dalam relasi antar negeri Salam dan negeri Sarane ini secara cultural terdapat ikatan-ikatan persaudaraan yang begitu kuat—seperti pela, gandong dan larvul ngabal--yang berikutnya menjadi modal social-kultural dalam kehidupan bersama di Maluku. Pada saat konflik, ikatan-ikatan cultural seperti ini justru sangat efektif digunakan dalam membangun perdamaian di Maluku.
Hal ini berbeda dengan kondisi social pasca-konflik ini, selain segregasi sekarang bukan saja terjadi di negeri-negeri, tapi juga di kota, segregasi social dewasa ini juga menyimpan stigma kolektif yang amat dalam. Selain itu komunikasi dan interaksi secara informal menjadi sangat minim. Dalam segregasi tersebut politisasi agama dan mobilisasi cepat sekali menimbulkan konflik. 
3.   Masalah Pengungsi
Sampai saat ini penanganan pengungsi belum juga selesai, bukan saja bantuan rahabiliatsi dan pembangunan kembali perumahan pengungsi, tetapi juga persoalan pengembalian pengungsi serta kasus-kasus perdata. Bagi negeri-negeri Islam dan Kristen yang belum kembali seperti negeri Iha Islam, dusun Waitibu di Seram (kampung Islam), negeri Saunulu (negeri Kristen), negeri Seriholo (negeri Kristen)—kehilangan hak-hak perdata dan budayanya.
4.   Munculnya Gerakan Fundamentalisme Agama
Pasca konflik di Maluku muncul kesadaran untuk kembali menguatkan identitas dan keyakinan agama—dengan mengkonsolidasi mesjid dan gereja sebagai pusat dakwah/missi. Kasus ini begitu kuat terjadi di Islam, yaitu eks laskar jihad dari luar Maluku yang sudah menetap di Maluku, karena perkawinan atau bisnis—dengan latar belakang Salafi yang didukung oleh pesantren-pesantren berlatar belakang Wahabi yang baru dibangun, melakukan purifikasi secara massif. Pola dakwah yang dilakukan dengan menguasai mesjid-mesjid dan perkawinan. Untuk mesjid-mesjid di kota Ambon milik NU dan Muhammadiyah mayoritas telah dikuasai, termasuk mesjid-mesjid kampus. Pela, gandong, larvul ngabal yang selama ini menjadi modal social-kultural bagi kehidupan bersama (ikatan hidup orang basudara) dihancurkan oleh identitas “ukhuwah islamiyah” dengan dalih pela, gandong, larvul ngabal hanyalah persaudaraan budaya—tidak berlandaskan iman Islam, untuk itu tidak bisa menjadi ikatan persaudaraan untuk dunia dan akhirat. Sedangkan “ukhuwah islamiyah”, adalah persaudaraan berlandaskan iman Islam yang dapat menyelamatkan persaudaraan di dunia dan akhirat.
5.   Stigmatisasi Sparatisme dan Terorisme
Ada musuh imajiner yang sengaja dibentuk oleh kelompok berkepentingan, untuk selalu memprovokasi komunitas Islam dan Kristen di Maluku. Islam diidentikan sebagai teroris dan Kristen diidentikan sebagai sparatisme RMS. Hasil konstruksi seperti ini membuat hubungan Islam dan Kristen selalu berada dalam hubungan yang saling mencurigai. Padahal tidak semua RMS adalah Kristen dan Kristen tidak identik dengan RMS, demikian juga dengan teroris tidak identik dengan Islam.
Pertanyaannya sejauh mana peranan agama-agama bagi kohesifitas social politik masyarakat?

    1. Muncul kesadaran untuk merevitalisasi nilai-nilai kearifan local, seperti pela, gandong, larvul ngabal, ‘aini ‘ain, masohi, badati, ma’anu, dll, yang sebelum konflik lebih dominan menjadi cerita rakyat, karena dalam rentang waktu yang lama dihancurkan oleh pelbagai regulasi negara—yang menerapkan pola penyeragaman budaya, serta gerakan puritanisasi agama. Pasca konflik hampir semua negeri adat kembali merekonstruksi dan merevitalisasi hubungan pela dan gandong, yang untuk generasi sekarang lebih dipahami secara sepintas, dan spiritnya tidak terlalu kuat. Menariknya upaya revitalisasi hubungan pela dan gandong dalam ritual “panas pela”, itu—dimotori oleh para raja dan tokoh-tokoh masyarakat di level negeri/desa. Selain itu muncul gerakan kontekstualisasi agama, yaitu agama yang pro-budaya, baik di Islam maupun Kristen, khususnya di kalangan teolog muncul kesadaran baru untuk merumuskan pemahaman baru yang lebih kontekstual. Di kelompok Islam misalnya muncul gagasan Islam mazhab Ambon.
    1. Bangkitnya kesadaran dialog agama-agama, upaya membangun teologi pluralis. Lembaga-lembaga agama seperti MUI, GPM, Keuskupan Amboina membangun komunikasi aktif bagai upaya-upaya rekonsiliasi. Menariknya relasi sangat beda dengan pola relasi pada zaman sebelum konflik, yang hanya cenderung elitis dan ferbalistik. Peran relasi agama-agama di Maluku ini, pada akhirnya antara GPM, MUI dan Sinode sepekat membentuk sebuah lembaga sebagai media dialog, yaitu “Lembaga Antar Iman Maluku”. Memilih nama antar iman, bukan antar agama—sebenarnya juga memilki spirit yang kuat untuk sebuah perjumpaan yang lebih dalam dan menyentuh aspek religiusitas, bukan hanya sesuatu yang bersifat struktur kelembagaan. Bahkan relasi itu sampai pada membuat program-program secara bersama-sama, yang dieksekusi oleh lembaga antar iman, seperti peace sermon (khutbah dan dakwah damai bersama MUI), trauma counseling dengan dengan Sinode GPM dan Keuskupan Amboina, juga Studi agama-agama. Untuk studi agama-agama ini, para pendeta live in di keluarga-keluarga muslim pada negeri/wilayah muslim. Suatu hal yang sulit ditemukan sebelum konflik.
    1. Di level pemuda baik itu OKP seperti HMI, GMKI, PMKRI, KNPI—dalam pelbagai program selalu menggusung issu local wisdom seperti pela, gandong, atau hidup orang basudara, serta budaya baku bae.  Perkembangan selanjutnya, giat para pemuda di Maluku untuk perdamaian begitu kuat, akhirnya dibentuk young ambassador for peace di Ambon.
    1. Partisipasi imam, pendeta dan pastor—dalam upaya rekonsiliasi dan recovery pasca konflik. Terutama di negeri-negeri peran mereka sangat signifikan.

Gerakan agama-agama dewasa ini memiliki peran yang signifikan untuk membangun kohesifitas social politik masyarakat. Karena gerakan lintas agama dewasa ini lakukan lebih kritis, jujur dan terbuka—berdasarkan kesadaran dan concern yang kuat terhadap pelbagai konflik dan kekerasan yang mengitari hubungan agama-agama dewasa ini.  Hubungan yang dibangun berdasarkan kesadaran teologis dan cultural akan menjadi landasan yang kuat bagi kohesifitas social politik, sedangkan hubungan yang didasarkan kepada kepentingan politik membuat relasi agama-agama menjadi rapuh, karena penuh kepura-puraan, kepentingan dan intrik. Pada konteks ini agama-agama sangat dibutuhkan pernannya sebagai kekuatan transformatif, walaupun disadari secara historisitas kontribusi agama-agama di Maluku bagi kohesifitas social lebih minim, disbanding sebagai kekuatan segregatif.

Respon Sosial Politik Agama-Agama Bagi Pembebasan dan Kesejahteraan Umat Manusia
Agama diturunkan adalah untuk kemanusiaan—maka setiap agama yang datang datang memiliki spirit dan perhatian sangat tinggi terhadap segala penderitaan yang mendera umat manusia. Ia senantiasa hadir sebagai respons terutama terhadap segala kesengsaraan hidup. Agama adalah anak kandung paling sah dari penderitaan. Tidak ada agama yang datang sebagai ekspresi kesenangan dan kenikmatan yang tumpah ruah. Untuk itu, agama--terutama agama-agama besar hadir--merupakan gerakan kritik paling telanjang atas upaya penistaan manusia.
Sejumlah tokoh suci/nabi yang membawa agama justru datang dari kalangan masyarakat yang lama terperas dan tertindas. Orang-orang seperti Nabi Musa, Yesus/Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, Sang Budha telah dikenal begitu luas sebagai tonggak utama dari gerakan pembelaan terhadap kelas-kelas masyarakat yang tertindas, suku-suku yang terhina, dan kelompok-kelompok yang semakin terdesak ke pinggir. Mereka bukan hanya mengorbankan harta benda, tetapi juga jiwa dan raga.
Dalam konteks penderitaan umat manusia, agama kemudian menyuguhkan  ajaran cinta-kasih sebagai fondasi untuk melawan kegetiran, kekerasan dan penderitaan hidup dimaksud. Bahkan di dalam Kristen, cinta kasih telah menjadi daging dalam diri Kristus. Ajaran dan dogma cinta kasih yang menyebar di setiap agama merupakan simpati untuk membebaskan mereka yang tertindas. Di dalam Islam ajaran rahmatan lil ‘alamin merupakan mission sacre-nya, dan tauhid menjadi dasar pembebasan manusia dari pelbagai jenis ketuhanan yang palsu, tirani, dictator, korupsi, diskriminasi, kekerasan, dll.
Spirit pembebasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal bersumber dari seluruh agama. Untuk itu, agama menjadi identik dengan kerja advokasi untuk manusia yang tidak diuntungkan/beruntung serta berada di level paling bawah. Hal ini relevan dengan sebuah hadits kudsi (yang intinya) menyatakan bahwa…” jangan kejar Tuhan ke atas langit, tapi kejarlah Ia di kolong bumi; Tuhan selalu bersama mereka yang kelaparan”. Hadits ini secara jelas hendak menegaskan bahwa agama bukanlah sebuah nebula di langit yang terpisah dari kehidupan bumi, melainkan air yang menjadi roh bagi kehidupan bumi. Agama bukan hanya memuat resep keselamatan akhirati, melainkan juga keselamatan duniawi. Bahkan, perhatian utama agama sesungguhnya lebih pada tegaknya keadilan dan kesejahteraan dunia, kemudian disusul dengan keadilan dan kesejahteraan akhirati.
Akan tetapi, dalam hal dewasa ini kita menyaksikan sebuah fenomena ketercerabutan agama dari akar sejarah dan khitah awal kehadirannya. Pertama, agama cenderung menjadi milik pribadi para elite agama. Agama semakin mengelite dan tidak merakyat. Kitab suci yang ada di dalam setiap agama tidak lagi menjadi bacaan hati nurani rakyat, melainkan menjadi bacaan para pengawal doktrin dan penguasa.  Padahal, Kristen pada era Yesus, Islam pada era Nabi Muhammad SAW adalah agama yang sangat merakyat, dan jauh dari kesan elitis dan necis. Yesus dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah bersabda bahwa agama Islam dan Kristen adalah properti pribadi mereka, melainkan milik seluruh warga agama—rahmat bagi seluruh alam semesta. (Rahmatan lil ‘Alamin).
Kedua Muncul institusi, birokrasi dan hiarki dalam masyarakat beragama. Proses ini mengakibatkan agama-agama sibuk mengurusi dan mengawal kekuasaannya,akibatnya kehilangan élan prophetiknya--yang menyemangati kehadiran para nabi pembawa agama-agama. Fenomena birokratisasi agama terasa semakin mengganggu setiap umat beragama untuk berkreasi dan berinovasi.  Peran kreatif agama-agama menurut saya hanya mungkin apabila kita kembali menghadirkan semangat pencerahan yang dibawa para nabi secara`kreatif dalam konteks zaman kita sekarang.
Ketiga, ritus peribadatan, upacara-upacara keagamaan spektakuler telah mengaburkan konsep ajaran paling konkret dalam agama, membantu mereka yang miskin dan termarjinalkan. Kita dapat menyaksikan fenomena Idul Fitri, Natal, Paskah, dan perayaan-perayaan lain yang kian spektakuler, tapi sangat kering dari makna. Di sini keselamatan telah dibelokkan hanya kepada keselamatan akhirati. Sehingga penderitaan hidup di dunia tidak terlalu diperhatikan karena sudah digantikan dengan keselamatan akhirat yang abstrak bahkan terlampau semu itu. Coba perhatikan para pendakwah agama yang kebanyakan hanya fasih berbicara tentang janji-janji kesenangan eskatologis, tapi tidak mencoba untuk memberikan solusi bagi kesenangan duniawi. orang yang termiskinkan dan diperlakukan secara tidak adil, hanya diminta untuk bersabar karena Tuhan akan memberikan kebahagiaan di akhirat sebagai balasan atas penderitaannya di dunia.
Keempat, tendensi ke arah hukum yang legal-formalistik tampak makin menguat di lingkungan umat Islam. Islam menjadi rangkaian aturan hukum yang dikawal oleh sejumlah ortodoksi yang formalistik. Kecenderungan sebagian umat Islam yang sangat bernafsu melakukan formalisasi syariat Islam adalah salah satu indikatornya. Syariat Islam yang ditampilkannya pun berupa syariat-syariat yang privat.
Kelima, politisasi agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Prilaku seperti ini tidak saja mengkotak-kotakan manusia menurut agama dan keyakinannya, tetapi juga telah mengakibatkan kekerasan dan pendarahan dalam kehidupan umat manusia—agama dijadikan sebagai alat legitimasi.
Mengingat dewasa ini agama-agama lebih banyak bermain di domain sosio-politik. Dampaknya agama-agama pun terjebak dalam ketegangan-ketegangan idiologis yang ingin saling menghigemoni dan mendominasi. Secara sosio-historis dalam kehidupan masyarakat plural, agama sebagai kekuatan sosial sering menjadi persoalan. Ignas Kleden mengemukakan:
Agama sebagai kekuatan sosial atau lembaga cenderung mempunyai sejumlah kekuasaan dalam dirinya, dan selalu terdapat proses sosial dimana kekuasaan agama diperluas menjadi kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia diperluas ke dalam kekuasaan agama.
Pada konteks ini agama ditemukan sebagai kekuatan idiologis  dan kekuasaan. Lebih lanjut Ignas Kleden mengatakan:
Setiap agama, dikehendaki atau tidak dikehendaki, selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi idiologi, dan sebaliknya setiap idiologi yang ingin memantapkan diri cenderung menempuh jalan untuk memberikan warna keagamaan kepada dirinya. Idiologisasi selalu diimbangi dengan religiofikasi idiologi.
Kecenderungan suatu agama menjadi idiologis dapat dilihat pada dua gejala. Pertama, kalau agama dalam berhadapan dengan kekuasaan, tidak menjalankan fungsi kritisnya, tetapi lebih menjalankan peranannya sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan dan kekuasaan. Kedua, kalau agama karena tugasnya untuk menyampaikan keselamatan dan mengajarkan kesempurnaan hidup, menjadi instrumen yang ampuh untuk menciptakan hegemoni.
Pada titik itu, idiologisasi agama merupakan suatu alat yang ampuh untuk menciptakan higemoni , karena idiologi adalah suatu jenis pengetahuan khusus yang ditandai oleh sifat-sifatnya yang menyeluruh dan mengikat, dan memintakan komitmen. Di sinilah agama-agama dan pengikutnya sering berhadap-hadapan untuk saling mendominasi melalui pengetahuan dan keyakinan yang diperoleh dari agama-agama tersebut. Dari sikap dominasi di dalam beragama ini melahirkan sikap truth claim dan salvation claim satu agama kepada agama yang lain. Dalam posisi vis-à-vis agama-agama tidak hanya saling menghigemoni dan mendominasi di domain teologis saja, tapi juga berdampak pada domain social politik. Karena itu agama-agama bisa lupa terhahap peran profetiknya.
Dengan demikian, untuk membangun hubungan orang basudara sebagai landasan hidup berasama masyarakat Maluku yang plural—pasca-konflik bagi proses rehabilitasi dan recovery sangat membutuhkan teologi yang lebih pluralis yang selalu siap menyapa problem empirik di dalam masyarakat. Sebab acapkali tampak dalam sejarah manusia–lahirnya sejumlah kekerasan yang punya luka sosial dan rohani cukup dalam justru karena dipicu oleh pemahaman teologis tertentu yang membingkai setiap gerakan mereka. Karena itu, untuk mendapatkan suatu pemahaman teologi yang pluralis, sejuk dan menolak seluruh bentuk kekerasan atas manusia sangatlah penting mengerti segi-segi konsekuensial dari sikap keagamaan  kita--akan menentukan bagaimana pandangan kita terhadap agama-agama lain. Dalam penelitian ilmu agama-agama (religious studies), paling tidak ada tiga sikap keberagaman yang sangat dominan : yaitu ekslusivisme, inklusivisme, dan paralelisme. Paham pluralis hanya bisa dibangun jika seseorang secara teologis paling tidak inklusif, tapi akan lebih baik jika menganut paham paralelisme. Berikut akan diuraikan secara singkat ketiga bentuk sikap keberagamaan tersebut.
Pertama, ekslusif. Pandangan ini sangat dominan dan dianut oleh sebagian besar pemeluk keyakinan dari zaman ke zaman. Misalnya di dalam Islam“ “Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah, (hanyalah) Islam” (inna al-dina ‘ind al’lah al-islam). Dalam perspektif orang yang bersikap eksklusif ayat tersebut sering dibaca secara literer dan tekstual.
 Kedua, Inklusif. Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvifice presence) dan aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus. Dalam doktrin Kristen misalnya diyakini bahwa “menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus …” kata Alan Race pada Universitas Kent. Dalam perspektif ini, pandangan keberagaman seseorang telah bisa “memahami” jika dalam agama lain pun terdapat keselamatan, sepanjang mereka hidup dalam ketulusan Tuhan, melalui Kristus. Tapi pandangan ini dikritik oleh kaum paralelis sebagai membaca “agama lain” dengan “kacamata agama” sendiri.
Ketiga, Paralelisme. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar agama Kristen), mempunyai keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif) atau yang melengkapi atau yang mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Yaitu, setiap agama dan keyakinan memiliki jarak yang sama pada Tuhan sebagai pusat keberadaan dan kebenaran. Semua agama, melayani dan melindungi-Nya. Di sini kesejajaran antar pemeluk keagamaan, karena itu sangat dijunjung tinggi. Meskipun demikian, pluralisme tidaklah bertujuan untuk mencapai “keseragaman bentuk agama”. Sebab, gagasan itu tidak saja absurd tetapi juga a-historis. Jadi yang dibutuhkan adalah keadaan yang “saling menyapa” dan memberi kontribusi positif bagi penyelesaian problema bersama masyarakat dari perspektif keagamaan masing-masing.
Meskipun ide pluralisme itu sangat kompleks, tetapi sikap paralelisme ini sangat mendukung paham pluralisme, walaupun memang tidak mudah memahami segi ini. Karena itu, tak sedikit ahli menggunakan metafor, seperti metafor pelangi, metafor geometris atau metafor bahasa.
Dengan metafor “pelangi” misalnya, dibangun paradigma bahwa pada dasarnya semua agama itu mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna dasar itu adalah warna putih. Setiap warna muncul dari warna putih lewat “pembelokan”, atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Begitulah misalnya, agama Islam adalah warna hijau, dan agama Kristen adalah warna biru. Semua warna-warna itu pada dasarnya berasal dari warna putih. Dan warna putih ini sering disebut sebagai warna dari “agama primordial”. Para penganut filsafat parennial, biasanya menyebut sebagai “primordial truth”.
Sikap paralelisme ini kiranya mengekspresikan adanya fenomena “Satu Tuhan, banyak agama” yang bermakna suatu sikap toleran terhadap adanya “jalan lain” kepada Tuhan (ingat konsep al subul al-salam dalam tradisi Islam). Karena itu, yang terpenting dari agama bukanlah bentuk atau kerangkanya (eksoteris) tetapi subtsnasi dan nilai transendensinya (esoteris). Para penganut filsafat parennial berkeyakinan, dalam jantung seluruh agama dan tradisi yang otentik memiliki “pesan kebenaran” yang sama, yang disebutnya the heart of religious. Karena itu, setiap agama dan keyakinan memiliki jarak yang sama ke pusat Kesadaran dan Kebenaran yaitu Tuhan. Dengan sikap keberagaman seperti itu diharapkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran yang lebih pluralis dan sejuk, dimana antara basudara  Salam (saudara muslim) dan basudara Sarane (saudara Kristiani) walaupun berbeda agama—tetapi tetap satu sebagai agama orang basudara bisa hidup berdampingan secara aman dan harmonis dalam semangat orang basudara. Bukan paham keagamaan yang tidak terdewasakan.
Keberagamaan yang pluralis adalah juga sebagai kekuatan etik–profetik yaitu rahmat bagi kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘alamin). Beragama dalam konteks ini akan mampu mengakomodasi kehidupan yang multikultural, karena konsep agama sebagai rahmat bagi semesta alam adalah mengakui realitas multikultural sebagai desain Tuhan atau given, bukan pilihan manusia (Q.S. Al-Hujarat 13) “Wahai manusia sesungguhnya kami (Tuhan) telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu bersuku-suku berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal”.
Beragama yang mengakui dan menerima realitas yang plural akan mampu membina dan menciptakan harmoni kehidupan. Sedangkan beragama yang menolak realitas plural akan menjadi kekuatan yang destruktif. Pengakuan dan penerimaan terhadap  multikulturalisme tidak terbatas pada pluralitas etnis dan agama yang ada, tetapi dalam konteks yang lebih luas yaitu mengakui dan menerima identitas-identitas kultural yang tumbuh dan melekat pada masyarakat tersebut sebagai hasil karsa akal budi manusia itu sendiri. Apabila agama mampu ditransformasikan pada level aksi yang mengakui dan menerima realitas multikulturalisme seperti diatas, maka pela, gandong dan larvul ngabal akan mendapat spirit dari agama orang basudara tersebut (Salam dan Sarane)—sehingga agama dan budaya bukan lagi menjadi kekuatan yang bersifat vis-à-vis, tetapi menjadi kekuatan yang integratif bagi transformasi masyarakat yang multikultural.
Untuk itu, upaya-upaya membangun hubungan orang basudara dalam konteks masyarakat Maluku yang plural, lembaga-lembaga agama di Maluku perlu melakukan beberapa hal:
Pertama: membuka ruang dialog secara jujur, terbuka dan kritis antariman, dengan semua komponen umat beragama di Maluku—seperti diskusi, studi bersama, dalam rangka membangun pemahaman yang obyektif terhadap agama sendiri maupun agama lain. (bagaimana perspektif Salam terhadap Sarane, dan sebaliknya—harus dibuka untuk dibicarakan).
Kedua: mengintensifkan perjumpaan dalam ranah sosio-kultural dan teologi dalam rangka membongkar stereotype, kecurigaan, dendam, dan ketegangan—karena konflik dan kekerasan di masa lalu. Pada konteks ini perlu diakui bahwa dalam hubungan Islam dan Kristen di Maluku terdapat banyak permasalahan yang belum selesai. Jika permasalahan-permasalahan yang ada tidak ditangani secara cerdas, maka ini akan menjadi beban kolektif di masa depan.
Dialog dan perjumpaan yang lakukan tidak saja bersifat formal dan mekanistik, tetapi juga  secara informal dengan menggunakan nilai-nilai kearifan lokal—yang secara kultural menyentuh spirit orang basudara, seperti bacarita, singga dolo, mengente dll, dalam keadaan rasa saling memiliki. Karena selama ini dialog dan perjumpaan lebih banyak dikemas dalam ruang formal, kekuasaan dan politik, sehingga kita merasa ”asing” atau menjadi ”orang dagang” padahal kita adalah orang basudara.
Ketiga: mentransformasikan solidaritas orang basudara sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bukan sekedar solidaritas dalam ranah politik dan kekuasaan saja. Dengan mengimani pluralitas yang ada sebagai desain Tuhan yang menjadi given, solidaritas orang basudara tersebut dapat dikembangkan ke level saling “pro-eksistensi”—dalam istilah kami di Lembaga Antariman Maluku (LAIM), hidup orang basudara secara sejati adalah orang “Salam” dan  “Sarane” serta kelompok agama.
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com