Saturday, April 6, 2013

GPM dan Islam dalam Sejarah Sosial Politik


GPM  dan Islam dalam Sejarah Sosial Politik

A.     Pengantar

Potret  hubungan Islam dan Kristen di Indonesia sejak awal kadatangannya sampai dewasa ini penuh dengan pergumulan, konflik,  persaingan dan bahkan kekerasan komunal. Konflik Maluku dan Poso merupakan dua contoh terakhir yang masih sangat kuat melekat dalam memori kolektif kita sebagai masalah dalam relasi agama-agama. Pertanyaaannya  mengapa hubungan kedua agama ini sering diwarnai oleh ketegangan dan Konflik? Bagaimana mestinya peran agama-agama bagi kohesifitas social politik masyarakat? Bagaimana respon social politik agama-agama bagi pembebasan dan kesejahteraan bagi umat manusia?


B.       GPM Dalam Alur Sejarah Agama-Agama

Semua agama hadir di muka bumi tidak dalam ruang hampa budaya, tapi syarat budaya. Demikian halnya dengan kehadiran Kristen dan Islam di Maluku tidak terlepas dari konteks social-politik yang mengitarinya. Karena itu pelbagai pesoalan yang muncul dalam perjumpaaan kedua agama ini—termasuk konflik SARA yang pernah terjadi di Maluku tak lepas dari dinamika social yang ada. Jauh sebelum kedatangan Islam dan Kristen  kehidupan antar kelompok, suku,  negeri,  antar kerajaan, dan antar uli lima dan uli siwa sering diwarnai oleh persaingan, pertikaian dan peperangan. Setelah kedatangan Islam dan Kristen beserta masalah-masalah social politik yang melatarbelakanginya  membuat relasi masyarakat menjadi makin konfliktual. Maka ada benarnya apa yang dikatakan oleh Hauken, kadatangan Islam dan Kristen…acapkali menambah pertikaian yang sudah bersifat endemik.
Dinamika hubungan Islam dan Kristen di Maluku secara social politik menyimpan beberapa persolan yang cukup pelik dan memiliki implikasi yang kompleks. Untuk melihat posisi GPM dalam perspektif muslim, berikut secara singkat penulis akan mengemukakan persepsi masyarakat muslim terhadap kekristenan di Indonesia, khususnya di Maluku. Walaupun dalam banyak hal persepsi atas masalah-masalah ini tidak terkait langsung dengan GPM, namun turut membentuk persepsi masyarakat muslim terhadap GPM:
1.      Stigma kolektif tentang perang salib/sabil. Masalahnya adalah terdapat pemahaman pada sebagian besar umat Islam atau paling tidak para tokoh terhadap Kristen sebagai musuh abadi, yang berasal dari penafsiran terhadap Al-Qur’an, Hadis yang menguatkan persepsi mereka terhadap perang salib/sabil sebagai perang suci melawan orang-orang kafir. Bagi sebagian umat Islam kedatangan bangsa barat pada abad ke-16 sambil mengibarkan panji-panji Kristen termasuk tanda salib di bendara kapal dagangnya, kemudian praktek perdagangan yang sering merugikan masyarakat dan kerajaan Islam membuat persepsi negative terhadap kekristenan makin mengental. Dalam konteks ini perang salib di Kristen mewarisi spirit triumfalistik dan Islam mewarisi spirit jihad dalam arti perang.
2.      Kolonisasi, Evangelisasi, dan Orientalisme. Terjadi kolonisasi dunia barat terhadap negara-negara Islam di Asia dan Afrika beratus-ratus tahun hingga abad ke-20, secara tidak kritis dianggap sebagai bagian dari missi Kristen. Dalam konteks ini barat diidentikan sebagai Kristen dan Timur adalah Islam. Tiga misi lama sebagaimana yang diemban oleh Spanyol dan Portugis dan sering lekatkan kepada Kristen ialah Gospel, Gold and Glory sekan-akan posisi Kristen dulu hingga era kontemporer ini tidak terlepas dari ketiga misi itu. Apatahlagi pada masa Orba issu kristenisasi sebagaimana juga dengan issu islamisasi sering digunakan untuk memapankan posisi rezim Orba, demi stabilitas negara dengan memperkuat peran ABRI (militer). Pemahaman seperti ini membuat hubungan agama-agama berada dalam suasana saling curiga dan mengancam.
3.      Berkembangnya persepsi bahwa bangsa-bangsa barat lebih memprioritaskan posisi Kristen, sebaliknya Kristen dianggap lebih loyal kepada bangsa Barat—terutama bangsa Belanda. Kerena itu, orang-orang Kristen diprioritaskan untuk pendidikan dan dibela HAM nya daripada muslim.
4.      Kekristenan dan sparatisme. Pasca kemerdekaan nasionalisme Kristen diragukan. Berhubungan dengan beberapa gerakan sparatis Indonesia Timur seperti OPM Papua dan khususnya RMS Maluku—yang diklaim mayoritas Kristen dan ada kaitannya dengan Belanda, walaupun tidak sedikit orang Islam yang terlibat. Klaim seperti ini membuat kekristenan berada pada posisi yang sangat sensitif.

Tak bisa dinafikan bahwa berkembangnya persepsi-persepsi seperti ini dalam konteks social politik menjadi permaslahan yang cukup berat bagi perjumpaan agama-agama. Karena persepsi-persepsi seperti ini dalam rentang waktu yang panjang telah menjadi “musuh imajiner”, sangat sarat dengan nuansa dendam, curiga, stereotif, dan konfliktual. Biasanya kelompok hard liners (garis keras) atau fundamentalis Islam sering menggunakan issu ini sebagai bentuk perlawanan mereka. Contohnya, Laskar Jihad, FPI (Forum Pembela Islam), Majelis Mujahidin sering menggunakan tafsir jihad sebagai perang untuk melawan kemaksiatan, sekularisme, liberalisme, sparatisme, yang diklaim sebagai agenda orang Barat, Kristen dan Yahudi. Tak mengherankan kemudian dengan menggunakan issu-issu seperti itu kelompok-kelompok fundamentalis itu membentuk paramiliter untuk memerangi masalah-masalah tersebut secara fisik, serta turut pula mengirim para paramiliter berperang di daerah-daerah konflik, seperti yang dilakukan oleh lascar jihad  dan mujahidin---dengan mengirim paramiliter ke Ambon dengan dalih untuk menegagakkan agama serta melawan “Kristen sparatis RMS”.

Disadari bahwa GPM lahir dan berkembang dalam dinamika seperti ini tentu merupakan suatu tantangan yang cukup berat. Tapi suatu hal yang pasti pandangan-pandangan seperti itu sangat bias, kerena pandangan-pandangan seperti itu sangat sarat nuansa politisnya. Bahkan dalam perkembangan terkahir, terutama saat konflik dan pasca konflik GPM telah melakukan sebuah gerakan yang cukup progresif dalam hubungan agama-agama. Bahkan sebagaimana pengamatan penulis, Gereja Protestan Maluku dalam Hasil Persidangan XXXV 2005 telah merumuskan konsep-konsep yang cukup brilian tentang masa depan pluralisme agama di Maluku. Dimana GPM mengakui agama dan kepercayaan lain adalah bagian yang utuh dari Karya Cipta Allah. Serta realitas pluralisme yang ada diakui sebagai berkat Allah. Maka agama-agama  dan keperecayaan-kepercayaan yang ada dapat menjadi potensi untuk hidup berasama. Untuk membangun pluralisme sejati, GPM telah membangun suatu tradisi dialog yang melintasi batas-batas agama secara kritis, jujur dan terbuka. Keberadaan Lembaga Antar Iman (EL-AI-EM) Maluku sebagai media dialog dan perjumpaan lembaga-lembaga agama merupakan salah satu manifestasi spirit pluralisme tersebut.
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com