GPM dan Islam
dalam Sejarah Sosial Politik
A. Pengantar
Potret hubungan Islam dan Kristen di Indonesia sejak
awal kadatangannya sampai dewasa ini penuh dengan pergumulan, konflik, persaingan dan bahkan kekerasan komunal. Konflik
Maluku dan Poso merupakan dua contoh terakhir yang masih sangat kuat melekat
dalam memori kolektif kita sebagai masalah dalam relasi agama-agama. Pertanyaaannya
mengapa hubungan kedua agama ini sering diwarnai oleh ketegangan dan
Konflik? Bagaimana mestinya peran agama-agama bagi kohesifitas social politik
masyarakat? Bagaimana respon social politik agama-agama bagi pembebasan dan kesejahteraan
bagi umat manusia?
B. GPM Dalam
Alur Sejarah Agama-Agama
Semua agama hadir di muka
bumi tidak dalam ruang hampa budaya, tapi syarat budaya. Demikian halnya dengan kehadiran Kristen dan Islam di
Maluku tidak terlepas dari konteks social-politik yang mengitarinya. Karena itu
pelbagai pesoalan yang muncul dalam perjumpaaan kedua agama ini—termasuk
konflik SARA yang pernah terjadi di Maluku tak lepas dari dinamika social yang
ada. Jauh sebelum kedatangan Islam dan Kristen
kehidupan antar kelompok, suku,
negeri, antar kerajaan, dan antar
uli lima dan uli siwa sering diwarnai oleh persaingan, pertikaian dan
peperangan. Setelah kedatangan Islam dan Kristen beserta masalah-masalah social
politik yang melatarbelakanginya membuat
relasi masyarakat menjadi makin konfliktual. Maka ada benarnya apa yang
dikatakan oleh Hauken, kadatangan Islam dan Kristen…acapkali menambah
pertikaian yang sudah bersifat endemik.
Dinamika hubungan Islam dan Kristen di Maluku secara
social politik menyimpan beberapa persolan yang cukup pelik dan memiliki
implikasi yang kompleks. Untuk melihat posisi GPM dalam perspektif muslim,
berikut secara singkat penulis akan mengemukakan persepsi masyarakat muslim
terhadap kekristenan di Indonesia, khususnya di Maluku. Walaupun dalam banyak
hal persepsi atas masalah-masalah ini tidak terkait langsung dengan GPM, namun
turut membentuk persepsi masyarakat muslim terhadap GPM:
1. Stigma kolektif tentang perang salib/sabil. Masalahnya
adalah terdapat pemahaman pada sebagian besar umat Islam atau paling tidak para
tokoh terhadap Kristen sebagai musuh abadi, yang berasal dari penafsiran
terhadap Al-Qur’an, Hadis yang menguatkan persepsi mereka terhadap perang
salib/sabil sebagai perang suci melawan orang-orang kafir. Bagi sebagian umat
Islam kedatangan bangsa barat pada abad ke-16 sambil mengibarkan panji-panji
Kristen termasuk tanda salib di bendara kapal dagangnya, kemudian praktek
perdagangan yang sering merugikan masyarakat dan kerajaan Islam membuat
persepsi negative terhadap kekristenan makin mengental. Dalam
konteks ini perang salib di Kristen mewarisi spirit triumfalistik dan Islam
mewarisi spirit jihad dalam arti perang.
2. Kolonisasi,
Evangelisasi, dan Orientalisme. Terjadi kolonisasi dunia barat terhadap
negara-negara Islam di Asia dan Afrika beratus-ratus tahun hingga abad ke-20,
secara tidak kritis dianggap sebagai bagian dari missi Kristen. Dalam konteks ini barat diidentikan sebagai Kristen dan
Timur adalah Islam. Tiga misi lama sebagaimana yang diemban oleh Spanyol dan
Portugis dan sering lekatkan kepada Kristen ialah Gospel, Gold and Glory sekan-akan posisi Kristen dulu hingga era
kontemporer ini tidak terlepas dari ketiga misi itu. Apatahlagi pada masa Orba issu kristenisasi sebagaimana juga
dengan issu islamisasi sering digunakan untuk memapankan posisi rezim Orba,
demi stabilitas negara dengan memperkuat peran ABRI (militer). Pemahaman
seperti ini membuat hubungan agama-agama berada dalam suasana saling curiga dan
mengancam.
3. Berkembangnya
persepsi bahwa bangsa-bangsa barat lebih memprioritaskan posisi Kristen,
sebaliknya Kristen dianggap lebih loyal kepada bangsa Barat—terutama bangsa
Belanda. Kerena itu, orang-orang
Kristen diprioritaskan untuk pendidikan dan dibela HAM nya daripada muslim.
4. Kekristenan dan sparatisme. Pasca kemerdekaan
nasionalisme Kristen diragukan. Berhubungan dengan beberapa gerakan sparatis
Indonesia Timur seperti OPM Papua dan khususnya RMS Maluku—yang diklaim
mayoritas Kristen dan ada kaitannya dengan Belanda, walaupun tidak sedikit
orang Islam yang terlibat. Klaim seperti ini membuat kekristenan berada pada
posisi yang sangat sensitif.
Tak bisa dinafikan bahwa
berkembangnya persepsi-persepsi seperti ini dalam konteks social politik
menjadi permaslahan yang cukup berat bagi perjumpaan agama-agama. Karena
persepsi-persepsi seperti ini dalam rentang waktu yang panjang telah menjadi
“musuh imajiner”, sangat sarat dengan nuansa dendam, curiga, stereotif, dan
konfliktual. Biasanya kelompok hard
liners (garis keras) atau fundamentalis Islam sering menggunakan issu ini
sebagai bentuk perlawanan mereka. Contohnya, Laskar Jihad, FPI (Forum Pembela
Islam), Majelis Mujahidin sering menggunakan tafsir jihad sebagai perang untuk
melawan kemaksiatan, sekularisme, liberalisme, sparatisme, yang diklaim sebagai
agenda orang Barat, Kristen dan Yahudi. Tak mengherankan kemudian dengan
menggunakan issu-issu seperti itu kelompok-kelompok fundamentalis itu membentuk
paramiliter untuk memerangi masalah-masalah tersebut secara fisik, serta turut
pula mengirim para paramiliter berperang di daerah-daerah konflik, seperti yang
dilakukan oleh lascar jihad dan
mujahidin---dengan mengirim paramiliter ke Ambon dengan dalih untuk menegagakkan
agama serta melawan “Kristen sparatis RMS”.
Disadari
bahwa GPM lahir dan berkembang dalam dinamika seperti ini tentu merupakan suatu
tantangan yang cukup berat. Tapi suatu hal yang pasti pandangan-pandangan
seperti itu sangat bias, kerena pandangan-pandangan seperti itu sangat sarat
nuansa politisnya. Bahkan dalam perkembangan terkahir, terutama saat konflik
dan pasca konflik GPM telah melakukan sebuah gerakan yang cukup progresif dalam
hubungan agama-agama. Bahkan sebagaimana pengamatan penulis, Gereja Protestan
Maluku dalam Hasil Persidangan XXXV 2005 telah merumuskan konsep-konsep yang
cukup brilian tentang masa depan pluralisme agama di Maluku. Dimana GPM
mengakui agama dan kepercayaan lain adalah bagian yang utuh dari Karya Cipta Allah.
Serta realitas pluralisme yang ada diakui sebagai berkat Allah. Maka
agama-agama dan keperecayaan-kepercayaan
yang ada dapat menjadi potensi untuk hidup berasama. Untuk membangun pluralisme
sejati, GPM telah membangun suatu tradisi dialog yang melintasi batas-batas
agama secara kritis, jujur dan terbuka. Keberadaan Lembaga Antar Iman
(EL-AI-EM) Maluku sebagai media dialog dan perjumpaan lembaga-lembaga agama
merupakan salah satu manifestasi spirit pluralisme tersebut.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.