Contoh perkara hukum
perdata
Status Perkawinan
Internasional dan Perjanjian Perkawinan
Seorang WNI menikah dengan warga negara Prancis di Jepang.
Mereka beragama Kristen Katolik, tetapi tidak melangsungkan perkawinan menurut
hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di
kedutaan besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang
minimal satu hingga tahun mendatang. Setelahnya, mereka belum memutuskan,
tetapi mereka sepakat anak di kemudian
hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis..
Analisis
Sejak diberlakukannya UU 1/1974, perkawinan beda agama
dilarang, tapi perkawinan antar-warga negara Indonesia
dengan warga negara asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan
berdasarkan Pasal 57-62 UU 1/1974.
Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku
Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri
berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus
dilaksanakan berdasarkan hukum negara di mana perkawinan dilangsungkan, dalam
kasus ini hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya
mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang
dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formal telah sah.
Tapi pelaksanaan Pasal 56 harus didahului pelaksanaan Pasal
60 UU 1/1974 yang menyatakan setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi
persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan UU 1/1974.
Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul
keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan besar
bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah
Catatan Sipil Jepang, bukan Catatan Sipil Indonesia . Akta yang dikeluarkan
oleh catatan sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat
hukum di Indonesia, perkawinannya harus didaftarkan ke buku pendaftaran di
Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal
WNI tersebut (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, atau
Bekasi).
Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka
setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal WNI. Untuk
melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut Pasal 72
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 diperlukan dokumen-dokumen
bukti pengesahan perkawinan di luar Indonesia, kutipan akta kelahiran, kartu
keluarga dan kartu tanda penduduk, kutipan akta perceraian atau kutipan akta
kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, paspor kedua mempelai, dan
pas foto berdampingan ukuran 4x6 cm empat lembar.
Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan
sehingga status dwi kewarganegaraannya diketahui. Lalu dengan diketahuinya
status dwikewarganegaraan, seorang anak nanti dapat memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan WNI lainnya
15
seperti
memiliki tanah. Jika status WNI-nya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan
untuk
menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah
atau apa pun yang dibatasi untuk orang asing.
Pasal 1395 Code Civil Prancis kurang lebih juga menyatakan
perjanjian kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu,
secara umum, Code Civil Prancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang
berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak.
Secara internasional, Prancis juga tunduk pada the Hague
Convention on the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3
Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus
dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah
maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat
tinggal tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak
terkait.
Analisa Menurut Teori Hukum
Perdata Internasional
Menurut teori Hukum Perdata
Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan
pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan
hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status
personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil
law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius
sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah
sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara
sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang
istri dan hak-hak maritalnya.
Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang
terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani,
Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia,
Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi
kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu
sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka
(ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.[2]
Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan yang lama yaitu
UU No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum
ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam
keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi
perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila
anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Analisa Menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan
Undang-Undang kewarganegaraan
yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun
asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang tersebut pada
dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa
kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak
dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya
kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila
anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis
menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Berdasarkan UU ini anak yang
lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang
lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui
sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan
ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari
perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini
akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem Hukum Perdata Internasional peninggalan
Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi,
yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda,
yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB
tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati
warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal
yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan
kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka
orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional
mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam yurisprudensi
indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan
perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan
perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi Hukum Perdata Internasional,
kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal
penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang
anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara
hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada
masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti
kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas
ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam
hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil
yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak
menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti
hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan
dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan
darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal
tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari
negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu
ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya
perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional
sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena
undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa
timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli
hukum perdata internasional.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.