Friday, October 25, 2019

MAKALAH KEBIJAKAN PUBIK TENTANG OTONOMI DAERAH


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alaamin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat bantuan saran dan dorongan berbagai pihak, makalah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yang mengarahkan penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Meskipun telah berupaya sebaik mungkin dalam menyusun makalah ini, namun penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis membuka diri terhadap saran dan kritik untuk penyempurnaan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membuka pintu rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
  
Medan,      Oktober 2016


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
            Tahapan sebuah kebijakan  tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake holder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok.
Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar.
Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
Tahapan pengesahan peraturan perundangan;
Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
Penyiapan sumber daya, unit dan metode;
Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi.

B.  Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah tentang tahapan kebijakan pubik otonomi daerah.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Pengertian Kebijakan Publik
2. Pengembangan Otonomi Daerah
3. Kelemahan Otonomi Daerah
4. Dampak Otonomi Daerah
5. Hubungan Kebijakan Publik Dengan Otonomi Daerah

C.  Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Pengertian Kebijakan Publik
2. Pengembangan Otonomi Daerah
3. Kelemahan Otonomi Daerah
4. Dampak Otonomi Daerah
5. Hubungan Kebijakan Publik Dengan Otonomi Daerah

BAB II
PEMBAHASAN
  
A. Pengertian kebijakan Publik
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.
Kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:

 1.Analisis kebijakan prospektif
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.

2.Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

3.Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

B.     Pengembangan Otonomi Daerah di Indonesia
a)      Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
b)      Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

c)      Masa Kemerdekaan
1.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi
2)    Kabupaten/kota besar
3)    Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2.      Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)    Propinsi
b)    Kabupaten/kota besar
c)    Desa/kota kecil
d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.         

3.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)    Daerah swatantra tingkat II
3)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4.      Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

5.      Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi (tingkat I)
2)    Kabupaten (tingkat II)
3)    Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.      Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1)    Provinsi/ibu kota negara
2)    Kabupaten/kotamadya
3)    Kecamatan
 Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

7.      Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1)      Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2)      Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)      Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)      Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

8.      Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

C. Kelebihan dan Kelemahan Otonomi Daerah   
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut ini.
§  Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
§  Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
§  Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
§  Dengan adanya  desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
§  Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
§  Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
§  Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini.
§  Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
§  Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
§  Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya  apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
§  Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
§  Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.

D. Berbagai Dampak Otonomi Daerah
a.  Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.

b.  Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1.      Korupsi Pengadaan Barang Modus :
a.  Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b.  Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2.      Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
§  Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
§  Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3.      Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4.      Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
§  Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5.      Bantuan fiktif
Modus :
§  Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.

E. Hubungan Kebijakan Publik Dengan Otonomi Daerah
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui berbagai macam Peraturan Perundang-undangan, hakekatnya  untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik, yang diwujudkan melalui tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalahkesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. 
Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah adalah hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah.
Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 disebut Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan daerah).  
Dalam meyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mengutamakan tanggungjawab dan kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat, dengan memberikan dan/atau menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi daerah memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk semakin memahami hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah, termasuk peran dan hak-hak perempuan di dalam berpemerintahan.
Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan control terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah, dengan kekurangan dan kelebihannya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi).
sDilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah, dan merupakan tantangan tersendiri yang harus disikapi positif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparat penyelenggara pelayanan publik.
Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya  masih  didasarkan pada  pendekatan kekuasaan atau kewenangan yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan tidak berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, pada hakekatnya ditujukan dan berorientasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan) dan  memberdayakan (empowerment) staf dan masyarakat, secara bersama-sama saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Bobot orientasi pelayanan umum, seharusnya untuk  kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin, bukan mengutamakan hak-hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan keseimbangan  pola pikir para penyelenggara pelayanan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang analisis kebijakan publik dan otonomi daerah, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan.
  2. Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: a) Peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat; b) Peningkatan kualitas pelayanan publik; dan c) Fleksibilitas program pembangunan.
B.     Saran
Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi Daerah:

a. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.

b. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet
  
DAFTAR PUSTAKA

Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.

R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama Press, 2001)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Didi Marzuki (Editor), 2006, Bekerja Demi Rakyat : Meningkatkan Kompetisi Aparatur Pemerintah Daerah Dalam Kebijakan dan Pelayanan Publik, Komunal, Jakarta

 Erwin AP dan Wahyudi K (Editor), 2005,  Birokrasi Publik : Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Gaya Media, Yogyakarta.
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com