KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alaamin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kendala yang
dihadapi, namun berkat bantuan saran dan dorongan berbagai pihak, makalah ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu yang mengarahkan penulis sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Meskipun telah berupaya sebaik mungkin dalam menyusun makalah ini, namun
penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis
membuka diri terhadap saran dan kritik untuk penyempurnaan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membuka pintu rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua, Amin.
Medan, Oktober 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahapan sebuah kebijakan tentu saja
melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun publik
secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur
yakni tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan
yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan
ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake holder tersebut. Interaksi ketiga
unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak yang
diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa
indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret
semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya
berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga;
manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang
diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu
maupun kelompok.
Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah
keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha
mencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang
seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan
tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi,
dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan
keputusan dasar.
Proses tersebut
terdiri atas beberapa tahapan yakni:
Tahapan pengesahan peraturan
perundangan;
Pelaksanaan keputusan oleh instansi
pelaksana;
Kesediaan kelompok sasaran untuk
menjalankan keputusan;
Dampak nyata keputusan baik yang
dikehendaki atau tidak;
Dampak keputusan sebagaimana yang
diharapkan instansi pelaksana;
Upaya perbaikan atas kebijakan atau
peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi
setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
Penyiapan sumber daya, unit dan
metode;
Penerjemahan kebijakan menjadi
rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
Penyediaan layanan, pembayaran dan
hal lain secara rutin.
Oleh karena itu, implikasi sebuah
kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan
aplikasi.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini
adalah tentang tahapan kebijakan pubik otonomi daerah.
Untuk memberikan kejelasan makna
serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya
dibatasi pada :
1. Pengertian Kebijakan Publik
2. Pengembangan Otonomi Daerah
3. Kelemahan Otonomi Daerah
4. Dampak Otonomi Daerah
5. Hubungan Kebijakan Publik Dengan
Otonomi Daerah
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah.
Adapun tujuan khusus dari
penyusunan makalah ini adalah :
1. Pengertian Kebijakan Publik
2. Pengembangan Otonomi Daerah
3. Kelemahan Otonomi Daerah
4. Dampak Otonomi Daerah
5. Hubungan Kebijakan Publik Dengan
Otonomi Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian
dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan
kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product
of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some
public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat
atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah
yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan
dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin
bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para
pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam
analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan
masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif
kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat
kebijakan.
Kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara
analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya
kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik
berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah
rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan
sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni
memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat
kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama
analisis kebijakan publik, yaitu:
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis
kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk
dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan
secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai
landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2.Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan
transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis
berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis
yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan
analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis
retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3.Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada
penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan
diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para
analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi
juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan
mentransformasikan informasi setiap saat.
B. Pengembangan
Otonomi Daerah di Indonesia
a) Warisan
Kolonial
Pada
tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah
undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah
kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam
masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
b) Masa
Pendudukan Jepang
Ketika
menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.
Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
c) Masa
Kemerdekaan
1. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
1)
Provinsi
2)
Kabupaten/kota besar
3)
Desa/kota kecil.
UU
No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
2. Periode
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)
Propinsi
b)
Kabupaten/kota besar
c)
Desa/kota kecil
d)
Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya
sendiri.
3. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut
UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)
Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)
Daerah swatantra tingkat II
3)
Daerah swatantra tingkat III.
UU
No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres
No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada
kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen
baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal
dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat
menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5. Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut
UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)
Provinsi (tingkat I)
2)
Kabupaten (tingkat II)
3)
Kecamatan (tingkat III)
Sebagai
alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah,
kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU
ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi:
1)
Provinsi/ibu kota negara
2)
Kabupaten/kotamadya
3)
Kecamatan
7. Periode
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah
di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara
umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan
bagi masyarakat.
8. Periode
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada
tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
C. Kelebihan dan Kelemahan Otonomi Daerah
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa
sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat
penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat
dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya
sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural
yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin
perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak
makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan
integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus
diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da-
erah sendiri.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan
tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu
juga diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan
keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya
sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan
sebagai berikut ini.
§
Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat
pemerintahan.
§
Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang
membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi
dari Pemerintah pusat.
§
Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan
pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi
kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda
menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
§
Dengan adanya desentralisasi
territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal
yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh
negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara,
sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan
oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
§
Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari
Pemerintah Pusat.
§
Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih
memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
§
Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia
lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung
kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai
berikut ini.
§
Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka
struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
§
Keseimbangan dan keserasian antara
bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
§
Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat
mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
§
Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang
lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
§
Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan
biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas
dan kesederhanaan.
D. Berbagai Dampak Otonomi Daerah
a. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah
makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang
ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah
pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah
yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak
daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana
tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
b. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan
bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu
terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi
Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah
tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan
Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan
system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah
membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1.
Korupsi Pengadaan Barang Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan
jasa dari harga pasar.
b.
Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2.
Penghapusan barang inventaris dan aset negara
(tanah)
Modus :
§
Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
§
Menjual inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
3.
Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan
pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4.
Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi
(sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
§
Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya
dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5.
Bantuan fiktif
Modus
:
§
Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada
bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
E. Hubungan Kebijakan Publik Dengan
Otonomi Daerah
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui
berbagai macam Peraturan Perundang-undangan, hakekatnya untuk
mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan
konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa
kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka
terselenggaranya kepemerintahan yang baik, yang diwujudkan melalui tanggung
jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk
mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah otonom selanjutnya
disebut daerah, adalahkesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah adalah
hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan untuk kepentingan
mensejahterakan masyarakat.
Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok
masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat
istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya
dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
dan selanjutnya disebut Daerah.
Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah
perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-Undang
Nomor 32/2004 disebut Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah disini,
mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah
dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan
daerah).
Dalam meyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah dan
DPRD seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mengutamakan
tanggungjawab dan kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat, dengan
memberikan dan/atau menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi dan
akuntabilitas di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi
daerah memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk semakin memahami
hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah, termasuk peran
dan hak-hak perempuan di dalam berpemerintahan.
Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan
melakukan control terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus
diakui, pelaksanaan otonomi daerah, dengan kekurangan dan kelebihannya
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan
masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi).
sDilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan
masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah
daerah, dan merupakan tantangan tersendiri yang harus disikapi positif oleh
para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparat penyelenggara pelayanan
publik.
Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum
dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan
pada pendekatan kekuasaan atau kewenangan yang lebih mengedepankan
kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan tidak berorientasi pada
kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, pada hakekatnya
ditujukan dan berorientasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
(pelanggan) dan memberdayakan (empowerment) staf dan masyarakat,
secara bersama-sama saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Bobot orientasi pelayanan umum, seharusnya untuk kepentingan dan
kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin, bukan mengutamakan hak-hak
atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan
keseimbangan pola pikir para penyelenggara pelayanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas tentang analisis kebijakan publik dan otonomi daerah, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek
tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian
keberhasilan.
- Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain: a) Peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat; b) Peningkatan kualitas pelayanan publik; dan c) Fleksibilitas program pembangunan.
B. Saran
Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol
Otonomi Daerah:
a. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
b. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet
DAFTAR PUSTAKA
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam
Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora
Utama Press, 2001)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Didi Marzuki
(Editor), 2006, Bekerja Demi Rakyat : Meningkatkan Kompetisi Aparatur
Pemerintah Daerah Dalam Kebijakan dan Pelayanan Publik, Komunal, Jakarta
Erwin
AP dan Wahyudi K (Editor), 2005, Birokrasi Publik : Dalam Sistem Politik
Semi-Parlementer, Gaya Media, Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.