Penodaan
Agama dalam KUHP
Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak
ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri
sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap
agama; c) delik yang berhubungan
dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief
menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang
berhubungan dengan agama. Meski
demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut
agama bukan tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam
KUHP seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang,
penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).
Sedangkan pasal 156a yang sering
disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c
tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama
dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama
dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam
menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada
pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan
agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal
ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap
agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu
sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari
kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan
simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski
demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga
ditujukan untuk melindungi penganut agama.
Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP
tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana
yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a
merupakan tambahan untuk men-stressing-kan
tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal
berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan
suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal,
keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a
tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht
(WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut
langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.
Benih-benih delik
penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965
tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama
itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama
itu".
Pasal 156a ini dimasukkan
ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur
perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang
berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya
merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi
minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.
Mengapa aturan tentang penodaan
agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab
dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan
beberapa hal, antara lain: pertama,
undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita
revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama
dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua,
timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan
hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah
persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional
dengan mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga,
karena itu,
aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan
ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama
dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama
tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk
agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini
berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama
tersebut dibatasi kehadirannya.
Prof. Oemar Seno Adji dapat ditunjuk
sebagai ahli hukum yang paling bertanggung jawab masuknya delik agama dalam
KUHP. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29
juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhana Yang Maha Esa. Karena itu,
kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat
dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan meilihat Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik
agama.
Pasal 156a dalam praktiknya
memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara.
Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti
pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan
penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa
ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai
agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku
ritual yang berbeda dengan mainstream,
aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa
direntangkan hampir tanpa batas.
Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya
bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah,
misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi
agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang
mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini
tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban.
Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili
ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat
dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang
menganggapnya sesat.
Jika dalam KUHP yang selama ini
berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam RUU KUHP yang
merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu
Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di
dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian:
Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur
tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk
Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini
mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan
Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348).
Dari
gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan
lebih luas aspek penodaan agama ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi
untuk menyusun dan memunculkan pasal-pasal tentang agama dalam R-KUHP yang
lebih berorientasi pada perlindungan korban. Pasal-pasal dalam R-KUHP tentang
agama ini semestinya diorientasikan disamping untuk melindungi kepentingan
umum, juga untuk melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas
dan juga melindungi minoritas dari ancaman diskriminasi dan kewewenang-wenangan
mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan
cara pandang atas berbagai masalah keagamaan tidak kemudian dituduh melakukan
penodaan agama. Karena, menuduh orang melakukan penodaan agama tidak bisa hanya
berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus bias dibuktikan bahwa orang
tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan, dan melecehkan
agama. Revisi KUHP tidak boleh disandera kelompok tertentu dengan meminjam
“tangan Negara” guna memuluskan agenda-agenda politiknya.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.