Buku Perubahan berkembang sedikit demi sedikit selama
delapan abad berikutnya, tapi referensi tercatat pertamanya adalah pada
Aliran Filsafat China
Aliran filsafat di Cina kebanyakan muncul pada jaman klasik. Ada enam aliran, yaitu :
• Konfusianisme (551-497 SM)
Aliran ini didirikan oleh Kong Fu Tse. Inti ajarannya adalah Tao(jalan sebagai
prinsip utama dari kenyataan) ialah jalan manusia. Dengan kehidupan yang baik,
manusia menjadikan Tao itu luhur dan mulia. Kebaikan hidup dapat dicapai
melalui
perikemanusiaan.
• Taoisme (550 M)
Didirikan oleh Lao Tse. Inti ajarannya Tao adalah jalan alam. Ajarannya lebih
metafisika. Lao Tse menentang Konfusius. Puncak ajarannya adalah kesaadaran
bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Para
penganutnya memandang alam
sebagai tempat mereka menjalankan kehidupan yang sederhana.
• Mohisme
Didirikan oleh Mo Tse atau Mo Zi. Inti ajarannya adalah cinta universal. Rakyat
Cina harus percaya pada langit yang menampilkan cinta kepada semua orang.
Aliran
ini bersifat pragmatis, arinya baik buruknya sesuatu bergantung pada
pertimbangan untung ruginya. Mo Zi menentang kemewahan, dan upacara-upacara
yang
menghamburkan kekayaan.
• Legalisme (7 SM)
Legalisme atau Fa Chia (sekolah hukum) didirikan oleh Guan Zhong. Legalisme
menekankan pada sopan santun, keadilan, kejujuran, dan penguasaan diri.
Legalisme mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh
baik
yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu
sistem undang-undang yang keras sekali.
• Yin-Yang
Yin-Yang merupakan cabang dari Taoisme. Yin-Yang mengajarkan adanya dua prinsip
yaitu : yin (betina) yang bersifat pasif, ketenangan, surga, bulan, air,
perempuan, dingin, dan symbol kematian; dan yang (jantan) yang bersifat aktif,
gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, panas, dan symbol kehidupan. Interaksi
antara Yin dan Yang ini yang menimbulkan perubahan di alam semesta.
• Sofisme
Disebut juga aliran nama-nama (Ming Chia). Ajaran mereka digunakan untuk
menganalisa dan mengkritik dalam kaitan dalam masalah kebahasaan. Ming Chia
juga
terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi, relativitas, kausalitas,
ruang, dan waktu.
Filsafat Cina; Sejarah Singkat, Tokoh dan Filsafatnya
A. Prolog
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia,
khususnya India ,
Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri
khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Namun,
sebenarnya filsafat timur ini tidak hanya di pandang filsafat agama juga,
tetapi termasuk falsafah hidup.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya
menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi
sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan
filsafat Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh
kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali
berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang
memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada
perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan
filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika
kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai
oleh suatu nasib buta ("Moira"), dan ketika kebudayaan India masih
mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang
terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat
menentukan nasibnya dan tujuannya.
B. Perkembangan Awal Filsafat Cina
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode
Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode
tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur
dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao,
Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat
penyembahan.
Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun
memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi
roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei.
Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek
li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal
sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade[1].
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa
pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang
Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka
sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari
filsafat India
dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris
tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan
perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang
berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan
ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda
negeri. Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan
pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai
memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan
sosial dan moral mereka dengan baik.
Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan
pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang
diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou
sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka
semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan
ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi
pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina.
Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara
keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou
menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya
atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang
bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan
kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di
Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk
menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara
menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara
dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang
menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba
memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan
kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan
pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan
kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari
lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu
dengan penguasa yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan
perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah
yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India , Yunani
dan Islam.
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan
transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi,
termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat
Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming,
waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang
realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari
orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat
mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di
dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi
dan integrasi.
C. CIRI CIRI FILSAFAT CINA
Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah
sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan
mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari.
Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan
dunia.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya
pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India . Manusia
dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi
perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah
keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan
manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian
diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika.
Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam
kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan
sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial,
persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak
dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan
sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan,
persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para
filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan
menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis.
Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi
persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan
praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina
toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang
sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat.
Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan
upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat
hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding
aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam
memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi
berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para
filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar
dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu
sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan
integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran,
teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan
oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang
kokoh[2].
D. Periodisasi Filsafat Cina
Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina,
disini Filsafat Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar :
1. Jaman Klasik (600-200 S.M.)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus
aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga
sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (”jalan”), “te”
(”keutamaan” atau “seni hidup”), “yen” (”perikemanusiaan”), “i” (”keadilan”),
“t’ien” (”surga”) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki
dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik
adalah:
Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup
antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (”jalan” sebagai prinsip utama
dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat
menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan
jalan yang dibutuhkan.
Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (”yen”), yang merupakan
model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan
mereka berbeda.
Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (”guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse
melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan
alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan
objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai.
Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih
etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa
tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”:
“tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta
ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu
bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol
untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak,
bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas.
Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat
Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan
bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang,
dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat
pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak
berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum
tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu
yang tidak berguna, maka jelek.
Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis
istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah
dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani.
Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian
untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan
tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal
seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain.
Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan
tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan
politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar
lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka
berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum
ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta
ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
2. Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru.
Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu
“transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”.
3. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat
terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan
corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan
kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema
sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh
orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
4. Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua
puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat
diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah
pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh
Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama
sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China , yang merupakan filsafat
Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat
Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance,
jaman modern dan masa kini[3].
5. Tokoh Filsafat Cina
1. Confusionisme
Kong Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama
pengembang sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina yang
paling besar filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu
pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah
laku teladan yang sekarang telah menyerap dalam kehidupan dan kebudayaan orang
Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Dari pengaruh pemikiran inilah
Confusianisme banyak menghasilkan para intelektual di Cina, dan pengaruh
intelektualnya ini berpengaruh terhadap sebagian penduduk di dunia.
Filsafat Confusianisme
Confusius atau yang disebut juga Kong Fu Tse. Ia dilahirkan pada tahun 551 SM
di daerah Lu,di Shantung. Raja Wu Wan telah memberikan daerah itu kepada Chou.
Negeri Lu yang aman dan makmur beribu kota
Chufu. Confusius pindah ke Chufu. Pada usia muda yakni 17 tahun, ia diangkat
menjadi pengawas kerajaan, sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung
pangeran, kemudian menjadi Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar.
Pada usia 22 tahun ia mulai mengajar.
Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus mengundurkan
diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan kacau pada
masa itu menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat dihormati,
terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu selama tiga
tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat dari zaman
Wen sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada jalan
yang telah ditempuh oleh yao
dan Shun,yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia belajar lagi dari semua
buku-buku yang ada tentang agama, adat, sastra, sejarah, musik, dan lain-lain.
Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman hidup
bangsa Cina. Setelah habis masa duka citanya ia mengunjungi loyang yang
dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya
tentang sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat
segala hal yang berarti dan diketahuinya dalam tulisan yang berjudul “The Books
of History (Shang Shu), The pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The
Book of Song.
Filsafat Confusianisme dan Pengaruhnya
Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang.
Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang
mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memberikan
dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius menganjurkan agar orang belajar dan mempraktekan apa yang dipelajari
sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang seperti ini beliau
sebut sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus
tatap tenag dalam segala situasi agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
penghidupan dengan rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus
bisa mengatur harta yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan
ini dalam Confusianisme karena para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi
dibandingkan kekayaan.
Itulah sebabnya di Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas
diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan
Jepang yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi ajaran Confusianisme.
Kemudian daripada itu ajaran Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu
sendiri. Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung
tinggi, merupakan jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara
keseluruhan. Selain itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah
motivasi besar bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin agar mampu
memberikan kontribusi bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara
orang lain.
Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika
sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina
tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang
besar dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian
Cina. Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang
Cina, merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi
kehidupan yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan
faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur
dianggap lebih magis dan bersifat irasional. Namun, ajaran Confusianisme yang
termasuk filsafat Cina ini yang sebenarnya bukan aliran agama, tetapi aliran
falsafah hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama,
sehingga mampu memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam
waktu tak kurang dari dua ribu tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu
bersifat rasio (irasional) namun, dari uraian pengaruh confusianisme di atas
terlihat jelas bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional karena
pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300
tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh ajaran
Khonghucu. salah satu diantara mereka adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz,
bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu program pertukaran budaya Timur-Barat,
mungkin usul pertukaran budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional.
dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa sekarang ini filsafat cina tidak
lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa mempengaruhi
perkembangan pemikiran di dunia[4].
2. Taoisme
Filsafat Taoisme
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam
sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi.
Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap
pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara
tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan
antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada
perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas
tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang
melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme,
baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran
Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap
merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu
sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti
„Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki
status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak
pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para
filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi
spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten.
Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia
adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical
immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang.
Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu
tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah
mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang
lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang
Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun
tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang
membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan
– sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat
berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu
untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam
keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara
keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”,
demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan
tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga
sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang
tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai
agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana
seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak
tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui
bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada
jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka
berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk
aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka
agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme.
“Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343),
seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa
dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou
Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa
setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu
kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan
praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat
individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran
yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme
memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar
Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para
pemuka agama Taoisme[5].
Epilog Penutup
Filsafat cina sebagai suatu bagian dari tiga Filsafat yang berpengaruh di dunia
selain Filsafat Barat dan Filsafat India, merupakan suatu Filsafat tersendiri
dengan berbagai metode, corak, kecenderungan dan berbagai kekhususan yang
dimilikinya, bahkan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya yang sangat
nisbi.
Akan tetapi terlepas dari semua itu, Filsafat cina merupakan suatu Filsafat
yang tidak bisa di pandang sebelah mata, karena pada perkembangan dunia timur
seperti Cina dan negara-negara yang terletak tidak jauh darinya, seperti
Jepang, Hongkong, Korea dan negara timur lain pada masa kini, mempunyai corak,
ciri khas dan juga bahkan mulai berpengaruh terhadap bangsa lain, yang pada perkembangan
sejarahnya tidak dapat terlepas dari perkembangan budaya maupun keilmuan dan
kefilsafatan pada masa dahulu.
Cina saat ini merupakan suatu kekuatan yang dipertimbangkan di dunia pada
umumnya. Dalam berbagai aspek kehidupan mulai pendidikan, teknologi, ekonomi,
kekuatan militer sampai pada life style, Cina memiliki ciri dan tren tersendiri
yang tidak secara serta merta mengadopsi dari Barat seutuhnya, akan tetapi Cina
dengan segala yang dimiliki mempunyai kelebihan yang patut kita ambil sisi
positifnya.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.