Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi. Sekitar 75% kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya prematur, 25% sisanya mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi pada wanita dengan antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan antibodi antifosfolipid dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia pada janin, namun biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi dengan lupus neonatus yang lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan jantung, namun hal ini dapat diobati.
3
Pada suatu penelitian
sekitar 6-15% wanita mengalami flare
selama kehamilan. Sebagian besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan
dua bulan setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami remisi selama 6 bulan
beresiko rendah untuk mengalami flare.
Terdapat peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan
baik oleh obat anti-SLE maupun oleh SLE itu sendiri. Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil
dengan SLE. 3
Kehamilan dapat
menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap aktivitas penyakit dan
mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa terdapat eksaserbasi aktivitas penyakit pada
50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau pospartum.9
Pasien dengan lupus nefritis
yang ingin hamil, haruslah dipertimbangkan. Disamping keadaan janin, perlu pula dipertimbangkan terjadinya
eksaserbasi dengan (mungkin permanen) gejala ikutan berupa kerusakan organ
(yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan maternal). Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis berhubungan dengan
meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi pospartum.9
Hipertensi,
proteinuria, dan insufisiensi
ginjal yang baru terjadi pada wanita
hamil dengan lupus dapat menggambarkan
terjadinya lupus nefritis aktif atau pembentukan preeklampsia. Membedakan
antara permulaan SLE dan preeklampsia
adalah sulit. Penelitian Buyon dkk
menemukan bahwa kadar C4
lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia dibandingkan kehamilan normal,
dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C3 dan C4 yang
lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar C3
dan C4 pada kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit tersebut. Satu pasien
dengan SLE yang mengalami preeklampsia
tidak memiliki perubahan pada kadar
komplemennya. Penemuan ini menyebutkan bahwa
pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna untuk membedakan
kejadian preeklampsia dengan flare
penyakit pada pasien SLE. Insiden preeklampsia meningkat pada pasien SLE. 9
Terdapat hubungan yang
jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi antikardiolipin dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini, dan kematian janin berulang.
Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan
vena, serta hipertensi paru. (Khamashta dkk, 1997; Silver dkk, 1994) 6
Penelitian secara histologi dan imunofluoresens terhadap
10 plasenta SLE oleh Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy
pada 5 dari 10 plasenta yang diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE,
dan menemukan bahwa plasenta tersebut
lebih kecil dan lebih ringan
dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat plasenta berhubungan
dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia dan hipokomplemenemia,
tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat lahir. Infark plasenta,
seperti yang ditemukan pada pasien
dengan sindrom antibodi
fosfolipid, sangat jelas berhubungan dengan
pertumbuhan janin mungkin menyebabkan kematian janin, tapi prematuritas
dan bayi kecil masa kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE.
9
Menurut Chamley (1997),
trombosit dapat dirusak langsung oleh
antibodi antifosfolipid, atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan b2-glikoprotein I, yang menyebabkan trombosit mudah beragregasi. Menurut Rand dkk
(1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel endotel atau membran sinsitiotrofoblas
mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi antifosfolipid atau secara tidak
langsung melalui ikatannya dengan b2-glikoprotein I atau annexin V. Hal ini mencegah sel
membran untuk melindungi
sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga
membran basal terbuka. Telah
diketahui bahwa kerusakan trombosit
mengikuti terbukanya membran
basal endotel dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus.
Terdapat mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan
bahwa antibodi antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin E2
oleh desidua. Telah digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas
fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein oleh lupus antikoagulan
(Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula laporan lain mengenai penurunan
aktivitas protein C atau S disertai
sedikit peningkatan aktivitas prothrombin (Ogunyemi dkk, 2001; Zangari dkk,
1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa trombosis dengan sindrom
antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi jalur faktor jaringan.6
- Eritema fasial (butterfly rash)
- Lesi diskoid
- Fotosensitivitas
- Oral ulcers
- Arthritis
- Serositis (pleuritis or perikarditis)
- Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
- Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
- Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000 2="" atau="" lebih="" limfopenia="" nbsp="" o:p="" pada="" pemeriksaan="" trombositopenia="" ul="">4000>
Prenatal care
Obat-obat antirematik dengan kehamilan
Ringkasan
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4
diantara 11 manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) : 7,10
Hingga kini SLE belum
dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala
klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan
demikian dapat memperpanjang remisi dan survival
rate.1
Penatalaksanaan SLE sesuai
dengan gejala yang ditimbulkannya.
Penatalaksanan utama adalah menciptakan suatu lingkungan yang
dapat memberikan “istirahat” pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang
melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi, menghindari
semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat penyakit.1
Karena kesuburan pasien
SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat berhubungan dengan aktivitas penyakit, maka kontrasepsi
merupakan bagian yang penting untuk
penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom
dan diafragma merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif.
9 Penggunaan IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar. 6
Pada gagal ginjal terminal
lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup baik oleh dialisis dan
transplantasi ginjal. 1
Kehamilan harus dihindarkan
jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat pengobatan dengan obat
imunosupresif. 1 Seperti
disebutkan sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan
preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila terjadi
kelainan ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk. Abortus
buatan dapat dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya kehamilan
menunjukkan gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus diakhiri. Dan
kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi ginjal. 11
Penderita SLE dengan
kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya setiap dua minggu pada
trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu pada trimester ketiga. Pada
setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang tanda dan gejala aktifnya SLE.
Darah dan urin sebaiknya diperiksa juga. 12
Meskipun
belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian prednison pada wanita
hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada pengobatan SLE pada
kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang lebih sama
dengan penderita yang tidak hamil. Meskipun telah ditemukan meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang
percobaan, tetapi efek teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga
efek supresi pada ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang
menyebabkan pemberian prednison cukup aman adalah didapatkannya 11-b-oldehidrogenase
pada plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang
tidak aktif, dan hanya 10 % yang aktif
dan dapat mencapai janin. Efek glukokortikoid pada ibu diantaranya adalah
penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism, supresi imun, osteonekrosis,
dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian pemberian glukokortikoid pada kehamilan
juga dapat menyebabkan intoleransi glukosa.
Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan
skrining untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan
retensi air dan natruim yang mungkin menyebabkan hipertensi yang secara tidak
langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. 9,12 Penelitian
terbaru mengatakan pemberian glukokortikoid
hanya diberikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh SLE. 12
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine,
methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada keadaan
tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada Progressive
proliferative glomerulonefritis12
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte kloroquin dan
hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang cukup berat,
dikarenakan ototoksisitasnya. Akan
tetapi banyak bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria
ternyata normal. 12
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat
menyebabkan kelainan yang cukup serius.
Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada
fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu sebelum partus dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial pada
bayi-bayi prematur. Indometasin
dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus. Yang mana bisa
menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah
pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan
menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal. Asetaminophen
dan codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil dengan SLE. 12
Penanganan
obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE terutama setelah umur kehamilan > 20
minggu adalah deteksi hipertensi dan proteinuria. Karena risiko terjadinya
insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan pemeriksaan USG setiap 4 – 6 minggu mulai usia kehamilan 18 -20 minggu. Dilakukan
NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan pengukuran cairan amnion. Juga ibunya
disuruh menghitung gerakan janin setiap hari. USG dan pemeriksaan kesejahteraan
janin harus dilakukan lebih sering bila didapatkan SLE yang aktif, hipertensi,
proteinurin, gangguan pertumbuhan janin, dan bila didapatkan sindroma antifosfolipid. 9,12
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan pemberian
steroid sesegera mungkin. Sebaiknya
pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu hidrokortison 110 mg/IV tiap 8 jam
diberikan pada waktu persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan pemberian steroid yang
menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya insufisiensi adreanal yang
berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8 jam. Kemudian
penanganan neonatus yang adekuat diperlukan setelah persalinan berkaitan dengan
neonatal heart block dan manifestasi SLE lainnya. 12
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui bayinya jika memungkinkan karena
keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih besar dari kerugiannya. Jika
janin lahir dengan berat badan rendah
(BBRL) dan ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara
teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui ASI
patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui
ASI sangat kecil sehingga kami rasa
kekhawatiran tersebut hanya bersifat teoritis 9,12
SLE
adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan dapat menyebabkan kegagalan
multi organ yang cukup menyulitkan untuk
mendiagnosa penyakit ini secara tepat, sehingga diperlukan kombinasi dari manifestasi
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang akurat sangatlah penting
karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas baik pada ibu maupun pada
bayi.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.