Sunday, May 12, 2013

Komplikasi pada kehamilan

Komplikasi pada kehamilan
Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi. Sekitar 75% kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya prematur, 25% sisanya mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi pada wanita dengan antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan antibodi antifosfolipid dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia pada janin, namun biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi dengan lupus neonatus yang lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan biasanya membaik dalam 6 bulan. Jarang terjadi kelainan jantung, namun hal ini dapat diobati. 3
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama kehamilan. Sebagian besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua bulan setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami remisi selama 6 bulan beresiko rendah untuk mengalami flare. Terdapat peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE maupun oleh SLE itu sendiri.  Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan SLE. 3
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap aktivitas penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa  terdapat eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau pospartum.9

Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah dipertimbangkan. Disamping keadaan janin,  perlu pula dipertimbangkan terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin permanen) gejala ikutan berupa kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan maternal). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi pospartum.9
Hipertensi, proteinuria,  dan insufisiensi ginjal  yang baru terjadi pada wanita hamil dengan lupus dapat  menggambarkan terjadinya lupus nefritis aktif atau pembentukan preeklampsia. Membedakan antara  permulaan SLE dan preeklampsia adalah sulit.  Penelitian Buyon dkk menemukan bahwa  kadar C4 lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia dibandingkan kehamilan normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C3 dan C4 yang lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar C3 dan C4 pada kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit tersebut. Satu pasien dengan SLE yang  mengalami preeklampsia tidak memiliki  perubahan pada kadar komplemennya. Penemuan ini menyebutkan bahwa  pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna untuk membedakan kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE. Insiden preeklampsia meningkat pada pasien SLE. 9
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi antikardiolipin  dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini, dan kematian janin berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki  insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru. (Khamashta dkk, 1997; Silver dkk, 1994) 6
Penelitian  secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10 plasenta SLE oleh Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy pada 5 dari 10 plasenta yang diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE, dan menemukan  bahwa plasenta tersebut lebih kecil dan lebih ringan  dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat plasenta berhubungan dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia dan hipokomplemenemia, tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat lahir. Infark plasenta, seperti yang ditemukan pada pasien  dengan sindrom  antibodi fosfolipid, sangat jelas berhubungan dengan  pertumbuhan janin mungkin menyebabkan kematian janin, tapi prematuritas dan bayi kecil masa kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE. 9
Menurut Chamley (1997), trombosit  dapat dirusak langsung oleh antibodi antifosfolipid, atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan b2-glikoprotein I, yang menyebabkan  trombosit mudah beragregasi. Menurut Rand dkk (1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel endotel atau membran sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi antifosfolipid atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan b2-glikoprotein I atau annexin V. Hal ini mencegah sel membran  untuk melindungi sinsitiotrofoblas dan endotel sehingga  membran basal terbuka.  Telah diketahui bahwa kerusakan trombosit  mengikuti  terbukanya membran basal endotel dan sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus. Terdapat mekanisme lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan bahwa antibodi antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin E2 oleh desidua. Telah digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas fibrinolitik akibat penghambatan prekalikrein oleh lupus antikoagulan (Sanfelippo dan Dryna, 1981). Terdapat pula laporan lain mengenai penurunan aktivitas protein C atau S  disertai sedikit peningkatan aktivitas prothrombin (Ogunyemi dkk, 2001; Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa trombosis dengan sindrom antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi jalur faktor jaringan.6

Diagnosis
  • Eritema fasial (butterfly rash)
  • Lesi diskoid
  • Fotosensitivitas
  • Oral ulcers
  • Arthritis
  • Serositis (pleuritis or perikarditis)
  • Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
  • Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
  • Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000 2="" atau="" lebih="" limfopenia="" nbsp="" o:p="" pada="" pemeriksaan="" trombositopenia="" ul="">

  • Gangguan Immunologi (preparat sel  LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
  • Abnormal ANA titer
  • PENATALAKSANAAN / REHABILITASI
    Prenatal care
    Obat-obat antirematik dengan kehamilan
    Ringkasan

    Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism  Association) : 7,10




    Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian dapat memperpanjang remisi dan survival rate.1
    Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang  ditimbulkannya. Penatalaksanan  utama  adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan “istirahat” pada jiwa dan raga,  perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat penyakit.1
    Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat berhubungan dengan  aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan bagian yang  penting untuk penanganan pasien SLE. Tampaknya  kondom dan diafragma merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif. 9 Penggunaan IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko infeksi yang lebih besar. 6
    Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal. 1
    Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif. 1  Seperti disebutkan sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila terjadi kelainan ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk. Abortus buatan dapat dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya kehamilan menunjukkan gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus diakhiri. Dan kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi ginjal. 11

    Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya setiap dua minggu pada trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu pada trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang tanda dan gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya diperiksa juga. 12

                Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian prednison pada wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada pengobatan SLE pada kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang lebih sama dengan penderita yang tidak hamil. Meskipun telah ditemukan meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang percobaan, tetapi efek teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek supresi pada ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan pemberian prednison cukup aman adalah didapatkannya  11-b-oldehidrogenase pada plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang tidak aktif, dan hanya 10 %  yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek glukokortikoid pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism, supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian pemberian glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi glukosa.  Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan retensi air dan natruim yang mungkin menyebabkan hipertensi yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. 9,12 Penelitian terbaru mengatakan pemberian glukokortikoid  hanya diberikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh SLE. 12
    Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine, methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada  Progressive proliferative glomerulonefritis12
    Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte kloroquin dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang cukup berat, dikarenakan ototoksisitasnya.  Akan tetapi banyak bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal. 12
    NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan  dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan  kelainan yang  cukup serius.  Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu sebelum partus dapat menyebabkan  perdarahan intrakranial pada bayi-bayi prematur.  Indometasin dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus. Yang mana bisa menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal. Asetaminophen dan codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil dengan SLE. 12

    Penanganan obstetrik.
    Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE  terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan proteinuria. Karena risiko terjadinya insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan pemeriksaan USG  setiap 4 – 6 minggu  mulai usia kehamilan 18 -20 minggu. Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu  dan pengukuran cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan janin setiap hari. USG dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan lebih sering bila didapatkan SLE yang aktif, hipertensi, proteinurin, gangguan pertumbuhan janin, dan bila didapatkan   sindroma antifosfolipid. 9,12
    SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan pemberian steroid sesegera mungkin.  Sebaiknya pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu hidrokortison 110 mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang  mendapatkan pemberian steroid yang menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya insufisiensi adreanal yang berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8 jam. Kemudian penanganan neonatus yang adekuat diperlukan setelah persalinan berkaitan dengan neonatal heart block dan manifestasi SLE lainnya. 12
    Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk  menyusui bayinya jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih besar dari kerugiannya. Jika janin  lahir dengan berat badan rendah (BBRL) dan ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui ASI patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan melalui ASI  sangat kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya bersifat teoritis 9,12

    SLE adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan dapat menyebabkan kegagalan multi organ yang  cukup menyulitkan untuk mendiagnosa penyakit ini secara tepat, sehingga diperlukan kombinasi dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang akurat sangatlah penting karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas baik pada ibu maupun pada bayi.
    Share :

    0 komentar:

    Post a Comment

    Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

     
    SEO Stats powered by MyPagerank.Net
    My Ping in TotalPing.com