PENYAJIAN DATA, ANALISIS DAN
PEMECAHAN MASALAH
A.
LIMBAH RADIOAKTIF
Gejala keradioaktifan (radioaktifitas) pertama kali
ditemukan secara tidak sengaja oleh Henry Becquerel pada suatu garam uranium.
Selanjutnya Pierre & Marry currie menemukan zat-zat radioaktif lainnya
yaitu polonium dan radium. Zat-zat radioaktif adalah suatu zat yang aktif
memancarkan radiasi baik berupa partikel maupun berupa gekombang
elektromagnetik.
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi
dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio
nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain : tindakan kedokteran
nuklir, radio-immunoassay dan bakteriologis; dapat berbentuk padat, cair atau
gas. Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga
menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah
non medis ini bisa berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan
(berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan;
sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan
lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik
tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat
pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada
(laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut
ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan
mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat
ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH,
mikrobiologik, dan lain-lain.
B.
PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA
Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diatur oleh
Undang-undang Ketenaganukliran, Undang-undang Lingkungan Hidup dan
Undang-undang lainnya yang terkait serta berbagai produk hukum di bawahnya.
Teknologi pengolahan limbah radioaktif yang diadopsi adalah teknologi yang
telah mapan (proven) dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Dalam
pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program
pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga
keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang
ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara
nasional maupun internasional.
·
Minimisasi Limbah
Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah
diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah
masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek
nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu “tidak dibenarkan memanfaatkan suatu
iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima
paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata”. Dengan
menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi
dan kontaminasi serta membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan
pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek
nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya
dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan
pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian
dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.
·
Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif
Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume
dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi,
anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan
kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah
teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan
(evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi)
dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi,
adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya
dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik
lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga
tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun)
bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan.
Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem
disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2)
panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi
yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota
masyarakat.
·
Pembuangan Limbah Radioaktif
Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi
kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan"
(EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya
diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga
tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero release [15]. Pembuangan
efluen Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya
pembuangan efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang
dibuang langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi
di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong,
dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya
dengan sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang
dapat dibuang langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari
unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat
dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah
BME. Pembuangan efluen radioaktif secara langsung, setelah proses
pengolahan/dibersihkan dan setelah peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan
strategi EDS. Dalam pembuangan secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah
peluruhan aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus
berada di bawah BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi
dan selanjutnya melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat
di lingkungan akan sampai pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan
penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota
masyarakat ini harus dibatasi serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi).
Dosis maksimal yang diperkenankan dapat diterima anggota masyarakat dari
pembuangan efluen ke lingkungan dari seluruh jalur perantara yang mungkin
adalah 0,3 mSv per tahun [16]. Dosis pembatas (dose constrain) sebesar 0,3 mSv
memberikan kemungkinan terjadinya efek somatik hanya sebesar 3,3x10-6.
Berdasarkan dosis pembatas ini BME tiap jenis radionuklida yang diizinkan
terdapat dalam efluen dapat dihitung dengan teknik menghitung balik pada metode
prakiraan dosis. BME tiap jenis radioaktif ini harus mendapat izin dan tiap
jenis radionuklida yang terlepaskan ke lingkungan harus dimonitor secara
berkala dan dilaporkan ke Badan Pengawas.BME tiap jenis radioanuklida yang
diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang ke lingkungan untuk
tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode faktor
konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak
reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987. Pembuangan efluen
gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai
dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.
·
Lokasi Disposal
Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal
mengacu pada proses seleksi yang direkomendasikan oleh International Atomic
Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya
faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai
kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah,
tata-guna lahan, distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor
lainnya yang sangat penting adalah penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara
industri nuklir moto "Not In My Backyard" (NYMBY) telah
merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya untuk disposal limbah radioaktif
juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh karena itu perhatian terhadap
faktor-faktor sosial (societal issues) selama pase awal proses pemilihan lokasi
memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan seksama. Isu ini menyebabkan
negara-negara industri nuklir cenderung memilih lokasi (site) nuklir yang telah
ada untuk pembangunan fasilitas disposal. Sebagai contoh diantaranya fasilitas
disposal Drig (United Kingdom), Centre de la Manche (Perancis), Rokkasho
(Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia). P2PLR telah melakukan berbagai penelitian
dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di
S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT.
Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN
Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah,
demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal
eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah
yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan sistem disposal
near-surface dan deep disposal.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.