Wednesday, March 22, 2017

Mengevaluasi Tanaman Teh Dengan Kelapa Sawit

1. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu.Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala.Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.

Hasil evaluasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Rayes (2007), biasanya mencakup beberapa jenis informasi seperti dikemukakan dibawah ini, dimana cakupan masing-masing informasi tersebut tergantung dari skala dan intensitas kajian.
  1. Kaitan fisik, sosial dan ekonomi yang mendasari dilakukannya evaluasi. Hal ini menyangkut data dan asumsi.
  2. Deskripsi tipe penggunaan lahan atau macam utama pengguaan lahan yang relevan dengan daerah survei. Semakin intensif tingkat kajian, semakin detail dan akurat deskripsi tersebut.
  3. Peta, tabel dan bahan-bahan berupa naskah harus memperlihatkan tingkat kesesuaian satuan peta lahan dari masing-masing macam penggunaan lahan yang dinilai, beserta kriteria pencirinya. Masing-masing macam penggunaan lahan dievaluasi secara terpisah.
  4. Semakin detail survei, semakin rinci dan semakin akurat pula spesifikasi tersebut. Pada survei semi-detail kebutuhan akan drainase harus dijelaskan, sedangkan pada survei detail, sifat dan biaya pembuatan saluran drainase harus dikemukakan. 
  5. Analisis ekonomi dan sosial sebagai akibat beragamnya jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan.
  6. Data dan peta dasar yang menjadi pertimbangan dalam evaluasi. Hasilnya terutama klasifikasi kesesuaian lahan, didasarkan pada berbagai informasi yang penting bagi pengguna individu.Informasi-informasi tersebut harus tersedia baik sebagai lampiran dari laporan utama atau sebagai dokumentasi tersendiri.
2.Proses evaluasi lahan dan arahan penggunaannya 

1. Penyusunan Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah (lapisan atas 0-30 cm, dan lapisan bawah 30-50 cm), pH tanah, KTK liat, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan permukaan (singkapan batuan di permukaan tanah). Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim.Data iklim juga dapat diperoleh dari peta iklim yang sudah tersedia, misalnya peta pola curah hujan, peta zona agroklimat atau peta isohyet.Peta-peta iklim tersebut biasanya disajikan dalam skala kecil, sehingga perlu lebih cermat dalam penggunaannya untuk pemetaan atau evaluasi lahan skala yang lebih besar, misalnya skala semi detail (1:25.000-1:50.000). Suhu udara didapatkan dari stasiun pengamat iklim di lokasi yang akan dievaluasi. 

2. Penyusunan Persyaratan Tumbuh Tanaman
Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi, seperti pada Djaenudin et al. (2003).Untuk evaluasi lahan di Kabupaten Aceh Barat beberapa modifikasi sudah dibuat sesuai dengan kondisi lapangan dan referensi lainnya.Modifikasi yang dilakukan di antaranya adalah untuk tanaman cengkeh dan kakao pada tanah gambut dan drainase terhambat digolongkan sebagai tidak sesuai.Demikian pula untuk parameter tekstur tanah untuk tanaman tahunan, tidak hanya lapisan atas yang digunakan tetapi juga kombinasi dengan lapisan bawahnya.

3. Proses Evaluasi Kesesuaian Lahan (Matching)
Setelah data karakteristik lahan tersedia, maka proses selanjutnya adalah evaluasi lahan yang dilakukan dengan cara matching (mencocokan) antara karakteristik lahan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dengan persyaratan tumbuh/penggunaan lahan. Istilah pembandingan (matching) digunakan untuk menguraikan proses dimana persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan dibandingkan dengan kondisi lahan untuk menduga keragaan penggunaan lahan. Pembandingan antara persyaratan pertumbuhan tanaman atau persyaratan dari suatu tipe pengguna lahan (TPL) dan kualitas lahan (SPL) akan menghasilkan kelas kesesuaian lahan beserta faktor pembatasnya. Diantara berbagai TPL tersebut dapat diketahui mana yang lebih sesuai (mana yang paling memberikan keuntungan yang lebih besar) untuk setiap SPL di daerah yang disurvei.Persyaratan penggunaan lahan masing-masing tanaman dapat mengacu pada Sys et al. (1983), Djaenudin et al. (2002).

4. Kesesuaian Lahan Terpilih / Penentuan Arahan Penggunaan Lahan Untuk Tanaman Tahunan
Untuk menyusun arahan penggunaan lahan dari berbagai alternatif komoditas yang sesuai, perlu dipertimbangkan prioritas daerah dan penggunaan lahan aktual. Dalam penyusunan kesesuaian lahan terpilih ini, untuk kelompok tanaman pangan dan sayuran, hanya lahan-lahan yang termasuk kelas Sesuai (kelas S1 dan S2) saja yang dipertimbangkan, sedangkan untuk tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan, selain lahan yang termasuk kelas Sesuai (S1 dan S2), juga ditambah dengan lahan yang termasuk kelas Sesuai Marginal (kelas S3) karena tanaman tahunan lebih diprioritaskan dalam proyek ini. Cara penentuan arahan komoditas unggulan berdasarkan kesesuaian lahan dan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 11. Dalam menyusun arahan ini, lahanlahan yang telah digunakan dan bersifat permanen, misalnya perkebunan dan sawah akan dipertahankan selama kelas kesesuaiannya termasuk sesuai dan tidak membahayakan keadaan lingkungan. Lahan-lahan demikian diarahkan untuk intensifikasi dalam rangka peningkatan produktivitas.Pada lahan yang belum digunakan secara intensif sebagai areal pertanian, misalnya semak/belukar, hutan yang dapat dikonversi atau lahan pertanian terlantar diarahkan sebagai areal ekstensifikasi tanaman yang sesuai (Ritung dan Hidayat, 2003).

3. Menaksir Potensi untuk Pengembangan Pertanian

a. Konsep evaluasi dan kesesuaian lahan
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Menaksir potensi pengembangan pertanian dari hasil evaluasi lahan dapat dikaitkan dengan mencari kesesuaian lahan yang didasarkan pada hasil survei.Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu.Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).

Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala.Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai .

b. Pengembangan Pertanian berdasar Hasil Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan mencakup interpretasi data keadaan fisik lingkungan dan tanah dalam suatu lahan. Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang bersifat tunggal dan ada yang bersifat ganda, karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Karenanya dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau memperbandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Pertanian tidak lepas dari tanah dan lingkungan.Potensi pengembangan pertanian dapat ditinjau berdasar hasil evaluasi kondisi ketersediaan air dan media perakaran (tekstur tanah dan kedalaman zone perakaran tanaman).

Luas lahan pertanian di Indonesia mencapai 70,20 juta ha, terdiri atas sawah 7,9 juta ha, tegalan 14,6 juta ha (BPS 2008). Masing-masing penggunaan lahan tersebut disesuaikan dengan kondisi lahan, baik kondisi iklim mapupun kondisi tanahnya. Dengan demikian, dari hasil evaluasi lahan tersebut dapat digunakan sebagai penentu arah pemilihan komoditas paling sesuai agar didapat hasil yang maksimal. Dalam menyusun arahan ini, lahan-lahan yang telah digunakan dan bersifat permanen, misalnya perkebunan dan sawah akan dipertahankan selama kelas kesesuaiannya termasuk sesuai dan tidak membahayakan keadaan lingkungan. Lahan-lahan demikian diarahkan untuk intensifikasi dalam rangka peningkatan produktivitas.Pada lahan yang belum digunakan secara intensif sebagai areal pertanian, misalnya semak/belukar, hutan yang dapat dikonversi atau lahan pertanian terlantar diarahkan sebagai areal ekstensifikasi tanaman yang sesuai (Ritung dan Hidayat, 2003).

4. Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantara nya:

1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi.Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.

2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.

3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.

4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.

5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.

6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.

7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor

5. Alasan alih Fungsi Lahan Tanaman Teh Ke Tanaman Kelapa Sawit

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman perkebunan Teh menjadi perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun. Penelitian ini menggunakan data primer dengan media kuesioner dan data sekunder kurun waktu (time series) 6 tahun. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square (OLS) pada =1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan teh menurun rata-rata 61,55 Ton/ Ha/Tahun, penyerapan tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 725,67 HOK/Tahun dan produktivitas tenaga kerja perkebunan teh menurun rata-rata 1,09 Ton/Ha/Tahun. Harga teh dan jumlah tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga TBS berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Harga Teh, harga TBS dan jumlah tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi Tanaman Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di PTPN IV Kabupaten Simalungun.
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com