KONDISI UMUM WILAYAH NUSA TENGGARA BARAT
Letak geografis Propinsi NTB
sangat strategis karena berada pada lintas perhubungan Banda Aceh Atambua dan
jalur segitiga pengembangan pariwisata Bali-Komodo-Tanah Toraja. Kondisi letak
geografis ini merupakan peluang besar untuk pengembangan pertanian dan
pariwisata serta sektor lain di daerah ini.
Kondisi iklim yang ada di
Propinsi NTB sangat beragam dari iklim tropika basah (C3) yang ada di sekitar
daerah pegunungan Rinjani Pulau Lombok dan Puncak Ngengas, Uthan Pulau Sumbawa
dengan ciri vegetasi hutan tropika basah, sampai ke kondisi iklim semi ringkai
tropika (tropical semi arid) tipe iklim D3, D4, E3 dan E4 (Oldeman dkk.,
1977) dengan vegetasi hutan iklim kering sampai stepa dan savana serta padang
rumput yang merupakan penciri khas untuk iklim kering semiringkai tropika.
Kondisi geologi wialayah NTB
merupakan formasi tersier terdiri atas formasi batuan volkan tua, batuan
intrusi (granodiorit), dan batuan sedimen (napal, batualiat dan batukapur).
Volkan tua terdiri atas augit andesit, porfirit dan augit-hornblende-andesit.
Formasi ini umumnya dijumpai di bagian selatan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa
memanjang dari barat ke timur.
Kondisi fisiografi dan bentuk
wilayah NTB dibedakan dalam (a) daerah
dataran, (b) volkan, (c) lipatan dan patahan, dan (d) angkatan. Daerah dataran
terdiri atas dataran aluvial, aluvial-koluvial, aluvial-marin dan marin. Bentuk
wilayah umumnya datar. Daerah volkan terdiri atas kerucut volkan yang masih
utuh dan volkan yang sebagian telah tererosi. Daerah lipatan dan patahan
penyebarannya paling luas di bagian selatan dari Pulau Lombok dan Pulau
Sumbawa. Daerah ini dibedakan dalam perbukitan lipatan dan pegunungan lipatan.
Daerah angkatan berupa batukapur/karang yang terangkat membentuk perbukitan,
dijumpai di sebelah utara Pulau Sumbawa bagian barat (Dessaunetes, 1977). Jika
dirinci lebih mendalam sebagian besar wilayah NTB mempunyai topografi
berbukit-bukit hingga bergunung. Berdasarkan bentuk wilayah dan lereng, daerah
ini dapat dibedakan dalam 6 satuan yaitu (1) datar (7,2%), (2) datar-berombak
(10,8%), berombak-bergelombang ((17,6%), dan bergelombang sampai berbukit dan
gunung (63,4%) (Bappeda, 2002).
Kondisi geologi, fisiografi
dan iklim menghasilkan tanah-tanah di propinsi NTB dapat diklasifikasikan
menjadi 6 ordo dan diturunkan menjadi sekitar 10 sub-ordo dan 17 gret-group
yaitu: Entisols (Ustifluvents. Ustipsamments, Tropopsamments, Ustorhents,
Troporthents), Inceptisols (Ustropepts, Tropaquepts, Halaquepts), Mollisols
(Haplustolls), Vertisols (Haplusterts), Andisols (Hapludands dan Haplustands), dan
Alfisols (Haplustalfs, dan Rhodustlafs) (Suwardji dan Priyono, 2004).
Dengan melihat ciri khas
dan keragaman iklim,fisiografi, tanah dan vegetasi yang ada, serta kondisi
sosial ekonomi masyrakakat yang cukup beragam di Propinsi NTB tidaklah
berlebihan jika daerah ini merupakan pewakil
yang reprensentatif untuk lokasi pengkajian dan pengembangan budidaya
pertanian lahan kering semiringkai di Indonesia.
POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM
PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Propinsi NTB mempunyai keunggulan
komparatif berupa potensi wilayah lahan kering yang cukup luas (sekitar 1, 6
juta hektar) dan berpeluang besar dikembangkan untuk sektor kehutanan dan
pertanian dalam airti luas guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Potensi
pengembangan pertanian lahan kering di propinsi NTB yang cukup besar tersebut
dibandingkan dengan pengembangan lahan sawah karena (1) sangat dimungkinkan
pengembangan berbagai macam komoditas pertanian untuk keperluan eksport dengan
luas dan kondisi agroekosistem yang cukup beragam, (2) dimungkinkan
pengembangan pertanian terpadu antara ternak dan taman perkebunan/kehutanan
serta tanaman pangan, (3) membuka peluang kerja yang lebih besar dengan
investasi yang relatif lebih kecil dibandingkan membangun fasilitas irigasi
untuk lahan sawah, dan (4) mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan sebagian
besar penduduk yang saat ini tinggal di lahan kering (Suwardji dkk, 2002).
Walaupun
potensi lahan kering NTB yang cukup besar, lahan kering yang ada memiliki ekosistem
yang rapuh (fragile) dan
mudah terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang
tepat, topografi umumnya berbukit dan bergunung, ketersediaan air tanah yang
terbatas, lapisan olah tanah dangkal, mudah tererosi, teknologi diadopsi dari
teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering, infrastruktur tidak
memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial ekonomi lemah, perhatian
pemerintah sangat kurang dan partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan
lahan kering terutama pihak swasta sangat kurang (Suwardji dan Tejowulan,
2003).
KONSEP
DASAR DALAM MENGEMBANGKAN SISTEM PERTANIAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN DI
PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Pertanian yang berkelanjutan
bukanlah pilihan tetapi suatu keharusan. yang perlu dilakukan jika kita ingin
terus dapat melakukan pembangunan. Kita telah menyaksikan pertambahan penduduk
dunia yang terus meningkat begitu besarnya seperti yang terjadi di Indonesia
dan menyebabkan penurunan sumberdaya alam (SDA) serta kerusakan lingkungan yang
sangat cepat. Beberapa ahli sependapat bahwa kerusakan SDA akan sangat
tergantung pada kesuksesan pertanian dalam menjamin sistim pangan dunia. Hal
ini dipandang sangat penting karena kegagalan dalam menyediakan pangan berarti
bencana dunia yang akan terjadi.
Konsep Sistim Pertanian
Berkelanjutan (SPB) menjadi isue global muncul pada tahun delapan puluhan,
setelah terbukti pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai
penghasil polusi. Pertanian bukan hanya penyebab degradasi lahan, tetapi juga
penyebab degradasi lingkungan diluar daerah pertanian (daerah hilir). Meluasnya
lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan di daerah hilir merupakan bukti
nyata bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan
kualitas sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tantangan bagi kita semua di
masa depan adalah bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia
secara berlanjut tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan
lingkungan (Suwardji dan Tejowulan, 2003).
Walaupun perhatian dunia terhadap
SPB baru muncul tahun delapan puluhan tetapi sebenarnya proses pematangan
konsep tersebut sudah dimulai jauh sebelumnya. Beberapa konsep pertanian klasik
yang menjadi dasar pengembangan konsep SPB antara lain pertanian biodinamik (biodynamic
agriculture) (1924), humus farming (1930-1960), organic farming (1940-an),
dan terakhir muncul alternative agriculture (1988) dan sustainable agriculture
(1987) (Hawood, 1990). Di Indonesia sendiri, pertanian dengan konsep SPB
sebagai teknologi lokal sebanarnya sudah berkembang sejak zaman nenek moyang
dulu antara lain wana tani damar di Krui dan kebun hutan karet di Sumatera,
pertanian kebun di Lombok dan Sumbawa.
Konsep SPB sendiri
diturunkan dari konsep dasar pembangunan berkelanjutan, buku deklarasi
Johanesburg (2002) tentang pembangunan yang berkelanjutan layak untuk
dipedomani yang maknanya adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup manusia
saat ini tanpa mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup generasi yang
akan datang (Deplu, 2002). Artinya, sebagai subsistem, pertanian berkelanjutan
harus mampu memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara
sinergis dengan subsistem pembangunan berkelanjutan lainnya (Baron dan Nielson,
1998; Conway dkk., 1990).
Dalam mengembangkan
pertanian lahan kering yang berkelanjutan di propinsi NTB ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Diantaranya (1) perlunya upaya untuk mengurangi
ketergantungan pada non-renewable energi dan sumberdaya kimia, (2) perlunya
mengurangi kontaminasi bahan pencemar akibat samping kegiatan pertanian pada
udara, air dan lahan, (3) mempertahankan habitat untuk kehidupan fauna yang
memadai, dan (4) dapat mempertahankan sumberdaya genetik untuk tanaman dan
hewan yang diperlukan dalam pertanian. Selain itu pertanian harus mampu
mempertahankan produksinya sepanjang waktu dalam menghadapi tekanan sosial
ekonomi tanpa merusak lingkungan yang
berarti (Sinclair, 1987).
Jika kita ingin
mengembangkan sistem pertanian lahan kering seperti yang diungkapkan di atas
secara ringkas SPLKB adalah “ sistim pertanian lahan kering yang yang mampu
memenuhi kebutuhan kini tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhan mereka (Scope, 1990 diubah). Menurut UU No 12/1992 dalam pasal
2 istilah berkelanjutan sebagai salah satu azas pertanian. Sehingga apapun yang
dikembangkan untuk sistim pertanian di Indonesia termasuk pengembangan
pertanian lahan kering haruslah merujuk asas sistim pertanian yang
berkelanjutan. Di samping asas tersebut dalam UU No 12/1992 adalah asas manfaat
dan lestari.
Dari uraian di atas,
batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung pengertian berkelanjutan pendapatan (berwawasan
agribisnis) dan kelestarian sumberdaya
alam (berwawasan lingkungan). Mengutip Utomo (2001), secara sederhana dapat
dirumuskan bahwa sistim pertanian lahan kering yang berkelanjutan (SPLKB) =
Produksi pertanian (pendapatan) + Konservasi sumberdaya.
ISUE-ISUE STRATEGIS DALAM
PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN DI PROPINSI NUSA
TENGGARA BARAT
Untuk mengembangkan sistem
pertanian lahan kering yang berkelanjutan (SPLKB) perlu diketahui isue-isue
strategis penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Propinsi NTB
serta berbagai kendala yang telah dibahas di atas. Beberapa isue strategis penting dalam
pengembangan pertanian lahan kering di Propinsi NTB adalah:
·
Diperlukan pendekatan terpadu dalam pengembangan
pertanian lahan kering
·
Diperlukan sekenario model pengembangan pertanian lahan
kering yang spesifik lokasi terintegrasi dengan berbagai sektor
·
Diperlukan pendekatan agribisnis
·
Perlunya perubahan kebijakan subsisten menjadi komersial
·
Orientasi produk primer menjadi sekunder
·
Peran masyarakat menjadi lebih besar
·
Meningkatkan daya saing
produk pertanian lahan kering
·
Meningkatkan kesempatan kerja
·
Peningkatan peluang usaha di desa
·
Peningkatan pendapatan petani
·
Peningkatan PAD dan devisa negara
·
Keselarasan pembangunan upland dan lowland untuk
mempertahankan kualitas lingkungan
Dari beberapa isue-isue
strategis dan berbagai kendala dalam pengembangan pertanian lahan kering yang
telah didiskisukan di atas kemudian dapat dissusun kerangka dasar (framework)
dalam pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan.
Secara umum kerangka
dasar penelitian yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya untuk menuju
sistem pertanian yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1. Dari kerangka
tersebut jelaslah bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sistem
pertanian lahan kering yang berkelanjutan sangatlah komplek, sehingga
diperlukan pendekatan sistem (system approach) yang terintegrasi (integrated)
dan secara menyeluruh (comprehensive) untuk mengatasi berbagai aspek
permasalahan tersebut. Untuk itu diperlukan upaya untuk mencari sekenanio model
pengembangan pertanian yang bersifat spesifik lokasi yang merupakan integrasi
dari berbagai macam sektor baik pertanian, peternakan, industri maupun sektor-sektor lainnya.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.