Friday, April 19, 2013

PENGEMBANGAN MODEL PERTANIAN LAHAN KERING


PENGEMBANGAN MODEL PERTANIAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN
Usaha untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan masyarakat tani pada lahan kering  ditentukan oleh tingkat pengelolaan faktor biofisik, sosio-ekonomi, teknologi dan komoditi yang dipilih. Pengendalian dan pengelolaan yang baik terhadap faktor-faktor tersebut di atas akan membawa kita pada suatu kesempatan unntuk memperbaiki usahatani yang ada pada saat ini  (Squires dan Tow, 1991).
Sasaran yang ingin dicapai dalam program peningkatan produksi pertanian lahan kering kedepan adalah kecukupan pangan dan perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta perbaikan lingkungan secara umum. Langkah-langkah kearah itu disusun melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Usaha intensifikasi umumnya sudah berkembang pada lahan yang cukup baik dengan pemilikan lahan yang sempit.
Usaha ekstensifikasi dan diversifikasi kebanyakan dilakukan poda lahan yang kurang baik yang cukup luas dengan kesuburan tanah yang relatif renddah. Keterbatasan modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani, menggiring petani lahan kering pada suatu usahatani campuran sebagai usaha mengurangi resiko kegagalan dibandingkan dengan usahatani monokultur. Pengusahaan tanaman yang diusahakan tanpa mempertimbangkan aspek konservasi sumberdaya dalam banyak hal mengakibatkan bertambah meluasnya areal lahan kritis (Suwardji dan Priyono, 2004).
Model usahatani lahan kering yang ingin dikembangkan hendaknya ditujukan pada peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Pemilihan tanaman dalam pola usahataninya untuk jangka pendek diarahkan pada kecukupaan pangan dan kebutuhan gizi petani serta dalam jangka panjanng ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan pangan dan tanaman tahunan serta pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna menjamin kelestarian lingkungan.
Dua permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian dalam mengembangkan model PLKB adalah (1) bagaimana cara untuk melakukan pengelolaan lahan yang memadai dalam sistim produksi lahan kering sehingga tidak terjadi kerusakan dan (b) sistim produksi yang bagaimana yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa menguras sumberdaya yang ada secara berlebihan (Notohadiprawiro, 1990).
Dengan kondisi biofisik dan  sosial ekonomi yang cukup beragam yang ada di Propinsi NTB, tentu dalam pengelolaan lahan yang diterapkan akan sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh model pengembangan lahan kering yang diterapkan. Menurut Notohadiprawiro (1990) pola pengelolaan lahan dapat dikatakan tepat jika menerapkan teknologi yang memenuhi persaratan sebagai berikut : (1) secara teknik memungkinkan, (2) ramah lingkungan, (3) secara ekonomi layak, (4) diterima secara sosial, (5) secara administrasi dapat dikelola dan (6) secara politik dapat diterima.
Berdasarkan pada kondisi biofisik lingkungan yang dimiliki untuk lahan kering di Propinsi NTB dengan produktivitas lahan yang relatif rendah sampai sedang, sistim produksi pertanian lahan kering yang selama ini dipraktekkan adalah menggunakan masukan tinggi (high input farming) berorientasi tanaman pangan dengan maksud untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Namun sistim produksi semacam ini mulai dipertanyakan keberlanjutannya karena input tinggi dari luar yang tidak berdasarkan tersediaanya sumberdaya lokal yang ada sangat rentan terhadap berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik  dunia. Masalah lain yang penting adalah munculnya berbagai permasalahan lingkungan dan kesehatan masyarakat karena penggunaan berbagai masukan teknologi tinggi seperti bahan-bahan kimia pertanian. Oleh karena itu akhir-akhir ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan teknologi pengelolaan lahan dengan input rendah (low input soil management technology) agar dapat meningkatkan efisiensi input untuk memaksimalkan pendauran hara internal (Seguy dkk, 1991) dengan input yang berbasis sumberdaya lokal dan dengan pengetahuan lokal yang selama ini telah praktekkan oleh para leluhur (indegenous knowledge) (Sanchez dan Salinas, 1981). Tujuan yang ingin dicapai dalam sistim produksi semacam ini adalah (1) meningkatnya hasil pertanian tanpa ketergatungan yang sangat besar terhadap input teknologi yang tinggi (2) peningkatan produktivitas lahan,  keberlanjutan sistim yang dipraktekkan sesuai dengan kondisi petani kecil dan miskin (3) pengenalan teknologi tepat guna untuk maembuka peluang pemanfaatan dan pemasaran teknologi tersebut untuk petani kecil sehingga menghasilkan diversifikasi produk pertanian dengan harga yang tinggi (Notohadiprawiro, 1990).
Model produksi pertanian lahan kering yang dikembangkan haruslah dapat memenuhi kecukupan pangan dan menu masyarakat tani dan mungkin dapat dipenuhi dengan penyusunan suatu pola tumpangsari persisipan antara tanaman pangan, tanaman tahunan dan rumput-rumputan. Sebagai contoh Jagung + padi gogo /ubi kayu/kacang tanah sudah mampu dkembangkan pada lahan kering daerah transmigrasi Sumatera yang bercurah hujan tinggi. Penelitian di Lampung selama 4 tahun menunjukkan bahwa pola introduksi pola ini dapat memberikan kecukupan pangan dan kalori bagi petani. Selain itu dengan pola introduksi dan minimum luas garapan 0,6 hektar, petani dengan 5 (lima) anggota/keluarga sudah dapat keluar dari garis kemiskinan (Utomo, 2001). Namun ada permasalahan mendasar terhadap kontrol pasar produk yang dihasilkan yang masih belum dapat dilakukan dengan baik.
Pola yang sama mungkin tidak dapat dikembangkan di propinsi NTB yang mempunyai curah hujan kurang. Walaupun demikian metode pendekatan yang sama dapat dilakukan dengan penyesuaian terhadap kondisi agroklimatnya. Diperlukan jenis-jenis tanaman berumur pendek dan tahan kekerinngan. Di daerah yang cukup kering seperti kebanyakan yang terdapat di NTB yang mempunyai rata-rata bulan basah kurang dari 4 bulan, pola tanam yang dapat dikembangkan tentu berbeda dengan Sumatera yang bulan basahnya 5-7 bulan.  Dengan kondisi iklim semi ringkai yang relatif kering, kombinasi tanaman pangan, tanaman tahunan dan produksi makanan ternak dengan berbagai tanaman yang secara sosial ekonomi sudah dikembangkan oleh petani di lahan kering dapatlah disyarankan.
Lebih lanjut beberapa model  usaha tani (farming system)  untuk lahan kering telah lama dikembangkan dan diuji coba di beberapa daerah. Dari hasil pengalaman ujicoba lapangan yang telah dilakukan oleh petani dan beberapa penelitian yang terbatas, ada beberapa hal penting dalam praktek  usaha tani lahan kering yang perlu dimasukkan untuk mencapai sistem pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Bebrapa praktek budidaya tersebut adalah: (1) mempertahankan permukaan tanah tertutup dengan vegetasi sepanjang tahun untuk menjaga tanah dari erosi dan meningkatkan ketersediaan air dan menjaga fluktuasi suhu tanah yang sangat tinggi, (2) menaikkan dan atau mempertahankan kesuburan tanah (3) mengembalikan residue tanaman ke dalam tanah untuk mempertahankan kadar bahan organik, (4) penerapan praktek-praktek untuk konservasi tanah dan air, (5) mengurangi input pengolahan tanah sampai pada aras yang tidak merusak secara berelebihan terhadap struktur tanah bagian atas (Suwardji, 2004c), (5) penerapan rotasi tanaman yang dapat mempertahankan produktivitas tanah dan peningkatan hasil tanaman (McCrown dkk., 1990; Nimmo, 1990; Suwardji dkk., 2003a).
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com