PENGEMBANGAN MODEL PERTANIAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN
Usaha untuk meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan masyarakat tani
pada lahan kering ditentukan oleh
tingkat pengelolaan faktor biofisik, sosio-ekonomi, teknologi dan komoditi yang
dipilih. Pengendalian dan pengelolaan yang baik terhadap faktor-faktor tersebut
di atas akan membawa kita pada suatu kesempatan unntuk memperbaiki usahatani
yang ada pada saat ini (Squires dan Tow,
1991).
Sasaran yang ingin
dicapai dalam program peningkatan produksi pertanian lahan kering kedepan
adalah kecukupan pangan dan perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan petani, serta perbaikan lingkungan secara umum. Langkah-langkah
kearah itu disusun melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.
Usaha intensifikasi umumnya sudah berkembang pada lahan yang cukup baik dengan
pemilikan lahan yang sempit.
Usaha
ekstensifikasi dan diversifikasi kebanyakan dilakukan poda lahan yang kurang
baik yang cukup luas dengan kesuburan tanah yang relatif renddah. Keterbatasan
modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani, menggiring petani lahan kering
pada suatu usahatani campuran sebagai usaha mengurangi resiko kegagalan
dibandingkan dengan usahatani monokultur. Pengusahaan tanaman yang diusahakan
tanpa mempertimbangkan aspek konservasi sumberdaya dalam banyak hal mengakibatkan
bertambah meluasnya areal lahan kritis (Suwardji dan Priyono, 2004).
Model usahatani
lahan kering yang ingin dikembangkan hendaknya ditujukan pada peningkatan
produktivitas lahan dan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dalam
jangka panjang. Pemilihan tanaman dalam pola usahataninya untuk jangka pendek
diarahkan pada kecukupaan pangan dan kebutuhan gizi petani serta dalam jangka
panjanng ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan pangan dan tanaman
tahunan serta pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna menjamin kelestarian lingkungan.
Dua permasalahan
penting yang perlu mendapat perhatian dalam mengembangkan model PLKB adalah (1)
bagaimana cara untuk melakukan pengelolaan lahan yang memadai dalam sistim
produksi lahan kering sehingga tidak terjadi kerusakan dan (b) sistim produksi
yang bagaimana yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa menguras
sumberdaya yang ada secara berlebihan (Notohadiprawiro, 1990).
Dengan kondisi
biofisik dan sosial ekonomi yang cukup
beragam yang ada di Propinsi NTB, tentu dalam pengelolaan lahan yang diterapkan
akan sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh model pengembangan lahan
kering yang diterapkan. Menurut Notohadiprawiro (1990) pola pengelolaan lahan
dapat dikatakan tepat jika menerapkan teknologi yang memenuhi persaratan
sebagai berikut : (1) secara teknik memungkinkan, (2) ramah lingkungan, (3)
secara ekonomi layak, (4) diterima secara sosial, (5) secara administrasi dapat
dikelola dan (6) secara politik dapat diterima.
Berdasarkan pada
kondisi biofisik lingkungan yang dimiliki untuk lahan kering di Propinsi NTB
dengan produktivitas lahan yang relatif rendah sampai sedang, sistim produksi
pertanian lahan kering yang selama ini dipraktekkan adalah menggunakan masukan
tinggi (high input farming) berorientasi tanaman pangan dengan maksud
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Namun sistim produksi semacam
ini mulai dipertanyakan keberlanjutannya karena input tinggi dari luar yang
tidak berdasarkan tersediaanya sumberdaya lokal yang ada sangat rentan terhadap
berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik
dunia. Masalah lain yang penting adalah munculnya berbagai permasalahan
lingkungan dan kesehatan masyarakat karena penggunaan berbagai masukan
teknologi tinggi seperti bahan-bahan kimia pertanian. Oleh karena itu
akhir-akhir ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan teknologi
pengelolaan lahan dengan input rendah (low input soil management technology)
agar dapat meningkatkan efisiensi input untuk memaksimalkan pendauran hara
internal (Seguy dkk, 1991) dengan input yang berbasis sumberdaya lokal dan
dengan pengetahuan lokal yang selama ini telah praktekkan oleh para leluhur (indegenous
knowledge) (Sanchez dan Salinas, 1981). Tujuan yang ingin dicapai dalam
sistim produksi semacam ini adalah (1) meningkatnya hasil pertanian tanpa
ketergatungan yang sangat besar terhadap input teknologi yang tinggi (2)
peningkatan produktivitas lahan,
keberlanjutan sistim yang dipraktekkan sesuai dengan kondisi petani
kecil dan miskin (3) pengenalan teknologi tepat guna untuk maembuka peluang
pemanfaatan dan pemasaran teknologi tersebut untuk petani kecil sehingga
menghasilkan diversifikasi produk pertanian dengan harga yang tinggi
(Notohadiprawiro, 1990).
Model produksi
pertanian lahan kering yang dikembangkan haruslah dapat memenuhi kecukupan
pangan dan menu masyarakat tani dan mungkin dapat dipenuhi dengan penyusunan
suatu pola tumpangsari persisipan antara tanaman pangan, tanaman tahunan dan
rumput-rumputan. Sebagai contoh Jagung + padi gogo /ubi kayu/kacang tanah sudah
mampu dkembangkan pada lahan kering daerah transmigrasi Sumatera yang bercurah
hujan tinggi. Penelitian di Lampung selama 4 tahun menunjukkan bahwa pola introduksi
pola ini dapat memberikan kecukupan pangan dan kalori bagi petani. Selain itu
dengan pola introduksi dan minimum luas garapan 0,6 hektar, petani dengan 5
(lima) anggota/keluarga sudah dapat keluar dari garis kemiskinan (Utomo, 2001).
Namun ada permasalahan mendasar terhadap kontrol pasar produk yang dihasilkan
yang masih belum dapat dilakukan dengan baik.
Pola yang sama mungkin
tidak dapat dikembangkan di propinsi NTB yang mempunyai curah hujan kurang.
Walaupun demikian metode pendekatan yang sama dapat dilakukan dengan
penyesuaian terhadap kondisi agroklimatnya. Diperlukan jenis-jenis tanaman
berumur pendek dan tahan kekerinngan. Di daerah yang cukup kering seperti
kebanyakan yang terdapat di NTB yang mempunyai rata-rata bulan basah kurang
dari 4 bulan, pola tanam yang dapat dikembangkan tentu berbeda dengan Sumatera
yang bulan basahnya 5-7 bulan. Dengan
kondisi iklim semi ringkai yang relatif kering, kombinasi tanaman pangan,
tanaman tahunan dan produksi makanan ternak dengan berbagai tanaman yang secara
sosial ekonomi sudah dikembangkan oleh petani di lahan kering dapatlah
disyarankan.
Lebih lanjut beberapa
model usaha tani (farming system) untuk lahan kering telah lama dikembangkan
dan diuji coba di beberapa daerah. Dari hasil pengalaman ujicoba lapangan yang
telah dilakukan oleh petani dan beberapa penelitian yang terbatas, ada beberapa
hal penting dalam praktek usaha tani
lahan kering yang perlu dimasukkan untuk mencapai sistem pertanian lahan kering
yang berkelanjutan. Bebrapa praktek budidaya tersebut adalah: (1)
mempertahankan permukaan tanah tertutup dengan vegetasi sepanjang tahun untuk
menjaga tanah dari erosi dan meningkatkan ketersediaan air dan menjaga
fluktuasi suhu tanah yang sangat tinggi, (2) menaikkan dan atau mempertahankan
kesuburan tanah (3) mengembalikan residue tanaman ke dalam tanah untuk
mempertahankan kadar bahan organik, (4) penerapan praktek-praktek untuk
konservasi tanah dan air, (5) mengurangi input pengolahan tanah sampai pada
aras yang tidak merusak secara berelebihan terhadap struktur tanah bagian atas
(Suwardji, 2004c), (5) penerapan rotasi tanaman yang dapat mempertahankan
produktivitas tanah dan peningkatan hasil tanaman (McCrown dkk., 1990; Nimmo,
1990; Suwardji dkk., 2003a).
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.