ANALISIS GERAK DAN KARAKTER
1. Sejarah Visualisasi Karakter Dalam Tari Jawa Yogyakarta
Satu ciri khas dari tari jawa klasik adalah setiap bentuk tari menggambarkan karakter atau tipe karakter tertentu. Apakah karakter itu pria, wanita, pria halus, pria gagah, pria kasar, kera, raksasa, dan sebagainya. Para seniman pendahulu dalam menciptakan gerak-gerak yang diramu untuk menggambarkan karakter tertentu beserta tingkah lakunya tak lepas dari tingkah laku manusai masa itu serta nilai-nilai budaya yang berlaku pada waktu itu pula. Sebagai contoh wanita Jawa tradisional yang sopan adalah wanita yang tidak banyak ulah, jika berjalan cukup dengan langkah-langkah kecil, tungkai tertutup, lengan tidak boleh diangkat tinggi, dan sebagainya. Hal ini menjadi pedoman dasar bagi para seniman pencipta tari pada masa lampau yang hasilnya masih bias kita lihatpada tari putrid Jawa klasik sampai sekarang. Sebaliknya, pria memiliki ulah yang berbeda, dengan langkah agak lebar, tungkai agak terbuka, lengan terbuka, dan sebagainya.
Desmond Morris dalam bukunya Man Watching: A Field Guide to Human Behavior yang mempelajari tingkah laku manusia dari berbagai bangsa mengamati bahwa tingkah laku manusia dari segala penjuru dunia in ada yang sama, universal, yang sudah dibawa sejak manusi itu lahir. Misalnya menangis, tertawa, heran, kesakitan, dan sebagainya. Selain itu terdapat pula tingkah laku yang berkembang yang dipengaruhi oleh budaya setempat seperti misalnya wanita Jawa tradisional selalu berjalan dengan langkah kecil, tertawa tidak memperlihatkan gigi, duduk dengan tungkai tertutup, dan sebagainya.
a. Gerak Maknawi Insidental
Banyak di antara gerak-gerak maknawi yang kita lakukan yang pada dasarnya bersifat non-sosial dan lebih bersifat pribadi, serta kita lakukan secara insidental, seperti misalnya bersin, garuk-garuk kepala, merentangkan lengan dan menegakkan punggung, menekuk-nekuk leher, melipat tangan karena kedinginan, bertopang dagu, dan sebagainya. Meskipun gerak-gerak itu kita lakukan secara insidental dan tidak kita maksudkan untuk memberitahu kepada orang lain apa yang kita maksudkan, tetapi gerak-gerak itu memiliki makna yang komunikatif. Gerak muka orang yang bersin secara tak sengaja memberi tahu orang lain bahwa ia pilek. Garuk-garuk kepala secara tak sengaja memberi tahu orang lain bahwa ia sedang kusut pikirannya. Merentangkan lengan dan menegakkan punggung akan dengan mudah menyampaikan kesan kepada orang lain bahwa ia agak payah. Menekuk-nekuk leher juga mengirimkan berita tak sengaja bahwa ia agak payah. Melipat lengat di dalam kamar yang ber-AC akan dengan cepat memberi tahu kepada orang lain bahwa ia kedinginan. Dan dalam ceramah bila ada seseorang bertopang dagu akan cepat ditangkap oleh orang lain bahwa ia merasa bosan terhadap ceramah itu.
b. Gerak Maknawi Ekspresif
Manusia seluruh jagad ini memiliki ekspresi lewat muka yang mampu mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Kemampuan wajah manusia untuk mengekspresikan aneka ragam maksud tidak lain karena konstruksi otot wajah memang sangat kompleks. Ekspresi-ekspresi muka itu misalnya: menutup sedikit mata sebelah, mengerutkan mulut, mengerutkan hidung, mengangkat kening, dan sebagainya. Masing-masing gerak itu memiliki arti yang khas.
Tangan juga kadang-kadang sangat ekspresif, terutama waktu kita berbicara. Kalau kita perhatikan dengan cermat, orang yang berbicara akan lebih komunikatif apabila dibarengi oleh gerak-gerak maknawi lewat tangan (manual gesticulations).
c. Gerak Maknawi Mimik
Yang dimaksud dengan gerak maknawi mimik ialah gerak menirukan sesuatu. Ada empat macam gerak maknawi mimik, yaitu mimikri sosial (social mimicry), mimikri teatrikal (theatrical mimicry), mimikri partial (partial mimicry), dan mimikri vakum (vacuum mimicry). Gerak mimikri sosial ialah gerak maknawi yang kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang terkandung dalam hati nurani orang yang bergerak itu. Misalnya saja dalam suasana ramah tamah, kita harus tersenyum dan manggut-manggut walaupun kadang-kadang perasaan nurani kita mendongkol. Maksudnya tidak lain ialah untuk menyenangkan orang lain. Mimikri teatrikal adalah dunianya para aktor, aktris dan penari. Gerak-gerak meniru yang diungkapkan oleh mereka adalah semu, tidak dimaksudkan sungguh-sungguh, tetapi harus seperti sungguh-sungguh. Tujuannya ialah untuk menghibur orang lain, yaitu penonton.
Perbedaan antara mimikri teatrikal yang dilakukan oleh aktor/aktris dan penari ialah, bahwa para aktor/aktris berusaha untuk meniru gerak-gerak serealistis mungkin, sedangkan para penari melakukannya lewat stilis atau distorsi. Mimikri parsial ialah peniruan gerak yang hanya sebagian saja, karena mmang tidak mungkin untuk menirukan secara utuh. Misalnya saja menirukan burung yang sedang terbang, ombak, dan sebagainya. Untuk menirukan burung yang sedang terbang, seseorang cukup melakukannya dengan merentangkan lengannya ke samping seraya menggetar-getarkan kedua tangannya seperti sayap seekor burung yang sedang terbang. Untuk ombak, seseorang menggambarkannya lewat gerak tanan dari kiri ke kanan sambil dialunkan ke atas dan ke bawah ibarat gelombang.
Mimikri vakum ialah jika obyek yang ditiru tidak ada, seperti makan, menembak, merokok, dan sebagainya. Perasaan lapar dan minta makan digambarkan dengan mendekatkan tangan ke mulut sambil seolah-olah memegang makanan dan dibarengi oleh terbukanya mulut. Menembak digambarkan dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ke depan. Minta rokok digambarkan dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ke atas dekat mulus seraya mengerutkan mulut sedikit, dan sebagainya.
d. Gerak Maknawi Skematik
Gerak maknawi skematis adalah ringkasan dari gerak-gerak maknawi mimik. Adapun caranya dengan mengambil satu bagian gerak yang kita anggap penting dan bisa memberikan indikasi keseluruhan. Misalnya saja seekor banteng cukup digambarkan lewat sepasang tanduk yang dilakukan dengan mengangkat dan menempelkan kedua tangan pada kepala seraya mengacungkan kedua jari telunjuk ke depan. Gerak maknawi skematik kadang-kadang masih mudah ditangkap oleh orang yang menyaksikannya. Tetapi bila telah mengalami stilisasi, kadang-kadang hanya dikenal oleh orang dari lingkungan budaya tersebut (seperti yang terdapat pada tari India). Seorang Indian Amerika dalam menggambarkan banteng dengan menggunakan kedua telunjuk tangan kiri dan kanan diletakkan menempel pelipis kiri dan kanan. Penduduk asli Australia lain caranya, meskipun hampir sama. Yang berbeda sekali ialah yang dilakukan oleh seorang penari India. Seorang penari India dalam menggambarkan seekor lembu cukup dengan mengangkat tangan kanan setinggi pinggang, jari telunjuk dan jari kelingking di arahkan ke depan.
e. Gerak Maknawi Simbolis
Gerak maknawi simbolis bukan sekedar menirukan gerak realistis, tetapi gerak itu sudah mengalami abstraksi. Sebagai contohnya, bagaimanakah caranya kita menggambarkan kebodohan dengan gerak. Mungkin kita bisa melakukannya dengan cara menunjuk dengan telunjuk pada pelipis kanan. Tetapi cara ini kemungkinan besar bisa ditangkap sebagai arti yang sebaliknya, yaitu pandai. Mungkin cara ini perlu ditambah dengan menggerakkan telunjuk melingkar ke kiri seperti orang mengendorkan skrup. Bisa pula kita lakukan dengan menepuk-nepuk dahi ditambah dengan ekspresi muka yang sedikit kecut dan sebagainya. Contoh yang lain ialah bagaimana kita memberi tahu kepada orang lain agar diam agak mudah, yaitu dengan menempelkan jari telunjuk ke mulut.
f. Gerak Maknawi Teknik
Gerak ini sangat khas dan ditemukan serta dipelajari oleh orang-orang khusus dan untuk kepentingan khusus pula. Gerak-gerak yang dipakai di studio-studio televisi dan rekaman adalah contoh yang baik. Misalnya saja mengacungkan ibu jari sebagai tanda mulainya rekaman. Menempelkan jari telunjuk kanan pada telapak tangan kiri sebagai tanda rekaman berakhir. Membuat bundaran dengan ibu jari dan jari telunjuk sebagai pemberitahuan bahwa rekaman bagus sekali, dan sebagainya.
g. Gerak Maknawi Kode
Gerak yang berupa kode-kode merupakan bahasa isyarat yang dipergunakan oleh orang-orang tertentu untuk berkomunikasi secara visual. Sekali lagi, gerak-gerak maknawi itu meskipun sering kita jumpai adanya kesamaan antara bangsa satu dengan bangsa yang lain, antara kelompok masyarakat satu dengan yang lain, namun tidak jarang bahwa gerak maknawi yang sama memiliki arti yang berbeda. Beberapa contoh bisa dikemukakan. Pada umumnya bisa kita mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ke depan berarti "menembak"; tetapi gerak yang sama ini menjadi lain artinya apabila dilakukan oleh seorang penari Bali. Gerak yang sama itu di Bali berarti marah. Membuat lingkaran dengan ibu dan jari telunjuk bagi orang-orang Amerika dan Inggris berarti "OK" atau "bagus". Tetapi di Prancis bila gerak itu dibarengi dengan ekspresi wajah yang kecut berarti "nol" atau "tak berharga". Sedangkan di Jepang gerak itu berarti "uang. Gerak maknawi orang Jawa dengan mengacungkan ibu jari berarti "menghormat" atau "bagus sekali", tetapi bagi orang Amerika memiliki arti "mempersilahkan pergi" atau "mau menumpang kendaraan dengan cuma-cuma".
Gerak-gerak maknawi pada umumnya bersifat regional (regional signals), yang berbeda antara satu negara (bangsa) dengan negara yang lain. Namun demikian ada pula yang sama atau hampir sama. Dewasa ini gerak maknawi yang sangat populer ialah gerak lingkaran ibu jari dan jari telunjuk yang berasal dari Amerika untuk "OK".
Orang berbicarapun kebanyakan menggunakan gerak-gerak tangan untuk memberi tekanan ritme pada kata-kata yang diucapkan (baton signals), yang maksudnya untuk memberi tekanan pada maksud dari kata-kata yang diucapkan. Bahkan sering pula orang berbicara lewat telpon walaupun orang yang diajak bicara tidak melihat menggunakan pula gerak-gerak semacam ini. Beberapa contoh yang sering kita jumpai ialah menuding dengan jari telunjuk kepada lawan berbicara yang dilakukan oleh seorang pembicara yang ingin mendominir lawan berbicaranya, seperti misalnya yang kerap dilakukan oleh bekas petinju kelas berat Muhammad Ali. Penggunaan kedua telapan tangan menghadap ke bawah dipergunakan untuk menenangkan lawan berbicara. Penggunaan kedua telapak tangan menengadah mengajak lawan berbicara, dan sebagainya.
Gerak maknawi yang berarti "ya" atau "tidak" tampaknya agak seragam di seluruh jagad ini. pada umumnya gerak menganggukkan kepala berarti "ya"; sedangkan gerak memutar kepala ke samping kiri dan kanan berarti "tidak". Tetapi ternyata ada pula bangsa yang menggunakan gerak yang lain dari yang lazim itu. Di Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Turki, Iran dan Benggala gerak kepala ke samping kiri dan kanan berarti "ya".
Pada dunia tari banyak sekali kita jumpai gerak yang sama sekali tidak bermakna, dan dilakukan semata-mata untuk kepentingan keindahan. Gerak semacam ini lazim disebut gerak murni (pure movement). Dan jika dikaji secara cermat, sebuah komposisi tari kebanyakan merupakan ramuan antara gerak-gerak murni dan gerak-gerak maknawi.
2. Visualisasi Karakter Pada Wayang Wong
Pada tari Jawa Yogyakarta, selain kita jumpai adanya ramuan gerak-gerak murni dan gerak-gerak maknawi, ternyata bahwa seorang penari, baik ia memakai peranan dalam sebuah drama tari maupun tidak, ia pasti menarikan satu karakter atau tipe karakter tertentu. Wayang wong Yogyakarta yang dicipta oleh Sultan Hamengkubuwana I (1755 – 1972) adalah drama tari yang penuh dengan berpuluh-puluh karakter, yang kalau dikelompokkan menjadi tipe-tipe karakter jumlahnya masih tetap cukup banyak, yaitu 21, dengan perincian 9 tipe karakter pokok, dan 12 tipe karakter gubahan. Standarisasi tipe karakter pada tari Yogyakarta melewati perjalanan sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak tari Yogyakarta dicipta oleh Sultan Hamengkubuwana I pada tengah kedua abad ke-18, dan mencapai puncaknya pada jaman Sultan Hamengkubuwana VIII pada dekade keempat abad ke-20.
Visualisasi karakter pada wayang wong dituangkan lewat bentuk ragawi penari, tata busana, dan tata rias, serta gerak.
a. Bentuk Ragawi Penari
Bentuk ragawi penari wayang wong barang tentu berkiblat pada bentuk ragawi manusia Yogyakarta pada masu lampau. Selain itu karena wayang wong adalah perwujudan manusiawi dari wayang kulit, maka meskipun tidak ketat, bentuk ragawi penari wayang wong berkiblat pula pada wayang kulit. Secara garis besar ukuran ragawi penari laki-laki harus lebih besar dan lebih tinggi dari penari wanita. Di samping itu, yang perlu kita perhatikan ialah mengenai konsep pahlawan ideal bagi orang Jawa yaitu Arjuna, yang selalu diwujudkan berukuran tidak tinggi (sekitar 160 cm), agak kurus, dan berwajah cantik. Mengapa orang Jawa dalam menggambarkan ksatira ideal demikian, dan tidak seperti misalnya pahlawan Yunani Hercules atau Ulysses yang tinggi kekar? Carl Gustav Jung mengemukakan bahwa ada perbedaan yang sangat menyolok antara kejiwaan dan cara berfikir antara orang Timur dan orang Barat (Campbell, 1971: 480-494). Orang Timur (Jawa) adalah introvert, yang lebih mementingkan segi batiniah daripada jasmaniah. Sedangkan orang Barat adalah ekstrovert, yang lebih mementingkan segi lahiriah daripaa batiniah. Jung mengatakan, pada umumnya orang Barat percaya bahwa kebenaran hanyalah kenyataan-kenyataan yang bisa dikaji lewat observasi dan pengalaman lahiriah. Maka tak mengherankan bila pahlawan-pahlawan idel seperti Hercules dan Ulysses yang digambarkan dalam wiracirata-wiracarita Barat memiliki tubuh yang tinggi kekar, bergerak cekatan, yang secara lahiriah sudah bisa mengesankan bahwa mereka benar-benar orang kuat. Latihan-latihan keperkasaannya dilakukan lewat latihan-latihan jasmani seperti lari, bergulat, dan barang tentu juga memainkan senjata perang.
Hal ini sangat berbeda dengan ksatria ideal orang Jawa yaitu Arjuna yang digambarkan sebagai figur yang tingginya sedang-sedang saja, badan kecil bahkan mendekati kerempeng, dan ulah tingkahnya pun halus lembut seperti wanita. Tetapi anehnya, Arjuna dikatakan sebagai lelananging jagad (yang paling jantan di dunia), dan memiliki daya tempur yang sangat hebat. Memang ksatria ideal seperti Arjuna juga harus menggembleng kemampuan fisiknya lewat latihan-latihan berat dalam berolah keprajuritan di bawah bimbingan guru besarnya, Durna dan Bisma. Tetapi puncak kehebatan Arjuna justru dicapai setelah ia bertapa/bersamadi di gunung Indrakila seperti yang digambarkan dalam cerita Mintaraga.
Nama Arjuna yang sedang bertapa itu dalam kakawin Arjunawiwaha ialah Sang Wiku Witaraga, "serang wiku yang telah berhasil membuang jauh-jauh nafsu-nafsu manusiawinya" yang dalam ungkapan pedhalangan dikatakan yang telah berhasil. Cara melatih diri yang paling tinggi yang dilakukan oleh ksatira ideal Jawa ini jelas lebih dipusatkan pada latihan batiniah yang berupa pengekangan segala hawa nafsu manusiawinya. Hasilnya memang sangat luar biasa. Bukan saja manusia dan raksasa sakti yang bisa diungguli, bahkan dewa-dewa pun bisa kuwalahan. Tujuh bidadari yang cantik-cantik, yang dalam lakon Mintaraga versi kraton Yogyakarta bernama Supraba, Wilutama, Dresanala, Widasmara, Angganasari, Angganawati dan Warsiki, tak berhasil menggugah nafsu birahi Arjuna Arjuna tetap tak tergerak dari semedinya. Batara Narada sendiri ingin mencoba keampuhan Arjuna dengan cara menyamar sebagai isteri termuda Arjuna yang bernama Gandawati. Dengan rayuan yang merangsang dan untaian kata-kata yang merajuk, Gandawati palsu mengajak Arjuna pulang dan memadu asmara di Madukara.
Arjuna (Begawan Suciptahening Mintaraga) yang tahu siapa sebenarnya yang menyamar sebagai kekasihnya yang bernama Gandawati menjadi agak jengkel. Seraya memegang teguh disiplin semedinya, Arjuna dengan kekuatan batiniahnya membuat Gandawati palsu hamil. Sudah barang tentu Gandawati palsu yaitu Batara Narada menjadi kalang kabut karena perutnya segera menggembung hamil. Dan hanya Batara Guru yang berhasil menghilangkan isi perut Narada. Keampuhan Arjuna yang kedua terbukti ketika Batara Indra yang menyamar sebagai Resi Padya juga terkalahkan dalam adu kepintaran. Ketika Resi Padya menanykan kepada Arjuna tentang apakah semua putera Batara Guru berada di balai penghadapan, dijawab dengan tepat, bahwa semuanya hadir, kecuali satu, yaitu Batara Indra yang sekarang berada di depannya.
Dalam adegan ini jelas Arjuna digambarkan sebagai ksatria yang tahu segalanya, termasuk peristiwa yang terjadi di Junggringsalaka. Bahkan dalam perang tanding melawan Batara Guru yang menyamar sebagai raja pemburu Prabu Kilatawarna, Arjuna hampir saja dapat menghancurkannya. Untung, sebelum peristiwa ngeri itu terjadi, Prabu Kilatawarna kembali berubah menjadi Batara Guru. Dan sebagai hasil dari samadinya, selain Arjuna menjadi ksatria yang tangguh dan tak terkalahkan, ia mendapat hadiah dari Batara Guru tiga macam, yaitu senjata sakti Pasupati yang mampu membunuh raja raksasa Niwatakawaca, bidadari tercantik Supraba, dan janji kemenangan Pandawa dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun.
Itulah gambaran ksatria idel orang Jawa, yang puncak kesaktiannya hanya bisa dicapai lewat samadi yang merupakan latihan batiniah, dan bukan cuma latihan-latihan jasmaniah. Hal ini berbeda sekali dengan cara penggambaran ksatria idel orang Barat yang berperawakan tinggi kekar dan bergerak serba cepat dan kuat.
b. Visualisasi Karakter Lewat Tata Busana
Lewat sebuah studi perbandingan antara relief candi-candi di Jawa Timur seperti canti Panataran (Ramayana dan Krsnayana), candi Jago (Parthayajna), candi Tigawangi (Sudamala), Surawana (Arjunawiwaha), dan candi Kedaton (Bhomakawya), dengan wayang ramayana (Bali), wayang purwa (Bali), wayang wong ramayana (Bali), wayang wong purwa (Bali), serta dengan wayang kulit purwa dan wayang wong (Yogayakarta), memang kelihatan jelas sekali bahwa antara ketiga bentuk seni itu (relief, wayang kulit, dan wayan orang) terdapat hubungan yang sangat erat. Atau bahkan dapat kita katakan bahwa ketiganya merupakan tiga wujud seni yang sama-sama membawakan wiracarita Ramayana dan Mahabarat. J. Kats dalam bukunya Het Javaansche Toneel: Wayang Poerwa yang terdiri dari dua jilid dan dilengkapi dengan 37 gambar berwarna, berpuluh-puluh sketsa, dan potret relief Ramayana yang terpahat di candi Prambanan dan candi Panataran secara lengkap, mampu menggelitik kita untuk membandingkan wayang kulit purwa dengan relief Ramayana dari kedua candi tersebut.
W.F. Stutterheim dalam karyanya Rama-Legenden und Rama Reliefs in Indonesia yang terdiri dari dua jilid, secara spintas pula mencoba membandingkan relief Ramayana di Jawa dengan wayang ramayana Bali dan wayang kulit purwa Memang dari buku-buku kedua sarjana kawakan Belanda yang sangat terkenal itu kita mendapat kesan bahwa pasti ada hubungan, atau lebih tepatnya ada persamaan dan perbedaan antara ketiga wujud seni yang sama-sama membawakan ceritera-ceritera dari Ramayana dan Mahabarata itu. Tetapi bila kita ingin mengetahui di mana persamaannya, dan di mana perbedaannya, ternyata kita dituntut untuk mengadakan studi tersendiri secara cermat. Sebab ternyata seniman-seniman pahat patung, seniman-seniman pahat kulit, dan seniman-seniman tari memiliki daya dan cara interpretasi sendiri-sendiri. Kelainan interpretasi itu bukan hanya disebabkan oleh berbedanya media berekspresi, tetapi juga karena perbedaan lingkungan dan jaman pula.
Untuk melihat adanya kesinambungan dan perubahan dari tradisi masa lampu itu, saya akan memberikan contoh beberapa bagian tata busana yang merupakan atribut penting bagi para raja, ksatria, dan dewa. Ada tiga atribut tata busana yang ingin saya kemukakan, yaitu apa yang sekarang kita sebut garudha mungkur (di Yogyakarta lazim disebut bledhegan atau gelapan), mekutha (tropong), dan praba (Soedarsono, 1983: 330 – 349).
1. Garudha Mungkur
Bagian tata busana yang disebut garudha mungkur, "burung garuda yang menghadap ke belakang", memiliki usia yang sangat tua, yang telah kita jumpai pada relief candi-candi di Jawa Timur seperti Panataran, Jago, Surawana, dan Kedaton. Pada relief Ramayana di Candi Panataran hiasan kepala yang saya sebut garudha mungkur itu hanya dipakai oleh Rama dan Sugriwa; pada relief Parthayajna di candi Joglo dipakai oleh para Pandawa kecuali Yudistira; pada relief Arjunawiwaha di candi Surawana dipakai oleh Batara Indra; dan ada relief Bhomakawya di candi Kedaton dipakai oleh Samba.
Dari kenyataan tersebut di atas jelas bahwa garudha mungkur merupakan atribut tata busana untuk memvisualisasikan raja dan ksatria yang baik. Adapun Yudhistira tidak memakai atribut garudha mungkur kemungkinan besar dimaksudkan oleh seniman penciptanya sebagai ungkapan penggambaran tokoh Yudistira yang sangat sederhana, tanpa pamrih, dan sangat lugu. Namun demikian ternyata bahwa atribut tata busana pada jaman Jawa Timur (abad ke-10 sampai ke-16) yang memiliki makna simbolis tertentu itu, pada masa-masa sesudahnya mengalami pergeseran interpretasi. Pada wayang kulit dan wayang wong Jawa serta wayang kulit Bali garudha mungkur kehilangan fungsinya sebagai atribut, dan berubah menjadi hiasan biasa yang dipakai hampir oleh semua karakter pewayangan, kecuali para Pandawa, Rama, Laksmana, Hanuman, dan beberapa lainnya.
Garudha mungkur berubah maknanya, yaitu sebagai hiasan kepala yang memiliki kekuatan melindungi yang dipakai oleh baik tokoh-tokoh yang baik maupun oleh tokoh-tokoh yang jahat dan serakah. Dengan demikian jelas bahwa garudha mungkur yang pada jaman Jawa Timur sudah dipergunakan oleh para seniman pahat sebagai atribut tata busana, sekarang hiasan kepala itu masih tetap dipakai oleh seniman pahat wayang dan seniman perancang tata busana wayang wong, tetapi mengalami perbedaan interpretasi. Di Yogyakarta hiasan ini lebih lazim disebut bledhegan atau gelapan.
2. Mekutha/tropong dan praba
Mekutha atau tropong adalah penutup kepala yang pada jaman Jawa Timur juga telah ada. Dari relief Ramayana di candi Panataran kita jumpai bahwa tropong hanya dipakai oleh Rawana. Dari kenyataan ini jelas bahwa tropong paa jaman Jawa Timur merupakan atribut tata busana bagi raja yang jahat saja. Seperti halnya garudha mungkur, tropong tetap merupakan penutup kepala yang lazm dipakai oleh raja pda masa sesudahnya, tetapi di Jawa Tengah (juga di Bali) mengalami perubahan interpretasi. Tropong sekarang tetap merupakan atribut kerajaan, tetapi bukan hanya bagi raja lalim seperti Rawana saja, melainkan juga bagi raja-raja yang baik seperti Kresna, Rama, dan sebagainya. Sekali lagi tropong yang pada jaman Jawa Timur sudah ada, sekarang atribut kerajaanitu mengalami pelebaran interpretasi.
Praba juga merupakan atribut kebesaran dan juga memiliki sejarah yang cukup panjang di Jawa. Pada jaman Mataram Kuno (abad ke-8 sampai ke-10) praba atau aureole dipakai oleh Budha, Bodhisattwa, dewa, raja, dan ksatria yang baik. Pada jaman Jawa Timur atribut ini masih dipakai dengan makna yang sama seperti di jaman Mataram Kuno Jawa Tengah, tetapi penggunaannya lebih terbatas. Pada jaman Jawa Timur relief-relief yang menggambarkan ceritera tidak terpadat praba.
Dalam perkembangan yang lebih lanjut sampai sekarang, praba mengalami pelebaran makna. Jika sampai jaman Jawa Timur praba selalu dipergunakan sebagai atribut kebesaran yang hanya dipakai oleh tokoh-tokoh yang baik, pada perkembangan selanjutnya, baik di Jawa maupun di Bali, praba tetap berfungsi sebagai atribut kebesaran, tetapi dipakai pula oleh tokoh-tokoh raja atau ksatria yang baik. Dalam tatanan wayang wong Yogyakarta kita lihat praba dipakai oleh tokoh-tokoh baik seperti para dewa, raja, Kresna, Gatutkaca, Rama dan juga dipakai oleh tokoh-tokoh dengki dan serakah seperti Duryodana, Rawana, Kumbakarna, dan sebagainya. Begitulah beberapa contoh cara seniman-seniman besar kita masa lampau dalam memvisualisasikan tipe karakter lewat tata busana.
c. Visualisasi Karakter Lewat Gerak
Sewaktu kita melihat wayang kulit dan penari-penari wayang wong Yogyakarta, dari bentuk ragawi dan tata busananya saja kita sudah bisa mengetahui karakter-karakter yang ditampilkan. Sudah barang tentu visualisasi karakter lewat bentuk ragawi dan tata busana tersebut belum menampilkan perwujudan yang utuh dari karakter. Itu baru bisa utuh apabila ditambah dengan visualisasi tingkah lakunya.
Proses visualisasi karakter pada tari Jawa Yogyakarta melewati sejarah yang cukup panjang, dari yang masih sangat sederhana sampai kepada yang sagat kompleks yang terjadi pada jaman Sultan Hamengkubuwana VIII. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, maka kita hanya dapat menduganya dengan jalan membandingkannya dengan berita yang terdapat dalam Natyasastra India. Secara garis besar kita hanya bisa mengatakan bahwa masa itu rupanya ada dua tipe karakter yang dipergunakan dalam wayang wong yaitu tandava (keras dan gagah) dan tipe karakter lasya (halus dan lembut). Tipe karakter tandava yang menggunakan posisi tungkai dan lengan terbuka kemungkinan besar dipergunakan baik oleh karakter pria maupun wanita, sedangkan tipe karakter lasya menggunakan posisi tungkai dan lengan tertutup dan hanya untuk karakter wanita.
Sudah barang tentu perkembangan yang kompleks itu berpijak pula pada tingkah laku manusia Jawa Yogyakarta paa abad ke-20, dan juga karena adanya kebutuhan sekian banyak karakter yang terdpat dalam cerita Mahabarata dan Ramayana. Karena pengaruh kehidupan sosial budaya Jawa yang mengharuskan wanita tradisional tak banyak tingka, maka rumusan gerak yang dihasilkan oleh seniman-seniman besar di kraton Yogyakarta lebih terpusat pada karakter-karakter pria. Hasilnya, dari 21 tipe karakter yang terdapat pada wayang wong Yogyakarta, hanya satu yang khusus untuk karakter wanita. Adapun tipe-tipe karakter yang 21 itu, 9 merupakan tipe karakter pokok (joged pokok), dan yang 12 merupakan tipe karakter gubahan (joged gubahan), yang merupakan variasi dari tipe karakter pokok.
Le Meri pernah mengkaji gerak-gerak tari dari segi sentuhan emosionalnya terhadap penonton, dengan perkataan lain mengadakan pengamatan terhadap watak dari gerak. Pengamatan Le Meri ini apabila dikawinkan dengan studi Desmond Morris yang sangat cermat terhadap tingkah laku manusia di jagad ini hasilnya sangat cocok untuk mengkaji, apakah visualisasi karkater pada wayang wong Yogyakarta sudah kena. Ternyata bahwa cara seniman-seniman kraton Yogyakarta dalam meramu dan mencipta gerak untuk tipe-tipe karakter dalam wayang wong sangat tepat.
1. Ngenceng encot
Pola gerak ini merupakan pola gerak pokok untuk tipe karakter puteri. Adapun ciri-ciri gerakya ialah : tungkai tertutup, hampir tak pernah mengangkat kaki kecuali kalau sedang berjalan, langkah kecil-kecil, lengan hampir tertutup, dan geraknya lambat serta lembut. Ciri kewanitaan yang menggunakan posisi tungkai dan lengat tertutup merupakan ciri yang khas bagi wanita, dan ciri ini sangat umum di seluruh dunia meskipun berbeda-beda kualitasnya (lihat Morris, 1977: 18).
2. Impur
Pola gerak impur dipergunakan untuk tari putera halus dan rendah hati serta tak banyak tingkah. Adapun ciri-cirinya ialah : tungkai terbuka, angkatan kaki rendah, langkah sedang, lengan agak terbuka dengan desain simetris, gerak lambat dan lembut. Dengan melihat tungkai dan lengah yang terbuka saja sudah bisa memberikan kesan sifat kejantanannya (bandingkan dengan Moris, 1977: 18). Adapun gerak-gerak yang menandai ciri kehalusannya bisa kita lihat pada angkatan kaki yang rendah, langkah yang sedang, serta kualitas geraknya yang lambat serta lembut. Sedangkan ciri kesederhanaannya tetapi kokoh bisa kita lihat pada garis lengannya yang kebanyakan menggunakan desain simetris. Ramuan gerak pada impur ini memang cocok sekali untuk memvisualisasikan tipe karakter halus dan rendah hati seperti Arjuna.
3. Kagok kinantang
Pola gerak kagok kinantang dipergunakan untuk tari putera halus tetapi dinamis, dan kadang-kadang agresif. Ciri-ciri tungkai, angkatan kaki dan langkah hampir sama dengan tipe karakter impur. Adapun ciri kedinamisannya bisa kita lihat pada desain lengan yang asimetris dan kualitas geraknya yang kadang-kadang bertekanan serta banyak menggunakan banyak gerak kepala. Ramuan gerak kagok kinantang ini cocok sekali untuk menggambarkan tipe karakter halus tetapi dinams seperti Karna dan Wibisana.
4. Kambeng
Para gerak kambeng dipergunakan untuk tari putera gagah, jujru dan polos, serta kadang-kadang rendah hati seperti Bima, Gatutkaca dan Antareja. Adapun ciri-cirinya : tungkai terbuka lebar, angkatan kaki tinggi, lengan terbuka, lebar dengan desain simetris, serta bergerak cepat. Dari tungkai dan lengan yang terbuka lebar, angkatan kaki yang tinggi dan langkah yang lebar sudah bisa memberikan kesan kepada kita tentang kegagahannya. Sifat kejujruan, kepolosan serta kerendahan hatinya bisa kita lihat pada desain lengannya yang kebanyakan simetris.
5. Kalang kinantang
Pola gerak kalang kinantang dipergunakan untuk tari putera gagah dan agresif. Ciri-ciri tungkai dan lengan, angkatan kaki dan langkah hampir sama dengan kambeng. Adapun sifat agresifnya dapat kita lihat pada desain lengan yang asimetris dan kualitas geraknya yang banyak tekanan. Kalang kinantang sangat cocok untuk tipe-tipe karakter seperti Rawana, Baladewa dan sebagainya.
6. Kagok impur
Pola gerak kagok impur merupakan perpaduan antara pola gerak untuk tipe karakter gagah dan tipe karakter halus (impur). Memang, kalau hanya melihat geraknya saja, Duryudana dan Udawa menggunakan pola gerak kagok impur memberi kesan gagah tetapi agak halus.
7. Bapang
Pola gerak bapang bercri : tungkai terbuka lebar, angkatan kaki tinggi, langkah lebar, lengan terbuka lebar dan desain asimetris. Dari ciri-ciri tersebut jelas bahwa bapang cocok untuk tipe karakter gagah dan agresif. Tambahan lagi karena kualitas gerak bapang yang patah-patah (staccato) dan bertekanan keras, maka pola gerak ini cocok sekali untuk tipe karakter gagah, agresif dan kasar seperti Burisrawa dan Dursasana.
8. Lembehan kentrig
Pola gerak lembehan kentrig menggunakan tungkai terbuka, angkatan kaki sedang, lengan terbuka sedang, danbanyak menggunakan gerak melengkung dan berjingkat-jinkat (kentrig). Pada wayang wong Yogyakarta pola gerak ini hanya dipergunakan untuk tipe karakter cantrik (murid sebuah padepokan) yang ulah tingkahnya agak lucu (gecul).
9. Merak ngigel
Secara harfiah merak ngigel berarti "merak menari". Pola gerak ini dipergunakan oleh para panakawan yang ulah tingkahnya lucu bagaikan burung merak yang sedang menari-nari.
Ke 12 tipe karakter gubahan merupakan variasi dari tipe-tipe karakter pokok, dan dipergunakan oleh para dewa, raksasa, dan kera yang memiliki citra hampir seperti karakter-karakter pokok. Impur ukel asta memiliki ciri gerak seperti impur, tetapi ditambah dengan gerak memutar tangan (ukel asta). Pola gerak ini khusus untuk Batara Wisnu dan Batara Komajaya yang halus dan lembut. Pola gerak yang juga berdasarkan impur dan khusus dipergunakan bagi karakter Batara Guru disebut impur ukel asta encot. Letak kelainannya dengan impur ukel asta terletak adanya tambahan gerak merendah dengan tekanan lunak (encot). Batara Guru juga merupakan karakter yang halus, lembut dan rendah hati.
Tipe karakter gubahan yang berdasarkan pada kagok kinantang ialah kagok kinantang usap rawis. Seperti tipe karakter kagok kinantang yang halus tapi aktif dan dinamis, kagok kinantang usap rawis juga dipergunakan bagi dewa halus dan dinamis seperti Batara Indra. Adapun perbedaannya terletak pada adanya tambahan gerak mengusap kumis (usap rawis).
Dewa gagah tetapi tak banyak tingkah seperti Batara Bayu menggunakan pola gerak kambeng usap rawis. Perbedaannya dengan tipe karakter kambeng, tipe karakter gubahan ini memiliki gerak khas mengusap kumis (usap rawis). Sedangkan untuk dewa gagah dan dinamis dipergunakan pola gerak kalang kinantang usap rawis. Dasar gerakannya sama dengan kalang kinantang, tetapi dewa-dewa seperti Batara Brama, Batara Sambu dan Batara Basuki emnggunakan gerak tambahan mengusap kumis (usap rawisi).
Ada lima tipe karakter gubahan yang merupakan variasi dari tipe karakter pokok bapang yang gagah tetapi kasar, yaitu : bapang ukel asta, bapang skar suhun dhengklik, bapang dhengklik keplok atas, bapang dhengklik keplok asta usap rawis, dan bapang kentrog. Bapang ukel asta adalah tipe karakter bapang yang disisipi dengan gerak memutar tangan (ukel asta), dan dipergunakan oleh Batara Narada. Bapang sekar suhun dhengklik adalah tipe karakter bapang yang geraknya diramu dengan pola lengan sekar suhun dan gerak kaki mendhengklik. Tipe ini untuk raja dan pangeran raksasa yang gagah, kasar dan agresif seperti Niwatakawaca dan Kumbakarna. Bapang dhengklik keplok asta adalahtipe karakter bapang yang digubah dengan tambahan gerak kaki yang mendhengklik dan gerak bertepuk tangan (keplok asta). Pola gerak semacam ini digupergunakan oleh raksasa-raksasa gagak dan kasar seperti Cakil dan Pragalba. Bapang dhengklik keplok asta usap rawis mirip dengan bapang dhengklik keplok asta, hanya ada gerak tambahan yang khas yaitu mengusap kumis (usap rawis). Tipe karakter gubahan ini ialah para balatentara jin yang gagah, galak, dan kasar. Sedangkan bapang kentrog adalah pola gerak gubahan yang berdasar pada bapang pula, tetapi diramu dengan gerak kaki meloncat-loncat di tempat (kentrog), dan khusus untuk karakter prajurit Bugis yang gagah dan galak.
Ksatria kera dalam cerita Ramayana juga mendapat penggarapan gerak yang berpijak pada karakter manusia. Kera memiliki gerak yang lebih lincah; dan secara garis besar ada dua tipe karakter gubahan bagi kera, yaitu kambeng dhengklik berdasarkan pada tipe karakter kambeng, tetapi ada tambahan gerak kaki mendhengklik. Pola gerak ini khusus untuk karakter kera yang gagah, tenang, tetapi cukup lincah seperti Hanuman. Kinantang dhengklik yang berdasar pada tipe karakter kinantang dengan tambahan kaki mendhengklik digunakan untuk kera yang gagah dan dinamis seperti Sugriwa, Subali dan Hanggada.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.