Monday, May 13, 2013

ANALISIS STRUKTUR

ANALISIS STRUKTUR
Konsep estetis pembentukan karya seni tari di lingkungan masyarakat Jawa dikenal konsep Joged Mataram dan Hasta Sawanda. Pengamatan tari melalui sisi teknik tari tidak terlepas dari teknik tari sebagai wadah dan Joged Mataram sebagai isinya. Filsafat Joged Mataram apabila diterapkan dalam seni tari akan mengarah pada keseimbangan lahir batin. Ilmu Joged Mataram terdiri dari 4 unsur yaitu:
  1. Sewiji, berarti konstrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa.
  2. Greged, dinamika atau semangat yang terkontrol untuk disalurkan ke arah yang wajar dan tidak memberi kesan kasar.
  3. Sengguh, berarti percaya diri tetapi tidak sombong.
  4. Ora mingkuh, berarti tidak kecil hati, tidak takut menghadapi kesulitan, dan mengandung arti penuh tanggung jawab.
 Hasta Sawanda merupakan norma atau aturan  pada tari Surakarta yang patut ditaati penari untuk meningkatkan kemampuan teknik tari sehingga mencapai kategori penari yang baik. Hasta Sawanda terdiri dari:
  1. Pacak, yaitu patokan baku yang meliputi sikap dan gerak dari seluruh anggota badan.
  2.  Pancat, yaitu proses perpindahan gerak yang satu ke gerak selanjutnya sehingga rangkaian gerak berkesinambungan dalam satu irama gerak tari.
  3. Ulat,polatan atau pandangan dalam ragam gerak tertentuyang mengarah pada ekspresi atau perwatakan.
  4. Lulut, artinya penguasaan gerak telah menyatu dengan penari.
  5. Wilet, artinya kemampuan penari dalam memberi variasi gerak yang dibuat penari tanpa meninggalkan patokan yang ada, wilwe yang ajeg bisa mengarah pada gaya pribadi.
  6. Luwes, artinya seorang penari harus luwes menurut kriteria gerakan tari yang dimaksud.
  7. Wirama,artinya penguasaan dan pemahan irama, hitungan dalam gerak tari, tempo, sehingga penari dapat mengatur dirinya dalam menari.
  8. Gending, artinya pemahaman terhadap gending, artinya penari mengerti jenis, nama, watak gending,sehingga penari mampu mengekspresikan gerak dan jiwanya yang disesuaikan dengan gendingnya.
Isi yang terkandung dalam  Joged Mataram dan  Hasta Sawanda  dapat diterapkan sebagai norma pada tari klasik maupun tari yang lainnya. Berdasarkan  pada norma tersebut akan mempermudah dalam melakukan analisis struktur tari, khususnya tari Jawa klasik.  Unsur-unsur yang terkandung dalam Joged Mataram maupun Hasta Sawanda merupakan karakteristik penciptaan tari klasik gaya Yogyakarta maupun Surakarta.

  1. Deskripsi Bentuk dan Struktur
Bentuk adalah  suatu ujud yang terdiri dari susunan atau struktur yang saling berkaitan sesuai dengan fungsinya dan tidak terpisahkan dalam satu kesatuan yang utuh. Bentuk berhubungan dengan struktur yang mengatur tata hubungan antara karakteristik gerak satu dengan yang lain baik secara garis besar maupun secara terperinci. (Ben Suharto, 1983: 6). Menurut Sussane Langer dalam buku Problem of Art menyatakan “Form in its mast abstract sence mens structure, articulation, a whole resulting from the relation of mutually dependent factors or more practisely the way that whole is put together” artinya bentuk dalam pengertiannya yang paling abstrak berarti struktur yaitu sebuah ucapan atau pernyataan suatu hasil keseluruhan dari tata hubungan yang faktor-faktor yang saling tergantung, secara lebih tepatnya suatau cara bagaimana secara keseluruhan itu di tata letakan bersama. Struktur merupakan sebuah proses yang memungkinkan prodak itu terwujud. Struktur yang terbentuk dalam satu jaringan satu sama lain saling memberi fungsi satu dengan yang lain. Radcliffe Brown menyatakan struktur sebagai seperangkat tata hubungan di dalam kesatuan keseluruhan (Royce, 1980, dikutip Ben Suharto, 1987: 1)

  1. Sejarah Analisis Struktur
Para sarjana tari telah melakukan penganalisaan tari melalui pendekatan sruktural, yaitu pendekatan yang berkembang pertamanya sebagai bidang studi bahasa. Pendekatan itu dalam bidang studi bahasa disebut dengan istilah linguistik atau ilmu tata bahasa. Radclife Brown menjelaskan pengertian srtuktur dengan analogi organik. Brown menyatakan bahwa organ seekor binatang terdiri dari sebuah cahaya sel dan celah zat cair yang saling berhubungan, sehingga keduanya tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah kumpulan saja, melainkan sebuah satu sistem integrasi molekul yang rumit atau kompleks. Sistem tatahubungan di mana unit-unit dihubungkan adalah merupakan struktur organik. Istilah organik yang dimaksud di sini adalah kumpulan unit-unit yang ditata dalam sebuah struktur, yaitu dalam seperangkat tatahubungan, orginisme mempunyai struktur.  Menurut Radcliffe Brown srtuktur sebagai seperangkat tatahubungan di dalam kesatuan keseluruhan (Royce, 1980, dikutip Ben Suharto, 1987: 1).
Penelitian tari yang menggunakan padanan bahasa sebagai pendekatan dapat dirangkum dalam dua metodologi , yaitu: 1). Terminologi universal elemen dasar gerak tari, dan 2). Aturan gramatikal universal gerak tari. Kedua metodologi ini dianggap dapat diterapkan sebagai pendekatan untuk segala bentuk tari dari berbagai lingkup budaya (Choy 1981, dikutip Ben Suharto, 1987: 1)
Contoh penerapan metodologi yang pertama yaitu tulisan Kaeppler dalam menganalisa tari Tongan. Analisanya menitik beratkan pada dua tataran atau unit dasar yaitu dalam kategori linguistik yang menggunakan padanan fonem dan morfem dengan mengetengahkan istilah kinem dan morfokin (Kaeppler 1972, dikutip Ben Suharto,  1987: 2). Padanan linguistik digunakan untuk menguraikan bahasa dengan pertama-tama memecah notasi fonetik semua suara yang didengar, dan hal ini dapat pula dilakukan oleh seorang penari yang memecah dalam notasi kinetik (seperti notasi Laban) semua gerak tari yang dilihat. Sistem penganalisaan itu disebut dengan analisa etik yang membedakan gerak satu dengan yang lainnya dalam satu system yang bebas dan mengacu pada perbedaan gerak seperti apa adanya sesuai dengan perbedaan sesungguhnya. Di dalam analisa  etik, pola-pola gerak secara fisik dijelaskan tanpa mengkaitkan dengan fungsi gerak itu dalam system. Sedangkan analisa dengan pendekatan emik memperhatikan hubungan fungsional secarapenuh dengan menentukan satuan-satuan kontrastif minimal sebagai dasar deskripsi (Kridaleksana 1982: 41). Kaeppler tidak menggunakan analisa dengan sistem etik, tetapi ia memperlakukan kinem yang menjadi padanan fonem sebagai sasaran untuk analisa dengan pendekatan emik.
Dengan analisa emik akan dapat disusun inventarisasi gerak bermakna yang disebut kinem, yaitu unit yang sepadan dengan fonem berupa unsure yang dipilih dari semua kemungkinan gerak dan sikap yang dikenal memiliki makna bagi orang dari kalangan tradisi di mana tari itu hidup dan berkembang.
Selanjutnya Kaeppler menjelaskan bahwa kinem merupakan gerak dan sikap yang meskipun tidak mempunyai maknanya sendiri, tetap saja merupakan unit dasar  tari di kalangan tradisi tertentu disusun. Tugas pertama analisis struktur adalah melokalisasikan unit dasar gerak tari tradisi tertentu dan mendefinisikan teba kemungkinan variasi diantara unit-unit tersebut (Kaeppler 1972, dikutip Ben Suharto, 1987: 2).
Analisa etik digunakan untuk eksperimentasi dalam usaha mendapatkan penetapan perbedaan gerak secara lebih akurat dalam rangka mendapatkan perbedaan gerak pada gilirannya sewaktu menganalisa dengan menggunakan pendekatan emik. Bila pada waktu pengujian untuk memperoleh kejelasan adanya perbedaan gerak tataran kinem ternyata terdapat perbedaan yang tidak menjadikan masalah bagi para ahli di kalangan tradisi di man tari itu diselidiki, maka gerak itu merupakan allokine dari sebuah kinem. Dengan kata lain ternyata antar pribadi mempunyai variasi dalam melakukan sesuatu gerak yang pada dasarnya mempunyai bentuk yang sama. Dalam menganalisa tari Tongan, Kaeppler menyatakan bahwa pada tingkat kinem ia hanya melihat pada kontur gerak saja, sehingga ia tidak melibatkan pertimbangan aspek waktu masih tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbeda.
Untuk menetapkan pola gerak dan sikap pada tingkat kinem, ia menggunakan analisa kontrastif yang mirip dengan proses dalam bahasa untuk mendapatkan fonem. Pola gerak dan sikap yang tidak berbeda secara kontras sehingga dapat dilihat sebagai variasi dikelompokkan sebagai allokine, sehingga dengan demikian dimungkinkan untuk mendefinisikan batas kinem berikut variasinya. Sedangkan pola gerak dan sikap ini memiliki perbedaan secara kontras dapat dipandang sebagai kinem yang lain berikutnya.
Pada tingkat kinem ia menggunakan suatu konstelasi yang dihasilkan melalui tiga bagian tubuh yaitu kaki, tangan dan kepala sehingga sistem gerak bermakna. Sedangkan torso dan pinggul meskipun bergerak juga tetap tidak bermakna oleh karena tidak dianggap berbeda oleh masyarakat pendukungnya. Setelah inventarisasi seluruh kinem sebagai tingkat pertama analisa struktural ini, maka barulah dilanjutkan dengan pengelompokan untuk mendapatkan tingkat yang kedua, yang ia sebut dengan tingkat morfokin (morfokinemik), sebagai satuan atau unit yang lebih besar.
Tingkat kedua organisasi struktural gerak tari, ia sebut dengan istilah tingkat morfokinemik dan merupakan padanan dengan tingkat morfem pada struktur bahasa. Ia mendefinisikan morfokin sebagai unit terkecil yang memiliki makna dalam struktur pada sistem gerak. Tetapi ia mengingatkan bahwa penjelasan tentang makna tidak harus dalam makna naratif atau penggambaran hal tertentu, meskipun beberapa diantaranya memang begitu. Makna ia maksudkan bahwa sesuatu wujud dapat dikenal sebagai gerak tari. Sebagaimana diketahui bahwa pada tingkat kinem sebagaimana pada tingkat fonem dalam bahasa, dikalangan luas secara tidak disadari menjadi kesatuan yang terpisah bagi mereka yang biasa menyajikannya. Morfokin merupakan kombinasi kinem baik gerak dan sikap kedalam alunan gerak dengan awal dan akhir yang jelas. Dan hanya beberapa macam kombinasi saja yang dipandang mempunyai makna. Penggabungan itu tidaklah dengan urutan yang linier seperti pada bahasa. Dapat pula sebuah morfokin terdiri dari segelintir kinem yang jelas satuan-satuan tersebut tidak dapat dibagi atau diperinci tanpa merubah atau merusak maknanya. Kombinasi ini dikenal sebagai gerak oleh para pelaku tari tradisi tertentu dan biasanya mempunyai nama.
Pada dasarnya analisa struktural pada tari Tongan yang telah dilakukan oleh Kaeppler ini menggunakan padanan linguistik terutama pada elemen dasar yaitu tingkat satu dan tingkat dua saja sebagai tingkat kinemik dan tingkat morfokinemik seperti tingkat fonem dan tingkat morfem pada bahasa. Dalam analisanya ia membagi tari Tongan dalam empat tingkat. Pada tingkat yang ke tiga ia menggunakan istilah motif yang ia definisikan sebagai kombinasi morfokin yang sering kali terjadi sehingga membentuk satuan pendek di dalamnya. Ia sering menyebutnya dengan kombinasi motif-motif sebab kemiripannya dengan yang disebut motif pada seni visual. Meskipun banyak diantara motif tidak memiliki nama, tetapi ombinasi itu mempunyai asosiasi kata, dan menjadi ilustrasi pilihan budaya tari Tongan dalam menginterpretasikan tidak dengan pernyataan tetapi bersifat kiasan.
Pada tingkat yang keempat sudah merupakan genre tari. Penetapan sebuah tari tergantung dari kombinasi motif yang dipakai dalam sesuatu tarian. Empat tingkat yang ditemukan untuk mengulas seluruh data yang relevan pada tari Tongan ini hanya khusus dan sah untu tari Tongan itu sendiri. Sehingga dengan begitu sangatlah dimungkinkan bahwa suatu tari yang berasal dari lingkungan budaya tertentu hanya memiliki tiga tingkat saja, tetapi bukan tidak mungkin memiliki lebih dari lima tingkat. Kaeppler menyatakan bahwa tingkat yang dianggapnya paling universal sehingga dapat diterapkan untuk segala sistem gerak hanyalah pada tingkat kinemik dan tingkat morfokinemik saja. Sedangkan tingkat-tingkat sesudah kedua tingkat tersebut dalam pengorganisasian gerak lebih bebas tergantung pada sistem budaya eksternalnya.
Sebenarnya mirip apa yang telah dilakukan oleh Kaeppler telah dilakukan juga oleh dua orang sarjana tari dari Eropa yang menyelidiki tarian Hongaria. Kedua orang itu adalah Martin dan Pesovar. Mereka mengemukakan pentingnya kejelasan pengertian morfologi dan struktur dengan mengatakan bahwa konstruksi organik sebuah tari hanya dapat diungkapkan dengan memisah-misahkan keseluruhan tari ke dalam komponen bagian-bagiannya. Oleh karena itu mereka menganggap sebagai prasyarat bagi setiap penganalisaan secara struktural untuk terlebih dahulu secara tepat dan baik mengenali dan membedakan bagian-bagian dan unit-unit suatu tari. Dengan begitu jelaslah bahwa mereka mengacu pada analisa bentuk atau morfologi tari. Dengan cara penganalisaan semacam itu mereka membedakan bagian-bagian yang menunjang suatu tata hubungan hirarkis satu dengan lainnya. (Royce 1980, dikutip Ben Suharto, 1987; 5).
Martin dan Pesovar menyebut satuan atau unit terkecil pada tari Hongaria yang tak dapat dibagi lagi dengan istilah unsur kinetik (kinetic element). Selanjutnya mereka menyatakan bahwa meskipun elemen kinetik tidak apat dibagi lagi ke dalam gerak independen yang lebih kecil, namun tidak berarti bahwa elemen-elemen tersebut tak dapat dianalisa dan dibagi ke dalam fase-fase.
Unsur kinetik mempunyai fungsi ganda, yaitu pertama bila beberapa unsur kinetik disatukan maka dapat membentuk apa yang mereka sebut dengan ”unit minor tari”. Sedangkan yang kedua yaitu bahwa suatu unsur kinetik dapat disisipkan diantara unit-unit tertentu baik untuk menyambung maupun untuk membentuk ”unit mayor”. Didalam struktur tari unsur kinetik bersama dengan unit-unit lain yang serupa membentuk sesuatu yang oleh Martin dan Pesovar dikategorikan sebagai ”bagian”. Pada tingkat berikutnya mereka menyebut dengan istilah ”motif”, yang merupakan unit organik terkecil dalam tari, yaitu unit dimana pola ritme dan kinetik membentuk suatu struktur yang secara relatif mirip dan berulang, atau muncul kembali. Keberadaan motif ada pada kesadaran penari, dapat dihafalkan, dan diulang dalam tari. Hal itu tidak berlaku pada tingkat unsur kinetik. Motif dianggap masuk dalam kategori ”unit minor”. Melalui gerak yang silih berganti, pengulangan dan penyatuan ”unit minor” dan ”bagian” membentuk unit mayor dan dengan cara itu kesemuanya teruntai dalam gerak tari.
Penggunaan metodologi yang ke dua dengan mencari aturan gramatikal universal gerak tari telah dilakukan oleh Williams. Dengan pengaruh karya Ardener, Crick dan Chomsky, ia mendefinisikan suatu hukum gerak dan berbagai aturan transformasional yang dapat diterapkan untuk tari apa saja termasuk tarian ritual, dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk perbandingan lintas budaya. Hukum dan aturan memungkinkan pemerincian kata-kata kedalam morfem dan fonem. Selanjutnya Williams juga mendefinisikan grammar tari sebagai artikulasi skala gerak yang dari antara gerak itu dipilih untuk tari tertentu. Istilah skala tersebut mengacu sebagaimana skala dalam pengertian musik Barat (Choy 198, dikutip Ben Suharto, 1987: 6).
Seperti Williams maka karya Singer dipengaruhi oleh Chomsky, tetapi disamping itu ia juga mengacu pada Jakobson, Halle dan Keyser dengan mengembangkan grammar universal berdasarkan teori struktur metris tari. Pola metrikal tersebut menjadi instrumen dalam pengorganisasian gerak ke dalam urutan dan selanjutnya ke dalam bentuk tari. Ia memperoleh aturan tersebut agar dimungkinkan adanya kaitan gerak tari dan pola matrikalnya (Kaepler 1978, dikutip Ben Suharto, 1987: 6)
Woodard menganalisa sebuah tari Jawa (Golek Lambangsari), dengan cara mendefinisikan struktur gramatikal. Ia mendefinisikan berbagai macam unit tari yaitu: ”unit gerak dasar”, ”sub frase”, ”frase”, dan dalam pengertian yang lebih luas lagi pada tingkat ”frase gerak dasar”. Selanjutnya ia membicarakan bagaimana semua gerak dasar antar unit dipadukan. Meskipun Woodard kadangkala menggunakan terminologi aslinya tetapi tidak seperti Kaeppler. Ia tidak menaruh perhatian dengan kategori konsep Jawa, sehingga dengan begitu ia lebih menggunakan pendekatan etik (secara bebas dari lingkungan budaya) dalam menganalisa bahan tanpa pautan dengan faktor lain seperti struktur musikal dan aspek budaya lainnya.
Berbeda dengan kedua metodologi yang telah terurai sebelumnya, Ben Suharto tertarik untuk mengamati apa yang telah dilakukan oleh Choy dalam menganalisa tari Jawa (Golek). Memang ia mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Kaeppler terutama dalam penganalisaan elemen dasar, serta penggunaan pendekatan emik, dan bahkan juga seperti Martin dan Pesovar ia mencari tata hubungan antar komponen yang satu dengan lainnya di dalam pengorganisasian gerak tari secara hirarkis. Sehingga dengan demikian dari pendekatan strutural ia mengupas tentang dua masalah sebagai berikut:
1.      Gerak yang mandiri dan yang tumpang-tindih (gerak yang secara kebetulan        bersama terjadi).
2.      Hubungan secara hirarkis.
Secara menyeluruh tulisannya menggunakan sebuah pendekatan sebagai jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan tentang pengandaiannya: ”Jika seseorang menduga bahwa bahasa dan tari dalam satu lingkup budaya berbeda dengan lingkup budaya lain, maka pandangan semacam apa yang tepat untuk menyelidiki tari Jawa dan hubungan tari Jawa dengan bahasa Jawa?”. di dalam menjawab pertanyaan tersebut ia memilih untuk menarik garis besar padanan dengan bahasa yaitu dengan memperlakukan tari sebagai suatu teks. Sebuah teks tari dapat dimengerti sebagai suatu bentuk budaya dimana makna yang terkandung di dalamnya tidak saja terbatas hanya pada materi tekstualnya, tetapi lebih dari itu juga mencakup seluruh kontekstualnya. Interpretasi sebuah teks tari tidak hanya melibatkan penetapan unit yang lebih kecil tari itu pada tingkat dasar, tetapi juga penganalisaan dalam keterkaitan keseluruhan tari itu, bahkan termasuk juga konteks masa lampau dan sekarang. Pandangan dalam karya Clifford Geertz, Paul Ricouer, Gregory Bateson dan Alton Becker, Choy menyatakan bahwa pandangan yang ia kemukakan dapat disebut dengan pendekatan berlapis ganda (multilayered).
Menurut Geertz analisa kebudayaan dapat dianggap sebagai sebuah interpretasi makna, dan bukan semata-mata usaha untuk mendapatkan penetapan tata aturan atau hukum. Selanjutnya Geertz pula yang menyatakan bahwa bentuk budaya dapat diperlakukan sebagai teks, sebagai karya imajinatif yang tersusun dari materi sosial (Geertz 1973, dalam Choy 1981, dikutip Ben Suharto, 1987: 7). Sebenarnya pemikiran tentang penyusunan sebuah model teks ini telah dilakukan sebelumnya oleh Ricouer yang tulisannya tentang teks sebagai karya wacana sangatlah bermanfaat terutama sifatnya yang memiliki keluwesan dan memungkinkan hubungan struktur batin (inner structure) teks itu dengan penekanan pentingnya teks yang telah ada sebelumnya.
Kupasan seperti itu dapat dipandang sebagai langkah lanjut dalam memperoleh pengetahuan tentang pola yang lebih luas, atau dalam hal ini hubungan antara tari dengan bahasa. Bateson menyebutnya dengan istilah metapola (metapattern). Pendapat Bateson ini telah mendorong Choy dalam mencoba untuk mencari hubungan tersebut, sebab ia memandang hal itu sebagai sangat berguna secara metodologis dalam usaha untuk mencari eterkaitan antara tari dan teks tertulis, tidak hanya karena Bateson mengenal urutan yang ada dalam organisme, tetapi urutan yang ada antar organisme (Choy 1981, dikutip Ben Suharto, 1987: 8).
Ananlisis yang dilakukan Ben Suharto diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kerangka kerja yang dapat dikembangkan melalui pendekatan berlapis ganda ini sebagai salah satu alternatif dalam mengembangkan metodologi penelitian tari lebih lanjut dalam ruang dan waktu atau kesempatan yang lain.
Walaupun terdapat beberapa perbedaan, namun pada dasarnya kerangka kerja yang dipergunakan dalam analisis tari Gambyong, Ben Suharto mengacu pada tulisan Choy dalam menganalisa tari Golek, sebagaimana ia mengutip pula dari konsep yang dikemukakan Ricouer tentang empat sifat yang dimiliki bahasa sebagai komunikasi, yaitu:
1.      Mengacu pada waktu
2.      Mengacu pada subyek
3.      Mengacu pada alam
4.      Mengacu pada penghayat
Selanjutnya masih ditambah dua sifat yang berkaitan dengan pengertian teks sebagai keutuhan keseluruhan yang dapat diterapkan untuk mengupas tari melalui:
5.      Keterkaitan di antara komponen-komponennya
6.      Teks awal lainnya untuk dapat dibandingkan dengan materi yang dipilih untuk tulisan ini.
Analisa dengan pendekatan berlapis ganda yang dilakukan Ben Suharto menitik beratkan pada Butir 5 dan 6 (hasil analisis Tari Gambyong lihat di lampiran)

3.      Format Analisis Struktur  
Setelah mengamati perkembangan analisis struktur yang telah dilakukan oleh para sarjana tari, maka Ben Suharto mengembangkan analisis struktur yang merupakan sebuah hasil pengamatan tari Gambyong secara berlapis ganda  yang dikaitkan dengan adanya tatahubungan yang ada pada tari Gambyong itu sendiri yang berlaku pula untuk tari gambyong lainnya dan lebih luas lagi pada tari Surakarta.  Ben Suharto menguraikan bagian terkecil merupakan bagian dari yang lebih besar dengan menggunakan istilah  motif, frase, kalimat, gugus, dan bagian.  Motif adalah bagian terkecil dari tari, motif merupakan unsur sikap dan gerak pada tari namun belum bisa dimaknai, frase adalah rangkaian beberapa motif, kalimat adalah rangkaian frase yang telah mempunyai makna dan berkaitan dengan rasa angkatan dan rasa seleh dalam melakukan gerak terkait dengan iringan tari.
Berikut ini format untuk mengerjakan analisis struktur dengan kolom-kolom sebagai berikut.


GUGUS

KALIMAT

FRASE

MOTIF
KETERANGAN
FRASE DAN MOTIF DALAM UNIT IRINGAN DAN BIRAMA
1
2
3
4




I.




A.



1.
















1).



Pola gending iringan tari

                1             2             3                  4             5               6                  7                 8
Sa-tu
Du-a
Ti-ga
Em-pat
li-ma
e-nam
Tu-juh
Dla-pan


               1              2             3                 4             5           6                       7                8
sa-tu
du-a
ti-ga
em-pat
li-ma
e-nam
tu-juh
dla-pan



dan seterusnya…..

4. Latihan
Mahasiswa diberikan tugas untuk menguraikan salah satu bagian tari yang dipilihnya menggunakan pendekatan analisis struktur.


Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com