BAB I
DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
PADA MASA KUNO
Gereja purba bukanlah penemu pendidikan agama, adalah lebih tepat untuk mengatakan bahwa gereja adalah hasil pendidikan itu. Pendidikan khususnya sejak awal sama dengan pikiran dan prakteknnya selama masa Abad Pertengahan berakar baik dalam Kebudayaan – Yunani - Romawi maupu Yahudi. Dari yang pertama itu yaitu melalui pendekatan Sokrates, misalnya, para pendidik Kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian, pikiran salah seorang muridnya yang bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin Kristen untuk menyoroti intisari pendidikan sebagai proses mengantar orang untuk meninggalkan perasaan aman mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar bertindak sesuai dengan dunia nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti memeriksa kembali pandangan yang lazimnya ditolaknya kalau memang data baru itu menuntut berbuat demikian.
Murid Plato paling termasyur yang bernama Aristoteles mengajar Gereja bagaimana menggolongkan pengetahuan agar lebih gampang memperolehnya bilamana diperlukan lagi. Ia pun menunjukkan bagaimana mengajar akal manusia untuk mempertimbangkan bobot sejumlah tujuan usaha insani termasuk pendidikannya dengan salah satu akibat yang dianggap paling kuat. Demikian pula “jalan tengah kencana” yang dikemukakannya sebagai azas pokok hendaknya sesuai dengan keputusan etis. Semua macam pendidikan itu diarahkan kepada pengembangan seorang pribadi yang mampu melihat hubungan-hubungan sejati serta bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.
Pikiran Quintilianes, seorang warga kebudayaan yang menjunjung tinggi kemampuan bertindak semaksiamal mungkin, menjadi sumber dimanfaatkan untuk menyoroti cara pendidik secara praktis dan manusiawi.
Selama berabad-abad permulaan bangsa Israel sampai pembuangannya ke Babel dapat dicatat empat pokok pendidikan utama yakni :
1) Dasar teologi pendidikan agama Yahudi yang mencakup tiga ajaran tentang manusia.
2) Dari ketiga dasar tersebut ditarik isi tujuan agam Yahudi.
3) Pengajar-pengajar. Pada dasarnya, Allah diterima sebagai pengajar utama yang mempercayakan pelayanan pengajaran kepada empat golongan pemimpin pada umumnya dan kepada orang tua pada khususnya. Keempat golongan mencakup jabatan berikut : imam, nabi, penyair, dan orang bijak. Tugasnya sebagai pengajar umum masih diteruskan pada zaman pembuangan ke Babel dan kembalinya ke Palestina. Keprihatianan khas mereka masing-masing cenderung menghasilkan pendekatan mendidik yang berimbang.
4) Kurikulumnya. Dalam ruang lingkup terdapat tema berikut : “pemilihan Abraham dengan keturunannya, penciptaan langit dan bumi, pelepasan dari perbudakan di Mesir. Pemberian perjanjian/hukum Taurat, pendudukan tanah yang dijanjikan, permulaan kerajaan dan kesaksian kaum nabi tentang kecenderungan umat Israel yang menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam perjanjian”. Dalam pokok-pokok tersebut tersirat pula bimbingan untuk menuju perilaku yang sesuai dengan panggilan umat Israel .
Mula dengan dampaknya yang hebat atas diri kaum Israel sebagai Akibat pembuangannya ke Babel sampai permulaan zaman masehi, pendidikan agama yahudi berkaitan secara khusus dengan 4 pokok yaitu :
1) Dasar teologi baru yang mencakup peninjauan ulang statusnya sebagai bangsa terpilih dan pernyataan.
2) Karena mereka jauh dari bait Allah yang ada di Jerusalem , yaitu pusat kebaktiannya,dan karena ketidakmampuan orang tua memenuhi mandatnya untuk mengajar, Umat Allah di Babel mengembangkan rumah ibadah dan sekolah. Yang pertama merupaka prakarsa yang sama sekali baru dalam sejarah agama, dalam arti pada pertama kalinya pendididkan berkaitan dengan ritus beribadah. Tetang sekolah tersebut terdapat 2 taraf pokok yaitu sekolah dasar (Beth-Hasepher) dan sekolah menengah pertama (Beth Talmud). Di dalamnya nampaklah penghargaan yang sungguh-sungguh terhadap kesempatan belajar dan rasa hormat terhadap jabatan seorang guru.
3) Pendekatan mendidik yang manusiawi dan bersandar pada metode menghapal.
4) Para Pelajar. Yang dididik di sekolah adalah anak laki-laki saja, tetapi barangkali disana-sini seorang anak perempuan dididik tentang ketrampilan dan isi yang serupa dengan kesempatan yang disediakan bagi anak laki-laki.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMAWI DALAM PERJANJIAN BARU
Abad pertama Masehi pendidikan agama Kristen berkisar pada dua kutub, yaitu Yesus sendiri dan pelaksanaanya menurut isi surat-surat Perjanjian yang paling tua dan muda, yaitu surat-surat Tesalonika dan Penggembalaan.
Yesus adalah buah dari pendidikan agama Yahudi dalam arti bahwa hubungan-Nya yang khusus dengan bapa-Nya tidak membebaskan-Nya dari keperluan belajar sama saperti anak laki-laki Yahudi lainnya. Demikianlah Dia belajar melalui pesta agama-Nya yang berlangsung dalam keluarga-Nya. Kemudian ada kemungkinan besar bahwa Dia menghadiri sekolah rumah ibadat di Nazaret dan kemudian sekolah Beth Talmud. Dalam pada itu Dia memperoleh pengetahuan isi perjanjian lama dan gaya menafsirkannya.
Bagi Yesus sendiri gelar yang amat sesuai dengan swa-pengertian-Nya ialah rabi, guru. Dalam seri gambaran tentang kegiatan-Nya,”mengajar” itu merupakan pelayanan paling awal yang kemudian disusul dengan “ memberitakan injil”dan “melenyapkan segala penyakit dan kelemahan”. Sama seperti rabi lainnya. Dia menarik perhatian beberapa pengikut yang dinamakan “murid-murid”; suatu istilah teknis yang berkaitan dengan orang-orang yang belajar dari bimbingan seorang pengajar. Pelayanan khas “mengajar” itu diberlakukan pula dengan cara Dia disapa baik teman dan khalayak ramai maupn para lawan-Nya yaitu “rabi”. Sebagian gaya mengajar-Nya berkaitan erat pula dengan yang lazimnya dimanfaatkan kaum rabi. Tetapi kekuasaan-Nya sebagai seorang guru berakar pula identitas-Nya baik sebagai pengajaran benar maupun pernyataan. Itulah sebabnya mengapa Dia berhak memanggil orang-orang untuk mengabdikan diri mereka kepada-Nya “Apabila unsur pengajaran Yesus ini dihilangkan, maka kehidupan-Nya akan menjadi kabur,”.
Dalam gaya mengajar Yesus paling tidak nampaklah delapan pendekatan : ceramah, bimbingan , menghafalkan , perwujudan, dialog, studi kasus, perjumpaan dan perbuatan simbolis.
Tekanan pada pelayanan mengajar itu diterukan oleh jemaat-jemaat Perjanjian Baru sebagaimana jelas nampak dalam surat-surat yang paling tua dan yang mendekati yang paling muda. Paulus memberitakan Injil, tetapi dia mengajar pula dan isi kedua-duanya berakar dalam pernyataan yang diterimanya dari Tuhan. Sesudah orang menjadi percaya sebagai akibat pemberitaan, segera mereka perlu dididik, dibimbing agar warga Kristen baru itu terus bertumbuh dalam imannya. Nampaklah dalam Surat-surat Tesalonika 4 macam bahan pengajaran, yaitu ajaran teologis, pengajaran etis, tata gereja, kata-kata yang menyerupai ucapan Yesus.
Ketika Surat -surat Penggembalaan diselidiki dengan seksama, kepentingan pelayanan mengajar itu diterukan, bahkan dianggap lebih urgen lagi karena jemaat-jemaat itu merasa diri dikepung oleh banyah musuh. Demikianlah pengajaran benar diperlukan agar para anggotanya tidak menyeleweng dari kebenaran injil. (Istilah pengajaran itu dipakai lima belas kali dalam ketiga kitab pendek itu, sedangkan dalam surat-surat lainnya jarang dipakai)
Untuk menjaga pengajaran benar itu mesti ada guru yang sudah mengetahui kebenaran tersebut. Dari sekian banyak tugas yang perlu dilaksanakan sang uskup, pelayanan mengajar menerima tekanan khusus. Ketika isi pengajaran benar itu diperiksa, maka dapat di daftarkan lima macam isi pokok yang berhubungan erat dengan yang nampak dalam Surat-surat Tesalonika: ajaran teologis, pengajaran etis, petunjuk-petunjuk mengenai jabatan-jabatan gerejawi, perkataan-perkataan Yesus dan perlunya bersandar kepada Roh Kudus.
BAB III
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM GEREJA PURBA
(Antara abad ke-2 dan ke-5)
Pendidikan agama Kristen yang dikembangkan oleh Gereja purba merupakan usaha untuk bergumul dengan kebudayaan yang nilai-nilainya bermusuhan terhadapnya dalam lingkungan luas. Diperhadapkan dengan keadaan demikian tanggapan- tanggapannya tidak seragam. Terdapat pemimpin seperti Tertullianus yang ingin menarik garis pemisah yang tajam antara gereja dan kebudayaan. Antara kedua-duanya tidak ada tempat netral. Persekutuan Kristen wajib memisahkan diri secara mutlak dari pengaruh kebudayaan Yunani- Romawi. Akan tetapi, pemikir lain lagi seperti Hieronimus dan Basil ingin memanfaatkan hasil kebudayaan tersebut yang tidak bertentangan langsung dengan iman Kristen. Tetapi ketegangan yang nampak pada abad-abad pertama itu antara kebudayaan apa saja dan nilai-nilai Gerejawi akhirnya tidak diredakan pada zaman itu, malahan di teruskan selama semua abad yang menyusup, bahkan gereja hanya dapat menjadi garam dunia apabila ia bergumul terus-menerus dengan lingkungan luasnya tempat ia ditempatkan Tuhan.
Pada tahap lebih khusus lagi Gereja Purba diperhadapkan pada tantangan agamawi pula, misalnya ajaran gnostik, mitraisme dan neo-Platonisme.
Serentak dengan itu, gereja perlu memikirkan hubungannya dengan Negara. Titik-titik pertentangan yang nampak segera dikaitkan dengan masalah dimana letaknya kesetiaan mutlak seorang Kristen . Dalam proses menjawab pertanyaan tersebut, sejumlah nyawa orang Kristen dikorbankan. Yang lainnya berdebat dengan para pendukung gereja, dalam arti memberikan penjelasan mengapa kaum Kristen tidak mungkin mengambil bagian dalam upacara Negara yang bersifat agamawi. Namun mereka ingin menjadi warga Negara yang setia dan bertanggung jawab.
Justru dalam lingkungan luas itulah dipelopori pikiran dan praktek pendidikan agama
Kristen.
Kristen.
Pada dasarnya, usaha itu berakar dalam pergumulan teologis. Meskipun seluk-beluknya harus dipelajari dalam bidang dogmatika dan sejarah. Gereja umum, namun sebagian dari pergumulan tersebut perlu diangkat disini agar seluruh pergumulan teologi gereja pada abad-abad pertama itu jangan dipisahkan dari pelayanannya dari bidang pendidikan agama Kristen. Pergumulan teologis merupakan bagian dari pendidikan agama Kristen. Tetapi pendidikan agama Kristen yang tidak melibatkan warga jemaat dalam pergumulan teologisnya bukanlah pendidikan agama Kristen yang sebenarnya. Disebutkan pula bagaimana gereja berusaha menjelaskan serta mengajarkan tentang jati diri Yesus dari Nazaret. Tetapi usaha ini bukanlah jalan satu arah saja. Melalui semua pengajaran itu para warga jemaat terdorong untuk menggali kembali sumber-sumber iman mereka.
Di samping itu, pada umumnya terdapat pula pengajaran melalui dua macam usaha, yaitu isi nyanyian rohani yang dipelopori oleh Efraim, pendeta si Siria, dan melalui mutu kehidupan para warga Kristen sendiri yang dipupuk melalui kebaktian umum, doa pribadi dan puasa.
Secara khusus, juga pandangan masing-masing lima pendidik besar dipaparkan, yaitu Clementus, Origenes, Hieronimus, Chrysostomus dan Augustinus.
Tentang wadah pokok yang dikembangkan Gereja Purba, paling tidak tiga macam yang menonjol, jemaat yang beribadah, katekumenat bagi para calon warga gereja, dan sekolah katekisasi, semacam perguruan tinggi.
BAB IV
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PADA ABAD PERTENGAHAN
(Dari Abad Ke 6 s/d Abad ke 14)
Melalui isi bab ini kita bermaksud melakukan tugas yang mustahil dilaksanakan, dalam arti kita berusaha menceritakan sejarah perkembangan praktek dan pikiran pendidikan agama Kristen yang berlangsung sebelas abad lamanya tetapi hanya di Eropa Barat saja. Gambaran yang nampak demikian sewajarnya belum lengkap. Namun dapat dicatat beberapa puncak prestasi yang menunjukkan bagaimana begitu banyak orang Kristen bergumul dengan tantangan yang amat sulit diatasi. Di antaranya barang kali tidak ada tantangan yang lebih berat dari pada “anak kembar” ketunaaksaraan dan ketakhyulan. Tentu saja yang pertama itu menyokong yang kedua, tetapi yang kedua itu pun susah diatasi karena penyakit pertama itu agak umum dalam masyarakat Abad Pertengahan.
Sungguhpun keadaanya menguji coba jiwa banyak pemimpin gereja dan Negara, namun terdapat prestasi gemilang juga. Gereja sebagai persekutuan menghasilkan sejumlah pemikir yang tidak kurang kemampuannya ketimbang taraf kepemimpinan yang dikenal pada abad-abad lainnya. Di samping itu, gereja berusaha menjangkau sebagian keanggotaannya dengan pelbagai siasat mengajar. Dalam prosesnya muncullah beberapa isu pedagogis abadi yang masih tetap perlu diperhatikan oleh siapa saja yang bermaksud memperlengkapi para warga dari semua golongan umur dengan sumber-sumber iman Kristen, agar mampu hidup menang di tengah-tengah begitu banyak tantangan hidup.
1. Karena para anggota jemaat-jemaat pada zaman itu kebanyakan tuna aksara dan para pemimpin yang terdidik entah imam atau awam kurang sekali jumlahnya, gereja mengajar melalui penggunaan lambang-lambang. Demikianlah telah kita baca tentang lambang-lambang berupa Sakramen Baptisan dan Misa khususnya, drama agamawi, seni lukis/patung, buku naskah yang berhiasan, dan seni bangunan. Semuanya itu cenderung mendobrak hati indrawi warga jemaat ketimbang mendorong perkembangan pengetahuan dan pengertian mereka.
Membangun atas keadaan tersebut isu pedagogis abadi mencakup ketegangan kreatif antara pemupukan perasaan misteri agamawi dan perkembangan bagian kognitif dalam diri para warga persekutuan Kristen. Ketegangan ini sangat peka bagi persekutuan Protestan Indonesia yang berasal dari suku-suku yang kaya dengan simbolisme agamawi. Di bawah pengaruh teologi Protestan yang mengutamakan pentingnya memperoleh pengetahuan serta memahami isinya, peranan simbolisme cenderung dikesampingkan. Namun, di dalam kehidupan iman mesti ada tempat bagi keindahan.
Pertanyaan ialah: a)Bagaimana kekayaan simbolisme Kristen disamping yang terdapat dalam kebudayaan suku-suku dapat dimanfaatkan demi kepentingan pendidikan agama Kristen tanpa turut memupuk munculnya ketahyulan dalam prosesnya?; b) Bagaimanakah umat Kristen dapat mengembangkan pola pikir tanpa mengembangkan warga Kristen yang mampu berpikir terlepas dari penghargaan atas alasan mengapa mereka hendaknya berpikir demikian ? Dengan kata lain, para pemikir pendidikan agama Kristen ditantang mengembangkan rencana pedagogis yang mampu memupuk perasaan dan pikiran.
2. Pada Abad Pertengahan gereja memgembangkan sejumlah wadah pedagogis, tempat pelaksanaan pendidikan agama Kristen : jemaat itu sendiri, khusunya melalui kebaktian dan sistem sakramental, sekolah katedral, universitas, kesatriaan dan wadah pedagogis yang berlangsung dibawah naungan biara. Karena jaringan perhubungan terbatas sekali pada zaman itu, wadah-wadah pendidikan agama Kristen berasal dari berbagai titik geografis dan gerejawi dan bukan dari pusat tertentu, misalnya kepausan. Sudah barang tentu, mutu pendidikan yang dihasilkan dengan cara yang demikian tidak sama tingginya.
Dua isu pokok menonjo disini: a) Bagaimana salah satu wadah pedagogis yang sudah ada dapat dimanfaatkan sepenuhnya! Apakah ia harus tetap ada begitu saja, atau sebaliknnya ia dapat berubah sehingga banyak kemungkinan yang dapat dijelajahi demi pertumbuhan iman yang kuat dan berintegritas secara intelektual? b) Apabila diperhadapkan dengan keadaan/kebutuhan tertentu, wadah-wadah apakah yang perlu didirikan untuk menjawab kebutuhan tersebut? Sesudah wadah itu didirikan, bagaimana dapat dikembangkan agar memenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tersirat di dalamnya? c) Keberadaan wadah tertentu menimbulkan pertanyaan lain pula. Apabila salah satu wadah sudah lama hidup sebagai warisan, maka apakah umat Kristen setempat sudah begitu matang sehingga rela membiarkan wadah itu ditiadakan? Umpamanya, kita diingatkan akan wadah kekesatriaan yang memenuhi tujuan pedagogis terbatas tetapi sekaligus melibatkan diri dalam nilai-nilai yang bertentangann dengan iman Kristen yang menghargai damai sebagai nilai tinggi. Kembali kekeadaan jemaat modern , pertanyaan masih ada tentang sejauh mana ia rela meniadakan wadah apapun yang usang.
3. Keterlibatan kita dengan pengalaman Gereja Pertengahan mungkin membuka mata terhadapa sumbangan para pemikir sebagaimana mereka ini diwakili oleh enam orang saja. Dengan Karel Agung kita diperkenalkan dengan seorang awam berkuasa yang haus akan pengetahuan menjadi seorang pelajar teladan sebelum dia menyalurkan dana, sarana dana , sarana dan gereja demi kepentingan perkembangan para warga Kristen yang terdidik.
Raja Alfred dari Inggris memahami pentingnya sumber tertulis dalam bahasa daerah sebagai dasar bagi pendidikan. Dia tidak hanya memanfaatkan dana pembendaharaan Negara demi rencana darurat menerjemahkan buku-buku latin kedalam bahasa Inggris Kuno , dia sendiri berbuat demikian pula.
Rabanus Maurus dari Jerman mengajukan pertanyaan pokok dibidang pendidikan agama Kristen berupa pendidikan teologi. Apakah sudah cukup dalam pendidikan seorang calon pendeta kalau ia dilatih menjadi “ seorang tukang liturgi dan sakramen saja”, atau sebaliknya pendidikannya perlu mencakup vak-vak bukan teologis-teologis yang merupakan lingkungan luas tempat tugas berteologi berlangsung sebelum mempelajari vak vak teologis? Abelardus mendidik kita tentang kepentingan mengajukan pertanyaan sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Dalam pengalamannya, belum ada jawaban mutlak sebagaimana nampak perbedaan pendapat di antara bapa-bapa gereja yang termulia.
Thomas Acquino ingin menolong para mahasiswa memperoleh jawaban yang tidak berdasarkan pendapat tokoh-tokoh berkuasa melainkan sebagai hasil usaha menjernihkan pemikiran. Sementara itu diperlihatkannya metode deduktif yang nampak dalam gaya mengajarnya. Bukan hanya itu saja. Dia menghargai juga peranan pernyataan dalam rangka mencari kebenaran teologis.
Barangkali pembaca merasa terharu oleh Gerson , seorang pemimpin gereja terkemuka yang menjalankan keyakinannya bahwa tidak ada jabatan gerejawi yang lebih tinggi daripada mendidik anak-anak dalam iman Kristen. Berbeda dengan pendapat banyak rekan sekerjanya, pelayanan itu memperkaya martabat jabatan pelayanan Firman dan tidak meremehkannya.
Walaupun para pendidik besar merasa diri berhutang pada prestasi dan pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh gereja sepanjang abad, namun mereka tak terbelenggu oleh warisan itu. Mereka rela memprakarsai pendekatan yang berbeda yang mungkin akan turut memperkaya iman banyak warga seiman.
Mungkinkah ada pelayanan pedagogis bermutu di kalangan gereja/jemaat terlepas dari keberadaan sejumlah orang yang berpikir secara mendalam tentang pelayanan pedagogis milik umat Kristen ? kita ditantang menjawab pertanyaan tersebut.
BAB V
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN MENJELANG REFORMASI
Secara nisbi, masyarakat Eropa Barat pada Abad Pertengahan statis sifatnya. Di dalamnya setiap warga mempunyai tempat yang tetap karena lahir dalam kelas sosial tertentu, dan amat sukar baginya untuk keluar dari kelas tersebut.
Tetapi sekitar abad ke-15, dunia itu tergoncang oleh sejumlah perkembangan dan penemuan yang mengubah gaya berpikir begitu banyak warga dan cara mereka bertindak. Antara lain dapat disebutkan penemuan serbuk mesiu dengan dampaknya dapat menghancurkan system feodalisme. Proses memperlemah kekuasaan feodalisme itu diiringi oleh pertumbuhan kota-kota dagang merdeka dengan warga-warga yang berminat terhadap perdagangan dan pengolahan. Dalam system itu kreatifitas dan prakarasa perseorangan dan gaya berpikirnya secara bebas itu dihargai lebih tinggi ketimbang nilai-nilai yang sama dalam masyarakat feodalisme.
Di Eropa Selatan, khususnya di negeri Portugal , Spanyol dan Italia, para penjelajah yang amat berani melayarkan kapal-kapal kecil ketempat-tempat yang jauh sekali dari tanah air mereka. Lebih penting lagi, mereka mampu kembali lagi tetapi bukan dengan ufuk pemikiran terbatas seperti dulu. Mereka telah menjumpai negeri, bangsa dan kebudayaan yang berbeda sekali ketimbang pengalaman mereka sebelumnya. Planet bumi betul-betul bundar dan bukan datar seperti yang sudah lama diajarkan gereja. Sebagai akibatnya, kekuasaan gereja mulai dirongrong karena dunia ini pun perlu diperhatikan dan bukan hanya dunia yang diseberang saja.
Dengan kehancuran feodalisme, kekuasaan politis semakin mengalir kedalam tangan pemimpin yang membentuk kerajaan yang berporoskan bangsa tertentu. Dalam prosesnya, khususnya di Portugal , Spanyol, Perancis dan Inggris, para warganya mulai mengidentifikasikan diri sebagai warga negeri masing-masing dan bukan lagi warga daerah tempat lahirnya saja. Dengan kata lain, nasionalisme sedang berkembang. Tidak jarang identitas negeri mereka sering dihargai daripada keanggotaannya dalam gereja.
Penemuan dua macam teknologi cenderung mengakhiri monopoli pengetahuan yang sudah lama dinikmati gereja dan kelas atas, yaitu penemuan rahasia membuat kertas dan mesin cetak yang mempergunakan huruf lepas. Yang terakhir ini diolah oleh Gutenberg dan memungkinkannya mencetak Alkitab dengan ongkos yang lebih murah, cepat dan jumlahnya banyak.
Kopernikus membuktikan bahwa matahari adalah pusat alam semesta dan bukan lagi bumi seperti pemikiran dalu. Demikianlah bumi berputar pada porosnya dan serentak berputar memgelilingai matahari . sekali lagi salah satu pengajaran gereja dibuktikan salah.
Gerakan humanisme membuka mata orang-orang terhadap pentingnya memperoleh naskah perjanjian lam yang paling kuno dalam bahasa Ibrani. Begitu pula naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Demikianlah kekuasaan Alkitab mulai lebih berwibawa ketimbang kekuasaan gereja.
Penyakit parah dalam tubuh gereja diakui banyak orang .., tetapi mereka tidak sepaham tentang jalan keluarnya. Salah satu siasat penting dipelopori orang yang mendirikan ordo/wait baru. Yang lain lagi memberanikan diri untuk meletakkan masalahnya persis dipintu paus sendiri. Nama waycliffe di Inggris, Hus di Ceko dan Savarola di Italia berkaitan dengan siasat terakhir ini, dan ketiganya ditendang keras oleh kepausan bahkan Hus dan Savanorola mati syahid karena keyakinan mereka. Di Belanda, Groote memelopori pendekatan lain lagi. Dia memulai gerakan yang dikenal dengan Persaudaraan Hidup Bersama. Gaya hidup keanggotaannya amat disiplin , tetapi mereka tidak mengasingkan diri belakang tembok biara. Mereka ingin mengubah mutu kehidupan masyarakat dengan mengikuti kristus dengan serius. Di samping itu mereka mendirikan begitu banyak sekolah demi kepentingan pendidikan bagi anak-anak laki-laki miskin.
Diantara sekian banyak orang ternama yang pernah belajar pada sekolah Persaudaraan itu, sumbangan Eramus dari Rotterdam amat berpengaruh. Dia merupakan jembatan antara Gereja Khatolik Roma dan Gereja Refomasi. Dia menentang dan mendukung kedua-duanya tanpa membiarkan diri ditangkap oleh satu atau lainnya, karena itu dia dikecam oleh tokoh penguasa Gereja Katolik Roma dan oleh Luther dan kawan-kawannya. Sumbangannya di bidang pendidikan agama Kristen dibahas didua pokok, Eramus Pendidik Oikumenis dan Eramus Pendidik Khusus.
Dari segi kedalaman sumbangannya, peranan dari yang pertama lebih bermakna.
Sebagai Pendidik Oikumenis dia mendidik melalui usahanya memperoleh naskah perjanjian baru yunani paling kuno agar memperoleh bacaan yang sesuai dengan maksud pengarang setiap kita atau bagian setiap kitab. Atas penemuannya itu, dia menerjemahkan perjanjian baru ke bahasa latin, suatu terjemahan yang maknanya berbeda disana sini daripada Vulgata yang diterjemahkan Hieronimus beberapa ratus tahun sebelumnya.
Dia amat tajam dalam kecamannya terhadapa gaya hidup kaum pemimpin gereja. Dia juga mempertahankan hak setiap orang baik pria maupun perempuan untuk menikah atau tidak. Demikianlah dia menentang pernikahan yang ditentukan oleh persetujuan kedua keluarga yang bersangutan tetapi terlepas dari kehendak perempuan itu sendiri. Eramus ingin mendukung hak memilih kaum perempuan karena dia adalah seorang manusia juga dan bukan benda yang diperjual-belikan. Dia amat menghargai lembaga pernikahan tetapi dia realis juga. Apabila pernikahan tertentu tidak membahagiakan keduabelah pihak, maka mereka hendaknya diijinkan bercerai dengan hak menikah dengan seorang lainnya.
Karena dia pun hidup dalam masyarakat yang suka perang dia tidak mengenal lelah dalam usahanya mendidik para pemimpin gereja dan masyarakat agar menjauhkan diri dari hasrat berperang sambil meramalkan peranan menjadi orang yang membawa damai. Dalam Keluhan Si Damai eramus menyampaikan pandangannya terhadap kebodohan berperang dan kebijaksanaan mencari damai.
Sebagai pendidik khusus, Eramus ingin mendidik kaum muda sedemikian rupa agar mereka mampu berpikir sedalam dan sebebas mungkin, memperoleh ketrampilan mengungkapkan pikirannya amat jelas, serta mengamalkan gaya hidup yang sesuai dengan intisari injil Yesus Kristus.
Dia mengakui bakat berbeda dalam diri tiap pelajar.dia ingin mengebangkan karunia apapun yang nampak dalam diri pelajar, tetapi dalam suasana belajar yang menghargai kebebasan berfikir seta mempelopori gagasan ataupun jalan lain daripada yang lajim diterima.
Kurikulum yang menitikberatkan ketrampilan membaca dan menulis dalam bahasa latin. Untuk maksud itu , dia mengarang buku percakapan yang bersifat dialogis yang isinya membahas berbagai masalah dalam gereja dan masyarakat. Demikianlah para pelajar-pelajar bagaimana menyampaikan pikiran sejelas mungkin dalam gaya menulis yang sesuai dengan tata bahasa latin murni. Isi Alkitab dan karya bapa-bapa Gereja Purba pun merupakan bagian dari kurikulumnya.
Metodeloginya tidak luar biasa walaupun dia menentang pendekatan dialektis, karena dengan itu pelajar cenderung mementingkan nilai mengalahkan lawannya daripada meyakinkan karena kedalaman isi argumentasinya. Semua metode yang berkaitan dengan kekerasan sebagai dorongan belajar harus dicabut dari akarnya . apabila kekerasan diperlukan maka hal ini hanya menyatakan kelemahan kemampuan si guru. Berbeda dengan banyak warga sejamannya, dia ingin mendidik laki-laki dan perempuan.
BAB VI
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PADA ZAMAN REFORMASI PROTESTAN
Bagaimanakah kita nilai sumbangan Luther terhadap perkembangan pendidikan agama Kristen? Paling tidak terdapat 10 pokok yang bermakna : 1) Dia mengaitkan pendidikan dengan teologi atau dengan kata lain, teologinya merupakan dasar teori pendidikannya. 2) Prestasi menerjemahkan Alkitab kebahasa Jerman turut mengembangkan bahasa Jerman sehingga semua warga Jerman dihubungkan satu sama lain. Serentak dengan itu bahasa Jerman memainkan peranan luar biasa dalam perkembangan pendidikan Jerman. 3) Dia melihat bahwa semua orang , baik anak perempuan maupun anak laki-laki, baik yang muda maupun yamg dewasa berhak belajar membaca dan menulis sebagai dasar menjadi orang percaya yang terdidik sehingga “. . . . bukan lagi anak-anak yang diombang ambingkan oleh rupa rupa angina pengajaran. . . .” (Ef 4:14a). Khusus bagi warga dewasa khotbah dikembangkan menjadi wadah utama untuk pendidikan. 4) Dia mendorong para pemimpin kota praja sehingga didirikannya sekolah-sekolah “negeri” yang dibiayai kas pemerintah setempat. Semua anak wajib disekolahkan 5) Luther menyusun bahan pendidikan khusus untuk anak didik , yaitu khatehikmus kecil yang disayanginya. Karya itu memupuk penyusunan banyak katehikmus lainnya sebagai bahan tercetak paling utama dalam rangka mendidik kaum muda. Dari sudut kita, kurikulum yang dipakai di sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan anak didik, tetapi di dalamnya terdapat pendekatan lebih berimbang ketimbang kurikulum lain yang dianggap mutlak pada zaman itu. 6) Dia amat prihatin terhadap perbedaan sifat tiap anak, suatu fakta yang perlu diperhatikan sebagai dasar mengembangkan tugas-tugas belajar yang sesuai. 7) Sungguhpun gaya mengajarnya jauh dari sempurna, namun ia cenderung lebih naju ketimbang pendekatan yang dominan diantara kebanyakan pendidik pada zamannya. 8) Luther menitik beratkan peranan mutlak musik dalam proses mendidik orang-orang disamping menjadi unsur umum dalam liturgi dengan demikian peserta jemaat adalah warga aktif bukan pasif. 9) Luther amat sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang tersirat dalam pengalaman pendidikan, dengan akibat warga Kristen berhak bertumbuh dalam iman Kristen sehingga dihayati dalam kehidupan sehari-hari. 10) Luther mendesak warga Jerman mengenai pentingnya perpustakaan-perpustakaan sebagai alat pelengkap mutlak dalam rangka mengembangkan sumber pengetahuan dan pengertian demi kebutuhan perseorangan, gereja, masyarakat dan Negara.
BAB VII
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PADA JAMAN REFORMASI PROTESTAN
Apabila dipandang secara menyeluruh, secara singkat sumbangan apakah yang diberikan Calvin bagi dasar dan praktek pendidikan agam Kristen ? 1) Kehidupannya adalah teladan bagi siapa saja, tentang seoarang Kristen yang mengasihi Tuhan dengan segenap pikirannya, dalam arti dia tidak curiga terhadap kesarjanaan malahan dia tetap seorang pelajar alkitab dan kebudayaan seumur hidupnya. 2) dia ingin mendidik pikiran insani karena tidak mempercayai perasaan yang kurang mantap. 3) Melalui institutionya ia menjelaskan isi iman Kristen secara teratur sebagaimana didapatinya didalam Alkitab. 4) Intinya ialah pengetahuan minimal yang perlu diketahui dan dipahami oleh setiap warga Kristen. 5) Walaupun dia tidak mempercayai perasaan insani sebagai bukti kedalaman iman, namun dia ingin menghasilkan para warga dari semua golongan umur yang menaklukkan diri sedemikian rupa kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan mewujudkan bukti pemilihan mereka, dalam Yesus Kristus. 6) Melalui pengajarannya mereka dididik agar tidak memperhatikan keadaan jiwanya secara pribadi saja, tetapi agar memandang keluar, dalam arti memanfaatkan iman untuk mengubah masyarakat sekitarnya sesuai dengan injil. 7) Pendidikan Agama Kristen adalah bagian integral dari pelayanan gereja karena gerejalah Sang Ibu yang mengasuh anak-anaknya. 8) Dia menjunjung tinggi khotbah sebagai sarana untuk menginjili serta mendidik para warga jemaat. 9) Dia mempersiapkan katekismus khususnya untuk mendidik kaum muda. 10) Dia mendidik jemaat memuji Tuhan melalui penggunaan mazmur-mazmur yang dinyanyikan jemaat dalam bahasa Perancis (baca: bahasa daerah). 11) Dia menetapkan Sakramen Baptisan sebagai tanda pemilihan Tuhan dalam Yesus Kristus dan Sakramen Perjamuan Kudus sebagai karunia yang mutlak ada dalam kebaktian selama menjauhkan kedua-duanya dari ketahyulan. 12) Untuk menyokong lebih luas identitas gereja sebagai paguyuban orang terdidik, dia mendorong pemerintah dan masyarakat Jenewa mendirikan akademi sebagai pusat persekolahan gereja am, baik bagi anak didik maupun bagi kaum muda. 13) Pada akhirnya dia mendidik para warga, bahwa mereka bukanlah kepunyaan mereka sendiri melainkan merekalah milik Tuhan semesta alam. Dialah yang berhak menerima pujian dan kemuliaan selama-lamanya.
BAB VIII
IGNATIUS LOYOLA, PENDIDIK JALAN KEHIDUPAN SUCI
Pada awal kehidupannya Ignatius Loyola menerima pendidikan militer, tetapi sebagai akibat menderita patah kaki kiri yang dialaminya selama pertempurannya dengan tentara Perancis, dia mengganti pokok kesetiaan pengajarannya. Sementara itu minatnya bukan lagi pada cerita-cerita tentang prestasi pahlawan-pahlawan militer dan penyelamatan perempuan cantik dari bahaya, melainkan keprihatinan-keprihatianan ilahi saja. Dia bernazar mengabdikan seluruhnya pada pelayanan Yesus Kristus melalui gereja-Nya.
Dengan hidup bertapa dekat gua di Manressa, Loyola dididik Tuhan melalui banyak penglihatan yang mengesankan,”. . . . sehingga segala sesuatu yang diterimanya dari Allah sampai ke umur enam puluh dua tahun pun tidak setara dengan apa yang diterimanya pada waktu itu”. Di sana juga masa depannya semakin jelas. Dia ingin bepergian ke Tanah Suci untuk memberitakan Injil kepada kaum Islam. Tetapi setibanya disana, dia tidak hanya dilarang melaksanakan pelayanan tersebut, dia disuruh pulang kembali ke tanah airnya. Pada dasa warsa ketiga kehidupannya, dia kembali lagi ke sekolah untuk mempelajari bahasa latin sebagai persiapan menjadi seorang imam.
Kemudian di Universitas Paris , bersama-sama dengan delapan mahasiswa lainnya ia sepakat dalam maksud menawarkan tenaga mereka dengan tanpa syarat kepada sang Paus. Keputusan itu kemudian dijernihkan sampai mereka ingin mendirikan tarekat baru, yaitu Kompi Yesusu, dengan tiga maksud khusus: mendidik kaum muda, memberitakan injil kepada orang-orang yang belum mendenganr dan untuk melaksanakan perintah apapun dari Paus dan ditempat manapun. Pada tanggal 27 September 1540, Ordo Kompi Yesus itu diresmikan oleh Paus Paulus III. Kemudian ordo itu dengan nama “Yesuit”.
Terdapat tiga hal yang mendasari pokok pandangannya secara umum dan khususnya untuk pendidikan agama Kristen, yaitu pengalaman militernya dulu, pengalaman kebatinan injili dan sumber iman Kristen, khususnya gereja sendiri.
Dari pengalaman militernya dia belajar tentang kepentingan membentuk kesatuan “serdadu” Kristus yang berdisiplin dalam kehidupan pribadi dan yang rela menaati perintah apapun dari sang atasan. Berdasarkan penglihatannya khususnya di gua dekat Manressa yang diteruskan sepanjang hidupnya, dia yakin bahwa dia mengenal ketiga oknum dari Tritanitas dan Bunda Maria secara langsung dan bukan dari isi buku apapun. Dalam prosesnya dikembangkanlah perasaan setia kepada gereja melalui strukturnya, berupa bawahan dan atasan.
Berdasarkan isi sejumlah tulisannya, tujuan pendidikan agama Kristen dapat dirumuskan dengan kata berikut : “untuk melibatkan para warga muda khususnya dalam latihan-latihan rohani dan intelektual, yang memupuk kehidupan batiniah dan kognitif, untuk membimbing mereka mengambil bagian dalam kebaktian gereja sehingga rela menaati setiap pemerintah-Nya dengan dampak yang luas dalam urusan-urusan masyarakat sampai akhirnya mereka memenuhi alasan terakhir mengapa nereka diciptakan Allah”.
Wadah pendidikan yang pokok adalah Sekolah MenengahPertama/Atas dan Perguruan Tinggi. Dengan system persekolahan yang dikembangkan Ordo Kompi Yesus itu pendidikan dipandang secara utuh. Semua vak yang dipelajari para pelajar dan suasana hidup mereka serta pengajar dipersatu-padukan agar semuanya digembleng(dibiasakan) menjadi korps terdidik yang ingin melaksanakan maksud-maksud Gereja Katholik Roma. Tinggi sekali mutu pendidikannya. Ongkos persekolahan ditanggung oleh para dermawan dan bukan oleh para pelajar. Para pelajar sendiri dilarang menerima honorarium dari siapapun, tetapi semua keperluan hidup dibayar oleh kas ordo.
Sang pengajar utamanya diakui sebagai Tuhan sendiri, tetapi Dia bekerja melalui pengajar dengan status baik awam maupun imam. Persiapan mereka ketat dan diharapkan pula supaya mereka bertumbuh terus secara intelektual dan rohani. Mereka hendaknya waspada terhadap pendekatan lain dari sumber manapun juga jang dapat diterpakan demi maksud mereka.
Kurikulumnya berporos pada bahasa, khususnya latin, Yunani , dan Ibrani. Vak lain adalah yang lazimnya dikenal pada sekolah sezaman itu.”tetapi untuk memperoleh pengertian tentang isi kurikulum khas sekolah Yesuit, harus kita lihat dalam latihan rohani bagi setiap pelajar dan dalam lingkungan luas kehidupannya yang ditentukan para pemimpin dan para pengajar.” Sebenarnya kurikulumnya ialah lingkungan luas berdisiplin rohani. Demikianlah para pelajar hidup sebagai seorang Kristen dengan gaya hidup sebagai seorang Kristen sebagaimana ditentukan oleh Ordo Yesuit.
Pada umumnya metodologi mengajar yang berlaku disekolah Yesuit agak serupa dengan sekolah-sekolah lainnya juga. Terdapat “ ceramah/kuliah”, banyak penghafalan, pertandingan antara kelompok dalam kelas dan perdebatan antara dua pelajar. Refleksi bebas atas isi pelajarannya tidak digiatkan. Tetapi terdapat dua metodologi khas Yesuit yang mencap semua tamatan sekolahnya.
Latihan rohani yang dikembangkan Loyola dari pengalamannya cenderung menanamkan dalam diri para pelajar, hasrat mendalam untuk melayani maksud kristus sebagaimana ditentukan oleh gereja. Latihannya terdiri atas doa, keterbukaan terhadap munculnya citra-cirtra yang berporoskan Alkitab dalam kesadaran, pembicaraan dengan Tuhan dan keputusan untuk mewujudkan dalam dirinya satu/dua unsur dari keseluruhannya. Jadi para pelajar Yesuit tidak hanya belajar tentang isi alkitab secara kogniti saja, malahan mereka turut terlibat dalam peristiwa-peristiwa alkitabiah melalui proses pencitraan, yakni citra-citra yang dibiarkannya muncul secara bebas dalam pikiran tentang pokok perhatian pada hari itu, menurut seri langkah yang direncanakan pembimbing berdasarkan karya Loyola.
Metodologi kedua merupakan latihan dasar dalam belajar menaati kehendak si atasan sehingga si pelajar dapat mempertahankan perintah apapun, dan menganggap si atasan yang memberikan perintah itu sama dengan Kristus sendiri.
Pada zamannya, kaum Yesuit sendiri dan para tamatan sekolah Ordo Kompi Yesus itu menjadi alat ampuh dalam tangan Paus untuk mengalahkan kemajuan gerakan Reformasi Protestan khususnya di negeri Polandian dan Ceko, walaupun harus dibayar dengan mahal sekali dalam penderitaan para warga kedua negeri tersebut. Antara lain, Perang selama tiga puluh tahun di Eropa Tengah adalah akibat usaha kekuatan katolik untuk memperoleh kembali negeri yang sudah memeluk iman Protestan. Unsur pribadi dari perang tersebut akan terasa dalam kehidupan bangsa ceko dan uskup terakhir persaudaraan Moravia . Sebagian dari pokok ini akan dibahasa dalam buku yang menyusul.
Namun dari segi sejarah pendidikan agama Kristen, prestasi Loyola dan ordonya adalah contoh tentang pendidikan yang dihasilkan oleh kemauan, tenaga, sarana dan dana yang sungguh-sungguh dimuarakan pada maksud tersebut. Dari sudut lainnya, pengalaman pesekolahan Yesuit itu menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat pendidikan agama Kristen yang mampu mengubah haluan kehidupan para pelajar apabila ia hanya dilaksanakan sebagai pelayanan gerejawi sambilan saja dengan sikap acuh tak acuh terhadapnya dari pihak para warga Kristen ?
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.