Monday, February 18, 2013

Pengertian Penguasaan Intrinsik Prosa

Pengertian Penguasaan Intrinsik Prosa
Menurut Alwi (2007:604), “Penguasaan merupakan proses, cara, perbuatan menguasai atau menguasakan atau kesanggupan untuk menggunakan kepandaian”. Sedangkan intrinsik menurut Eddy (1991:100) adalah, “Unsur dalam pada karya sastra berarti unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu”. Kemudian prosa menurut Eddy (1991:160) adalah, “Sejenis karya sastra yang bersifat paparan. Prosa sering disebut karangan bebas karena prosa tidak mengandung unsur rima, ritme dan tata korespondensi seperti hanya puisi”.
Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksudkan dengan penguasaan intrinsik prosa adalah suatu proses menguasai siswa terhadap unsur-unsur yang membangun dalam suatu karya sastra berbentuk karangan bebas.

Unsur Intrinsik dalam Karya Sastra
Unsur intrinsik dalam karya sastra merupakan unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri. Lebih lanjut menurut Sukada (1987:47), “Karya sastra sebagai suatu struktur dijelaskan melalui analisis aspek intrinsik, yaitu analisis mengenai unsur-unsur yang secara keseluruhan membangun struktur karya sastra. Unsur-unsur itu terdiri atas perwatakan, plot, teknik cerita, komposisi cerita, dan gaya bahasa”. Unsur-unsur yang termasuk dalam intrinsik suatu karya sastra bersifat fungsional, berkaitan satu dengan yang lainnya. Menurut Semi (1996:35), Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya cerita pengarang”.
Adapun unsur-unsur tersebut adalah :
1.    Tema
Tema merupakan inti atau ide dasar suatu cerita. Menurut Fananie (2000:84), “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Jika sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam”. Wellek (1995:142) menyatakan, “Tema merupakan ide sementara atau pokok dalam karya sastra.” Selanjutnya Semi (1996:44) menyatakan, “Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.”
Berdasarkan uraian di atas, tema dalam prosa merupakan pangkal tolak pengarang dalam menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya. Tema suatu karya sastra menyangkut persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.


2.    Plot
Plot atau alur merupakan suatu yang penting dalam karya sastra. Secara umum plot dikenal sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa. Menurut Kosasih (2005:252), “Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Pola pengembangan suatu cerita tidaklah seragam”. Sedangkan Wellek (1995:36) mengemukakan, “Plot sebagai peristiwa bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara logis dan kronologis, saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.” Ditambahkan Semi (1996:43), “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan isi.”
Secara umum pola pengembangan alur adalah :
a.       Pengenalan situasi cerita (exposition). Pada bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antartokoh.
b.      Pengungkapan peristiwa (complication). Pada bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, petentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
c.       Menuju pada adanya konflik (rising action). Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.
d.      Puncak konflik (turning point). Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan  nasib beberapa tokohnya. Misalnya, apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.
e.       Penyelesaian (ending). Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula, penyelesaian cerita diserahkan pada imaji pembaca. Jadi, akhir ceritanya dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian. (Kosasih, 2005:252-253).
Berdasarkan pendapat di atas, alur atau plot sebagai rangkaian peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita. Rangkaian peristiwa itu bersifat saling sambung dan memiliki keeratan hubungan antarperistiwa. Pada rangkaian peristiwa itu terdapat beberapa tahapan yang tersusun secara struktur dan berkesinambungan.

3.    Latar
Latar atau setting meliputi keadaan tempat, waktu, dan sosial. Menurut Eddy (1991:123), “Latar ialah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan suasana; sebagai lokasi dan situasi yang melingkungi tokoh-tokoh dalam karya sastra itu”. Wellek (1995:290-291) bahwa, “Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap/berfungsi sebagai ekspresi tokohnya. Misalnya, kalau kita menggambarkan sang tokoh karena mengekspresikan pemiliknya. Latar waktu, latar sosial, dan latar psikologi”.
Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaannya tidak hanya sekadar menyatakan di mana, kapan, bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita itu ditulis.
Berdasarkan uraian di atas, latar menunjukkan tempat ataupun waktu terjadinya suatu peristiwa dalam cerita.  Latar tersebut harus terintegrasi dengan unsur yang lain seperti tema, alur, dan unsur intrinsik yang lain.
1. Penokohan
Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Menurut Zaidan dkk (1996:206), “Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.” Menurut Nurgiyantoro (2000:165), “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”.

Penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam cerita dapat dilakukan dengan :
a.       Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang.
b.      Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui : penggambaran fisik dan perilaku tokoh, lingkungan kehidupan tokoh, tata kebahasaan tokoh, jalan pikiran tokoh, atau dari tokoh lain (Kosasih, 2005:256).

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Tokoh cerita biasanya mengembangkan  satu perwatakan yang diberi oleh pengarang perwatakan atau karakterisasi dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau tindakan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya.
Cara pengarang mengetahui perwatakan tokoh ada beberapa yang paling penting yaitu bagaimana perwatakan itu ditampilkan pengarang melalui karya sastra. Cara untuk mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pertanyaan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atau dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Dalam menggambarkan atau melukiskan tokoh-tokohnya pengarang menggunakan beberapa cara, di antaranya menurut Semi (1996:37) yaitu:
1.      Phisical description (melukiskan bentuk lahir pelaku).
2.      Portrayal of though stram of concius thog (melukiskan jalan pikirannya). Dengan jalan ini pembaca dapat mengetahui bagaimana watak pelaku itu.
3.      Reaction to eveny (bagaimana reaksi pelaku terhadap kejadian).
4.      Direct auther analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak pelaku).
5.      Discussion of environment (melukiskan keadaan sekitar pelaku) misalnya dengan melukiskan kamar pelaku, pembaca akan dapat kesan apakah pelakunya itu jorok, bersih atau malas.
6.      Reaction of other about character (pelaku-pelaku lainnya dalam satu cerita memperbincangkan keadaan pelaku-pelaku lain dalam cerita terhadap tokoh utama).
7.      Conversation of other about character (pelaku-pelakunya hanya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelaku utama).

Berdasarkan uraian di atas, penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan karakter tokoh-tokoh yang diciptakan dalam karya sastranya. Hal ini dapat dilakukan melalui kisahan langsung atau pengarang menjelaskan secara detail ataupun dengan ragaan. Karakter tokoh itu dapat diketahui dengan lakuan fisik berupa tindakan dan ujaran, atau lakuan rohani berupa renungan dan pikiran.

2.  Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan posisi pengarang dalam membawakan ceritanya. Menurut Sudjiman (1994:72), “Sudut pandang adalah 1) pendapat atau sikap terhadap masalah pokok karya sastra, 2) posisi pencerita dalam membawakan kisahan, boleh jadi ia tokoh dalam ceritanya (pencerita akuan), boleh jadi pula berada di luarnya (pencerita diaan). Soemardjo (1998:82) mengatakan, "Point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandnagan yang diambil pengarang untuk melihat kejadian suatu cerita." Jadi sudut pandang pencerita atau point of view sering juga disebut pusat pengisahan, artinya berkenaan dengan posisi pengarang dalam cerita atau sebagai siapa pengarang dalam cerita tersebut.
Sebagaimana diketahui sudut pandang pencerita biasanya menjawab pertanyaan siapakah yang bercerita atau yang menceritakan kisah tersebut. Dalam hal ini, sudut pandang selalu menyangkut bagaimana kisah tersebut diceritakan. Dengan kata lain sudut pandang memasalahkan siapa yang bercerita.
Untuk menceritakan suatu cerita, pengarang boleh memilih dari sudut pandang mana ia akan menceritakan itu. Apakah sebagai orang luar saja, atau apakah pengarang juga turut dalam cerita itu.
Setiap pengarang mempunyai gaya mengarang tersendiri dan gaya ini tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Orang dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan membaca dan mempelajari buku-buku mereka. Memang orang dapat menirukan gaya yang ditunjukkan oleh pengarang, akan tetapi hal ini tidak akan dapat berhasil dengan baik. Jadi, gaya itu tidak akan dapat dibuat-buat, akan tetapi merupakan ciri khas pengarang. Soemardjo (1998:92) mengatakan, "Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang."
Berdasarkan uraian di atas, sudut pandang adalah visi pangarang, artinya sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Pengarang akan menentukan pilihan siapa yang harus bercerita dalam kisahnya sehingga mencapai efek yang tepat pada ide yang akan dikemukakannya.

4. Gaya Cerita Pengarang
Setiap pengarang mempunyai gaya mengarang tersendiri dan gaya ini tidak bisa diajarkan kepada orang lain. Orang dapat mempelajari gaya-gaya pengarang lain dengan membaca dan mempelajari buku-buku mereka. Memang orang dapat menirukan gaya yang ditunjukkan oleh pengarang, akan tetapi hal ini tidak akan dapat berhasil dengan baik. Jadi, gaya itu tidak akan dapat dibuat-buat, akan tetapi merupakan ciri khas pengarang. Sumardjo dan Saini (1994:92) mengatakan, "Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang."
Perlu juga diketahui bahwa gaya pengarang cerita itu bermacam-macam. Banyak gaya yang harus diperhatikan dalam setiap cerita fiksi. Gaya itu antara lain:
1.   Segi penggunaan kalimat (apakah panjang atau kompleks).
2. Penggunaan dialog (penulis fiksi hiburan banyak yang menggunakan dialog sebagai penyampai pengarang).
3.   Penggunaan kata-kata (pengunaan kata-kata juga akan menunjukkan ciri khas pengarang sendiri, apakah kata-katanya kasar, halus spontan).
Share :

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.

 
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
My Ping in TotalPing.com