Hukum Nikah
Mubah
Ini adalah asal hukum dari nikah
1. Sunnat
Hukum ini berlaku pada seseorang terutama laki-laki yang sudah berkeinginan untuk jima’ serta telah mampu untuk menikah. Mampu disini adalah bahwa ia mampu untuk member mahar yang layak, menafkahi isterinya dengan makan, minum dan kebutuhan sehari-hari yang lain dengan cukup, membelikan pakaian, member rumah sekemampuannya dan mampu secara fisik untuk melakukan jima’.
Wajib
Nikah hukumnya bisa berubah menjadi wajib apabila seseorang sudah berkeinginan untuk jima’ dan jika tidak segera dilangsungkan pernikahan maka dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perzinahan.
Makruh
Hukum nikah berlaku makruh apabila seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah serta tidak memiliki kecenderungan untuk jatuh kepada perbuatan zina. Walaupun secara fisik.
Haram
Apabila niat salah satu pihak atau pihak ketiga yang menikahkan atau memaksa untuk menikah cenderung pada upaya untuk mencelakakan atau menzholimi pasangannya.
Dari uraian diatas, kita bisa melihat kelayakan seorang untuk menikah atau tidak berdasarkan hukum agama tidaklah semata-mata didasari oleh usia, harta dan kemampuan fisik semata, tetapi juga dilihat dari kesiapan mental berupa keinginan penuh dan keridhoan dirinya beserta pasangannya untuk menikah, bahkan hal inilah yang dianggap lebih utama karena hubungan pernikahan bukanlah semata-mata didasari oleh hubungan fisik dan materi, tetapi juga emosi dan mental yang mendalam.
Kehidupan perkawinan memegang peranan yang sangat besar dibandingkan hanya dengan kematangan fisik dan kecukupan harta.Kalaupun dipaksakan maka perkawinan itu memiliki kecenderungan menimbulkan mudharat padahal tujuan utama pernikahan adalah mencapai kemashlahatan, kebahagiaan dan ketenteraman.
2. Tujuan Pernikahan
Adapaun tujuan moral dari pernikahan adalah untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan pengabdian ini diharapkan adanya intervensi dalam kehidupan berkeluarga yang akhirnya akan melahirkan generasi-generasi yang taat dan shalih. Sakralnya tujuan yang terkandung dalam pernikahan menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah sekedar uji coba yang bilamana tidak mampu melanjutkannya dan dapat diberhentikan dengan seketika yang seolah-olah perceraian adalah sesuatu yang lumrah. Banyaknya terdapat persepsi seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang bahwa pernikahan hanya merupakan persoalan biologis semata.
Berdasarkan tujuan inilah maka menghadapi pernikahan harus dilakukan dengan kematangan baik kematangan dari segi material terlebih lagi dari segi moral. Dengan kata lain mendapatkan kedewasaan sebelum menikah lebih baik daripada mendapatkannya sesudah menikah. Urgensi kematangan sebelum menikah ditandai dengan proses-proses yang harus dilalui secara berurutan seperti menanya, meminang, nikah gantung dan nikah sebenarnya.Hal ini dilakukan supaya calon suami isteri benar-benar matang dalam mangayuhkan rumah tangganya karena proses-proses yang disebutkan tadi masih memberikan peluang untuk mengundurkan diri dari pernikahan sebelum sampai kepada pernikahan yang sebenarnya karena pengunduran diri (cerai) pasca pernikahan yang sebenarnya dapat menimbulkan korban beberapa pihak seperti keluarga dan anak-anaknya.Anjuran pernikahan dalam al-Qur’an adalah anjuran yang penuh dengan persyaratan sehingga tujuan-tujuan dari pernikahan disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an sekalipun sifatnya masih global. Tujuan-tujuan pernikahan inilah yang seharusnya dijadikan bahan evaluasi baik dari orang tua calon maupun calon itu sendiri untuk menentukan kadar kemampuannya dalam menghadapi pernikahan.
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah untuk mendapatkan surga dan ampunan Tuhan, untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan dan mendapatkan karunia Tuhan Q.S. al-Ruum :21
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Adapun tujuan-tujuan yang lain seperti mengembangkan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologis adalah tujuan yang paling asasi dan sekiranya al-Qur’an tidak menyebutkannya maka dipastikan bahwa tujuan yang seperti ini sudah lumrah berlaku. Tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan surga dan keampunan Tuhan sekalipun pernyataan ini tidak secara langsung ditegaskan dalam al-Qur’an. Kemudian tujuan pernikahan selanjutnya adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allah karena lebih efektif mengakkannya dengan berteman daripada sendirian.
Menegakkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama suami isteri dan masing-masing pihak seyogianya memberikan kontrol terhadap pasangan masing-masing. Oleh karena itu, salah satu pihak dianggap zhalim bilamana mendiamkan pasangannya melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.