Kesulitan
Belajar
Siswa yang
mengalami kesulitan belajar dapat menunjukkan ciri-ciri siswa menjadi lamban
belajar dan berprestasi rendah. Menurut Roldan dalam Wijaya (2007), ciri-ciri
umum siswa lamban belajar adalah sebagai berikut :
1 Siswa lamban
belajar kurang mampu menyimpan huruf dan kata pada ingatannya dalam waktu yang
lama.
2 Siswa lamban
belajar kurang mampu membedakan huruf, angka dan suara.
3 Siswa lamban
belajar tidak sanggup mengikuti penjelasan yang bersifat ganda.
Siswa lamban belajar susah dalam memahami kata dan
konsep.
Ketidaksanggupan
siswa lamban belajar dalam menguasai pengetahuan itu disebabkan
kerusakan-kerusakan tertentu pada diri siswa yang membuat siswa itu lamban
belajar yang disebut dyscalculia.
Dyscalculia
adalah kesulitan mengenal angka dan pemahaman terhadap konsep dasar matematika.
Gejala kesulitan belajar dibidang dyscalculia antara lain adalah sebagai
berikut :
1
Kesulitan
mengingat-ingat angka lebih dari satu yang dipelajarinya
2
Kesulitan menulis
angka dengan angka yang jelas
3
Kesulitan membuat
kolom-kolom angka yang lurus atau jumlah yang diharapkan
4 Kesulitan menangkap
pelajaran matematika terutama materi yang disajikan melalui kata atau tulisan
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar
Menurut Syah
(2003) faktor-faktor kesulitan siswa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
Faktor
Internal Siswa
Faktor intern siswa meliputi
gangguan atau kekurang-mampuan psikofisik siswa, yakni :
1
Bersifat kognitif
(ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi
siswa.
2
Bersifat afektif
(ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
3
Bersifat
psikomotorik (ranah karya), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera
dan pendengar (mata dan telinga).
Faktor
Eksternal Siswa
Faktor ekstern siswa meliputi
semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas
belajar siswa.
Faktor lingkungan meliputi :
1 Lingkungan
Keluarga, contohnya : ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu seta
rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2 Lingkungan
perkampungan atau masyarakat, contohnya : wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer
group) yang nakal.
3 Lingkungan sekolah,
contohnya : kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar,
kondisi guru dan alalt-alat yang berkualitas rendah.
Diagnosis
Kesulitan Belajar
Menurut
Thorndike dan Hagen dalam Makmum (2005), diagnosis
dapat diartikan sebagai :
1. Upaya atau proses
menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui
pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya.
2. Studi yang seksama
terhadap fakta tentang sesuatu hal untuk menemukan karakteristik atau
kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
3. Keputusan yang
dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas gejala-gejala atau
fakta tentang suatu hal.
Dari ketiga pengertian diatas didalam pekerjaan diagnosis bukan hanya
sekedar mengidentifikasi jenis dan karekteristiknya, serta latar belakang dari
suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga mengimplikasikan
kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.
Diagnosis kesulitan belajar
merupakan suatu proses upaya untuk memahami jenis dan karakteristik serta latar
belakang kesulitan-kesulitan belajar denganmenghimpundan mempergunakan berbagai
data / informasi yang lengkap dan subjektif sehingga memungkinkan untuk
mengambil kesimpulan dan keputusan serta mencari alternatif kemungkinan
pemecahannya.
Setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang
secara optimal sesuai dengan kemampuan, kecerdasan, bakat dan minat. Sebelum
menetapkan alternatif pemecahan masalah siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih
dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat)
terhadap fenomena yang menunjukkan
kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti
ini disebut diagnosis, yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis
kesulitan belajar siswa.
Langkah-langkah diagnosis yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup
terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip
Wardani dalam Makmun (2007) sebagai berikut :
1
Melakukan observasi
kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2
Memeriksa
penglihatan dan pendengaran khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3
Mewawancarai orang
tua / wali siswa untuk mengetahui hal
ikhwal keluarga yang mungkin menimbulkkan kesulitan belajar.
4
Memberikan test
diagnosis bidang kecakapan tertentu untuk mngetahui hakikat kesulitan belajar
yang dialami siswa.
5
Memberikan test kemampuan
intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar.
Menurut Ross dan Stanley dalam Makmun (2007), menggariskan tahapan-tahapan
diagnosis (the level of diagnosis), 4W+ 1H sebagai berikut :
1
Siapa siswa yang mengalami gangguan (Who
are the pupils having trouble) ?
2
Dimanakah kelemahan-kelemahan itu dapat
dialokasikan (Where are the errors located) ?
3
Mengapa kelemahan-kelemahan itu terjadi (Why
are the errors occur) ?
4
Penyembuhan-penyembuhan apakah yang
diasarankan (What remedies are suggested) ?
5
Bagaimana kelemahan itu dapat terjadi (How
can errors be prevented) ?
Dari tahapan-tahapan diatas, tampak
bahwa keempat langkah yang pertama dari diagnosis itu merupakan usaha perbaikan
(corrective diagnosis) atau penyembuhan (curative). Sedangkan
langkah yang kelima merupakan usaha pencegahan (preventive).
Burton dalam Makmum (2007) menggariskan agak lain, yaitu berdasarkan kepada
teknik dan instrumen yang digunakan dalam pelaksanaannya sebagai berikut.
1
General diagnosis
Pada tahap ini lazim
dipergunakan tes baku,seperti yang digunakan untuk evaluasi dan pengukura
psikologis danhasil belajar. Sasarannya, untuk menemukan siapakah siswa yang
diduga mengalami kelemahan tertentu.
2
Analystic diagnosis
Pada tahap ini yang lazimnya
digunakan ialah test diagnostik. Sasarannya untuk mengetahui dimana letak
kelemahan tersebut.
3
Psychological
diagnosis
Pada tahap ini teknik
pendekatan dan instrumen yang digunakan antara lain :
1
Observasi (observation)
2
Analisis karya
tulis (analysis of written work)
3
Analisis proses dan
respons lisan (analysis of oral responses and accounts of procedures)
4
Analisis sebagai
catatan objektif (analysis of objectives record of various types)
5
Wawancara (interviews)
6
Pendekatan
laboratories dan klinis (laboratory and clinical methods)
7
Studi kasus (case
studies)
Sasaran kegiatan diagnosis pada langkah ini pada dasarnya ditujukan untuk
memahami karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
Berbagai variabel yang mempengaruhi proses belajar-mengajar itu menurut
Loree dalam Makmum,terdiri atas :
1
Stimulus atau Learning variables,
mencakup :
a Learning experience, yang antara lain
mengenai :
1 Method variables, yang antara lain
menyangkut :
1
Kuat lemahnya
motivasi untuk belajer
2
Intensif tidaknya
bimbingan guru
3
Ada tidaknya
kesempatan berlatih atau berpraktek
4
Ada tidaknya upaya
dan kesempatan penguatan (reinforcement)
2 Task variables, yang mencakup :
1
Menarik tidaknya
apa yang harus dipelajari dan dilakukan
2
Bermakna tidaknya (meaningfulness)
apa yang dipelajari dan dilakukan
3
Sesuai tidaknya (appropriatness),
panjang (length) atau luasnya (width) serta tingkat kesukaran apa
yang harus dipelajari dan dikerjakan
2
Organismic variables, yang mencakup :
a Characteristic of the learners,
antara lain tingkatan inteligensi, usia, jenis kelamin, kesiapan dan kematangan
untuk belajar.
Dengan demikian, kelemahan
sering disebabkan oleh :
1
Kurangnya kemampuan
dan keterampilan kognitif
2
Terbatasnya
kemampuan, menghimpun dan
mengintegrasikan informasi
3
Kurangnya gairah
belajar karena kurang jelas tujuan / aspirasi
b Mediating processes,
kondisi yang lazim terdapat dalam diri siswa antara lain inteligensi, persepsi,
motivasi, dorongan, lapar, takut, cemas, kesiapan konflik, tekanan batin dan
sebagainya turut berperan pula dalam proses berperilaku termasuk perilaku
belajar.
3
Response variables, sebagaimana kita
kelompokkan berdasarkan tujuan-tujuan pendidikan yaitu
a Tujuan-tujuan kognitif, seperti
pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan pemecahan masalah
b Tujuan-tujuan afektif, seperti
sikap-sikap, nilai-nilai,minat dan apresiasi
c Tujuan-tujuan pola-pola
bertindak, antara lain :
1 Keterampilan
psikomotorik, seperti menulis, mengetik, kegiatan pendidikan jasmani atau
olahraga dan melukis
2 Kompetensi-kompetensi
untuk menyelenggarakan pertemuan, berpidato, memimpin diskusi dan pertunjukan
3 Kebiasaan-kebiasaan
berupa kebiasaan hidup sehat, keamanan, kebersihan, keberanian disertai
kesopanan, ketegasan, ketekunan,
kejujuran, kerapian dan keserasian
Kesemuanya menuntut pelayanan yang berbeda-beda.
Pola-pola respons yang diharapkan tersebut tidak akan terwujud kalau
pengelolaan proses belajar-mengajarnya kurang serasi.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.