HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA :
Tinjauan dan studi banding tentang sistem peradilan
negara
Kesemakmuran Australia dan Republik Indonesia (RI)
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan teori
dan proses peradilan hukum pidana yang dilaksanakan di Republik Indonesia , dari
tahap pertama dimana sebuah berkas diserahkan kepada lembaga penuntan
(kejaksaan) dari lembaga penyidikan (kepolisian) sehingga diputuskan oleh
hakim/pengadilan. Penulis juga bertujuan untuk menggambarkan beberapa perbedaan
antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia
dibanding dengan Indonesia .
Pendahuluan
Setelah melakukan wawancara dengan beberapa
pihak yang terlibat dalam sistem peradilan di RI, misalnya dosen hukum, hakim,
jaksa dan pengacara, data-data dan hasil observasi di Pengadilan Negeri,
Lembaga Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis bertujuan untuk menulis
laporan yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia, baik hukum acara pidana
maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa perbedaan antara sistem
peradilan yang dilaksanakan di Australia dan RI.
Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia
berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari
negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga
ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun,
tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu
Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil
ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada
sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura
bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda,
hukum pidana Indonesia
modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil
sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan
dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas
dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M.
Lubis:
“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah
disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama,
nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa
hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi
pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai
sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber,
RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun
dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan
KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga
penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum
pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur
yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan
misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat
diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal
340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan
lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun.
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa
isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat
diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait
dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan
Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk
berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk
menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas
lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP
tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya
pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan
menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau
dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat
diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa
dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka
pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada
pihak kehakiman dan pengadilan.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan masukkan saran, komentar saudara, dengan ikhlas saya akan meresponnya.